tirto.id - “Khalaqa al-Insana min ‘Alaq”. Begitu bunyi ayat kedua dari firman-Nya dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad.
Manusia diciptakan Allah dari al-Alaq. Dari segi pengertian kebahasaan, kata ‘alaq antara lain berarti sesuatu yang tergantung. Memang, salah satu periode dalam kejadian manusia saat berada dalam rahim ibu adalah ketergantungan hasil pertemuan sperma dan ovum yang membelah dan bergerak menuju dinding rahim lalu bergantung atau berdempet dengannya. Yang berdempet itu dinamai zigote oleh pakar-pakar embriologi.
Kata ‘Alaq dapat juga berarti ketergantungan manusia kepada pihak lain. Ia tidak dapat hidup sendiri. Kehendak dan usaha manusia hanyalah sebagian dari sebab-sebab guna memperoleh apa yang di dambakan, sedang sebagian lainnya yang tidak terhitung banyaknya berada di luar kemampuan manusia. Apa yang didambakan itu tidak dapat tercapai kecuali jika sebab-sebab yang lain itu terpenuhi semuanya dan bergabung dengan sebab-sebab yang berada dalam jangkauan upaya manusia.
Yang dapat mewujudkan sebab-sebab lain itu dan yang kuasa menggabungkannya hanyalah Allah SWT. Dialah Penyebab dari segala sebab. Ini merupakan keniscayaan dan keterpaksaan yang tidak dapat dielakkan setiap makhluk.
Namun, selain ditentukan oleh Allah, perjalanan manusia juga sering dipengaruhi oleh orang lain. Bahkan sudah menjadi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh bantuan pihak lain. Apa pasal? Karena kebutuhan setiap orang sesungguhnya lebih banyak daripada potensi dan waktu yang tersedia untuknya.
Si kaya, misalnya, membutuhkan kekuatan fisik, atau keterampilan, yang dimiliki si miskin. Pun sebaliknya, si miskin membutuhkan uang atau pekerjaan dari si kaya.
Dengan adanya saling butuh itu, maka manusia suka atau tidak suka, tidak dapat mengelak dari kerja sama. Semakin banyak kebutuhan manusia, semakin sedikit pula kemampuan untuk memenuhinya dan kita kian tidak bisa mengelak dari kebutuhan pada tangan atau bantuan orang lain. Maka tidak heran, seiring kian tingginya kebutuhan, semakin seseorang tergantung kepada selainnya. Demikian pula sebaliknya.
Jadi, jangan pernah menduga ada manusia yang dapat mengelak dari keniscayaan, kebutuhan dan ketergantungan itu -- baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia.
“Hai manusia, kamulah yang amat butuh kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha terpuji” (QS. Fathir ayat 150).
Semua kita berada di bawah kendali dan kuasa Allah. Dengan kuasanya-Nya itulah kita membutuhkan-Nya serta tidak dapat mengelak dari kedudukan sebagai makhluk sosial.
Berkenan dengan hal itu, Bashar Ibnu Burd, seorang penyair Arab yang bijaksana, pernah menggubah sebuah syair berikut: “Aku disciptakan sebagaimana adanya, tidak diberi pilihan. Seandainya aku diberi, dan aku diberi yang tak kuinginkan, sungguh dangkal pengetahuanku tentang yang gaib.”
Allah sendiri, sebagai pencipta manusia sebagai makhluk sosial itu, menyeru mereka semua dengan firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa dia antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat ayat: 13).
Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak juga dapat saling melengkapi, bahkan tidak dapat bekerja sama, tanpa saling mengenal. Saling mengenal yang digarisbawahi oleh ayat di atas adalah “pancing” untuk meraih manfaat, bukan “ikannya". Yang ditekankan adalah caranya, bukan manfaatnya. Karena, seperti kata orang bijak, “memberi pancing jauh lebih baik daripada memberi ikan”.
Demikian juga dengan pengenalan terhadap Allah, semakin banyak pula rahasia-rahasianya yang terungkap, dan pada gilirannya melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menciptakan kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Dari sini pula, sejak dini, Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa: “Sungguh manusia berlaku sewenang-wenang, bila ada yang merasa tidak butuh” (QS. Al-Alaq ayat 6-7).
Salah satu dampak sikap sok merasa tidak butuh orang lain adalah keengganan menjalin hubungan, keengganan saling mengenal. Jika sikap macam itu terus dipelihara, pada gilirannya bisa melahirkan bencana dan pengrusakan di dunia.
Memang manusia memiliki kecenderungan mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial yang disebabkan oleh kekuasaan atau garis keturunan merupakan kemuliaan yang harus dimiliki. Karena itulah banyak yang berusaha meraihnya dan saling berkompetisi untuk mendapatkannya.
Tetapi bila diamati secara seksama, apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu sifatnya sangat sementara bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya kepada kebinasaan. Jika demikian, hal-hal tersebut berarti bukanlah sumber kemuliaan.
Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiakan secara terus-menerus. Kemuliaan abadi dan langgeng itu ada di sisi Allah SWT. Dan cara mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan meneladani sifat-sifat-Nya sesuai kemampuan manusia.
Itulah takwa, dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Untuk meraih hal tersebut, manusia tidak perlu merasa khawatir kekurangan, karena anugerah-Nya melimpah, melebihi kebutuhan bahkan keinginan manusia. Anugerah-Nya tidak pernah habis.
“Apa yang di sisi kamu, wahai makhluk, akan habis dan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah kekal tidak habis-habisnya” (QS. an-Nahl [16]: 96).
Demikian wa allah A’lam.
=====
*) Naskah dinukil dari buku "Dia di Mana-Mana: Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS