tirto.id - Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) kian memperkuat jangkauannya di penghujung tahun 2017. Beberapa hari lalu, lembaga keuangan multilateral yang dipelopori Cina ini mengumumkan empat anggota baru yakni Kepulauan Cook, Vanuatu, Belarus, dan Ekuador.
Meski diberi nama bank Asia, namun keanggotaannya terbuka untuk setiap negara di seluruh dunia termasuk Eropa hingga Amerika. Sejak diluncurkan pada Januari 2016, sudah 84 negara di dunia yang menjadi anggota.
Kesenjangan pendanaan infrastruktur terutama di Asia menjadi alasan utama pendirian AIIB. Kesenjangan itu terjadi karena lembaga keuangan internasional yang ada tidak dapat menutupi berbagai kebutuhan pendanaan global atau bantuan dana kepada negara berkembang. Diperkirakan dalam 10 tahun ke depan, negara di Asia membutuhkan $8 triliun untuk pembangunan infrastruktur.
Misalnya ADB atau Asian Development Bank yang sudah diberdiri sejak 1966 di Filipina. Sayangnya, kehadiran ADB yang sudah lebih dari setengah abad itu belum menjadi jawaban atas kebutuhan negara-negara Asia dalam berbagai proyek pembangunan. Salah satu alasannya karena modal ADB yang hanya $160 miliar. Sedangkan kebutuhan negara berkembang di Asia kini kian meningkat.
Begitupun dengan Bank Dunia atau pun IMF. Negara-negara di Asia terutama yang menjadi anggota AIIB menganggap bahwa mereka tak dapat hanya mengandalkan lembaga keuangan tersebut. Apalagi modal Bank Dunia hanya $223 miliar. Sedangkan dua lembaga ini tak hanya fokus pada pendanaan infrastruktur tapi mendukung berbagai sektor seperti kemiskinan, kesetaraan gender hingga isu lingkungan. Sebaliknya AIIB menggunakan seluruh modal khusus untuk sektor infrastruktur.
Oleh sebab itu, menurut Cina, AIIB akan menjadi pelengkap dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur negara anggota di berbagai wilayah. Misalnya dalam pengembangan sektor energi dan listrik, transportasi, dan telekomunikasi, infrastruktur pedesaan dan pengembangan pertanian, penyediaan air bersih dan sanitasi, perlindungan lingkungan, pembangunan perkotaan, logistik dan lainnya.
Modal awalnya memang hanya sebatas $50 miliar, namun Cina optimistis angka itu akan terus bertambah baik itu dari dukungan para negara anggota termasuk dari pihak swasta. Dua tahun berjalan, AIIB menunjukkan peningkatan modal yang kini mencapai $95 miliar.
Meski secara umum Cina menganggap bank pembangunan yang berbasis di Beijing ini bertujuan menghadirkan keragaman lembaga keuangan guna mendorong pembangunan infrastruktur, AS menanggapi langkah tersebut sebagai rival bagi Bank Dunia dan IMF. AIIB juga dituding sedang memperluas soft power Cina. AS bahkan mempengaruhi sekutunya agar tak bergabung dengan lembaga keuangan ini.
Para analis menilai, langkah Cina ini adalah salah satu gagasan yang timbul akibat minimnya kekuatan Cina di Bank Dunia, IMF, dan ADB yang dikuasai Jepang. Sedangkan di sisi lain, Cina membutuhkan lembaga keuangan untuk menjamin berbagai proyek pembangunan salah satunya One Belt One Road. Oleh sebab itu, Cina menggandeng negara Asia yang juga gencar melakukan pembangunan guna membentuk lembaga keuangan mandiri.
Dengan kekuatan hak suara mencapai 300.600 atau 26,9 persen di AIIB, Cina dapat membuat peraturan keuangan yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya termasuk mempromosikan kebijakan Cina. Tak jauh berbeda dengan AS yang menggunakan Bank Dunia dan IMF untuk mempromosikan pasar bebas ke negara-negara anggota.
Menurut Profesor Hukum Bisnis dari Ohio State University Daniel Chow, AIIB menjadi indikasi pertama bahwa Cina akan menyaingi bahkan berpotensi menjadi penentu aturan keuangan internasional yang selama tujuh dekade terakhir dipegang AS.
Bagaimana tanggapan para anggota AIIB?
Bagi Rusia yang menjadi salah satu pendiri, AIIB akan menjadi pintu masuk ke proyek-proyek pembangunan di Asia yang dalam beberapa dekade dikuasai AS dan Jepang.
"Ini merupakan alat untuk memperkuat integrasi ekonomi Rusia ke wilayah yang paling penting di dunia, Asia. Proyek ini sangat penting bagi Rusia bukan hanya untuk menarik sumber daya dalam jangka pendek, tapi juga sebagai alat untuk pendekatan masa depan ke Asia di lingkup investasi,” kata Kepala Departemen Analisis Deutsche Bank Yaroslav Lisovolik.
Bagi Indonesia yang juga pendiri AIIB, kehadiran lembaga keuangan ini dapat memberi alternatif lain sebagai penyedia dana pinjaman pembangunan selain Bank Dunia, IMF, dan ADB. Di awal 2017, Indonesia dan Bangladesh memanfaatkan $285 juta dana pinjaman AIIB.
Baca juga:Membedah Rasio Utang Indonesia
Dana itu untuk proyek perbaikan bendungan dan pembangunan infrastruktur daerah di Indonesia sebesar $225 juta. Proyek tersebut juga memanfaatkan dana dari Bank Dunia. Sedangkan $60 juta untuk pengembangan infrastruktur gas dan energi di Bangladesh yang juga memanfaatkan dana dari ADB.
Indonesia tampak antusias terhadap lembaga keuangan AIIB. Jika dilihat dari segi peluang, Indonesia hampir tak memiliki kekuatan dalam segi pengambilan keputusan di IMF dan Bank Dunia karena hanya memiliki hak suara sebesar 0,95 persen.
Sementara di AIIB, Indonesia menduduki posisi ke-8 sebagai pemegang hak suara terbesar (3,26 persen). Bahkan, Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang memegang hak suara terbesar. Indonesia dapat memanfaatkan posisinya di AIIB untuk memperjuangkan kepentingan nasional.
Di sisi lain, kesempatan ini selaras dengan program pemerintah Joko Widodo yang fokus pada infrastruktur. Posisi penting di AIIB tentu akan memudahkan Indonesia dalam memperoleh pinjaman dana pembangunan infrastruktur.
Namun, kehadiran AIIB tak serta merta akan membuat Indonesia menjauhi IMF, Bank Dunia, dan ADB. Karena bagaimana pun, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia tetap membutuhkan Bank Dunia, IMF, dan lainnya.
Pada 2016 lalu, Bappenas memproyeksikan biaya pembangunan infrastruktur hingga 2019 mencapai Rp5.519 triliun. Sedangkan APBN hanya menutupi 40 persen dari kebutuhan itu. AIIB pun belum cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur Indonesia.
Selain itu, Bank Dunia, IMF, dan lainnya juga masih dibutuhkan untuk pendanaan di sektor lain. Sebab pembangunan di Indonesia dan di Asia tak hanya soal infrastruktur.
Akan tetapi Evan Medeiros, kepala riset Asia Pasifik di Eurasia Group, mengingatkan risiko tinggi dalam pembentukan AIIB. Menurutnya, Cina kerap melakukan investasi dan pembangunan yang kadang tak membuahkan hasil. Misalnya, proyek One Belt One Road yang menurutnya jauh dari harapan Cina.
Investasi Cina sebesar $65 miliar di Amerika Selatan juga hampir tak membuahkan hasil karena dilakukan di negara yang bermasalah seperti di Venezuela. Potensi buruk ini juga membayangi pembentukan AIIB. Menurut Evan, proyek AIIB lebih sarat akan muatan politik dan kepentingan nasional Cina dibandingkan semangat pembangunan para anggotanya..
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf