Menuju konten utama

Ahok Tertawa, Anies Menyengat dalam Debat Cagub Mata Najwa

Format debat yang dekat dan hangat menghasilkan perbincangan bermutu tentang program-program pembangunan Jakarta.

Ahok Tertawa, Anies Menyengat dalam Debat Cagub Mata Najwa
Basuki Tjahaja Purnama menyampaikan pendapatnya dalam Debat Cagub Mata Najwa, Senin, (27/3). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pertemuan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan dalam Debat Cagub Mata Najwa kemarin malam (27/3) bisa menyodorkan pemahaman lebih mendalam tentang sejumlah program calon pemimpin (pemilih) Jakarta. Tidak hanya keduanya mengupas program dan keberpihakan, tapi juga bisa melihat bagaimana Ahok dan Anies memandang permasalahan Jakarta secara lebih mendetil. (Lihat dokumentasi kami soal lalu-lalang debat mereka dalam "Duel di Kedoya")

Ini penting mengingat selama tiga kali debat resmi oleh KPU DKI dalam putaran perdana Pilkada Jakarta, dengan durasi waktu terbatas serta keriuhan para pendukung, kita memang baru disodorkan pengenalan program. Sesudah hasil putaran pertama menyingkirkan Agus Harimurti Yudhoyono serta menyisakan Ahok dan Anies, debat permulaan non-resmi dalam acara 'Mata Najwa' menghadirkan pertanyaan dan konfirmasi atas pelbagai program para kandidat dalam salah satu Pilkada 2017 terlama, yang sudah berjalan selama enam bulan terakhir. Meski, berdasarkan pantauan kami di Twitter, respons warga internet datar saja betapapun sempat jadi tren percakapan.

Ahok memulai debat dengan mengklaim prioritasnya memimpin Jakarta untuk membuat warga Jakarta terpenuhi kebutuhan dasarnya. “Bagaimana membuat orang Jakarta itu otak, perut, dompetnya penuh,” katanya. Artinya, tidak hanya membuat warga pintar, tapi juga tidak kelaparan dan memiliki pendapatan yang tetap. Komitmen ini juga dilanjutkan dengan membuat perbaikan dalam birokrasi Jakarta. Ahok menilai tidak mungkin program di Jakarta akan berjalan dengan baik bila tidak memiliki jajaran PNS yang bersih.

Konsistensi Ahok-Djarot dalam memprioritaskan reformasi birokrasi berulang kali ia ucapkan dalam sejumlah kesempatan. Salah satunya saat debat perdana cagub-cawagub oleh KPU DKI di Auditorium Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Jumat (13/1/2017). Djarot saat itu menyebutkan birokrasi adalah motor pembangunan. "Birokrasi harus bersih, transparan, dan profesional. Dengan cara itu kami akan mampu mencapai sasaran kami untuk membangun manusia Jakarta," ujar Djarot.

Ahok sendiri pada 3 Agustus 2016 menetapkan Pergub DKI Jakarta 156 tentang cetak biru reformasi birokrasi tahun 2015-2019. Peraturan ini dimanfaatkan sebagai pedoman untuk perbaikan manajemen pemerintahan berbasis kinerja dan percepatan proses reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ahok mengklaim adanya perbaikan reformasi birokrasi ini telah banyak membantu.

Pada debat sebelumnya, ia mengklaim bahwa perbaikan birokrasi telah membantu banyak warga Jakarta dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan. “Siapa zaman sekarang yang kalau orang tuanya sakit harus pinjam ke perusahaan? Sudah enggak ada sekarang,” klaim Ahok di 'Mata Najwa'. Klaim ini susah diverifikasi: Benarkah tak ada satu pun warga Jakarta yang meminjam uang di perusahaan lantaran layanan kesehatan sudah membaik atau telah terjangkau oleh asuransi kesehatan yang disediakan perusahaan itu sendiri?

Untuk program Kartu Jakarta Pintar, Ahok mengklaim bahwa KJP Plus yang disodorkan oleh Anies tidak mendidik anak-anak. Ia menganggap, anak jangan diminta sekolah dengan iming-iming uang, tapi mereka mesti mau sekolah dengan keinginan sendiri dan uang ada untuk membantu mewujudkan itu. Maka, ketika ada usul bahwa mereka yang tak sekolah juga mendapat bantuan KJP, ini akan mengganggu dan mengubah perilaku siswa.

“Kami tidak mau anak-anak berpikir: tanpa sekolah pun saya dapat uang. Uang harus mendidik. Bagi saya, KJP plus merusak mental anak sekolah,” katanya.

Saat ini Pemerintah DKI Jakarta pada 2016 menganggarkan Rp2,5 triliun untuk program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Adapun jumlah penerima KJP pada 2016 mencapai 692.002 murid. Jumlah anggaran maupun penerima KJP tiap tahun mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas di ibukota turun menjadi 0,39 persen pada 2015 dari 0,86 persen pada 2012. Dari hasil Sensus Nasional 2001-2015, angka buta huruf di Jakarta menunjukkan tren penurunan.

Najwa Shihab sesudahnya mempertanyakan tentang konsep kepemimpinan kedua kandidat. “Bagaimana menggambarkan gaya kepemimpinan Anda yang berbeda dari lawan?” katanya. Ahok mengatakan figur Gubernur DKI Jakarta harus jadi model bagi semua bawahannya. Karena itu, selama memimpin DKI Jakarta, Ahok mengaku berusaha berperilaku bersih, transparan, dan memegang prinsip melayani publik dengan empati.

“Lalu sistem tak boleh berpihak dan terima suap. Ini standar. Kalau enggak mau menurut, silakan mundur. Kalau profesional, pasti anda (bawahan Ahok) patuh. Itu yang selama ini hasilkan produk (program) di Jakarta,” kata Ahok yang menerima giliran pertama untuk mendeskripsikan gaya kepemimpinan idealnya di DKI Jakarta.

Pernyataan ini lantas diserang oleh Anies, yang menganggap pemimpin harus merangkul semua pihak. Seorang pemimpin, demikian Anies, hadir dari keteladanan dan bukan sekadar kata-kata, melainkan melayani dalam tindakan. Ahok menjawab, ia menolak merangkul semua orang. Ia tak mau merangkul orang yang korup. “Mimpin Jakarta simpel sajalah: Kalau orang enggak bisa diajak maju bersama, ya sudah, ditinggal saja,” tegas Ahok.

Setidaknya 27 kali Anies menyerang Ahok dengan pelbagai hal seperti kata-kata yang kasar, keengganan merangkul bawahan, dan fokus pembangunan yang bertumpu pada bangunan fisik. Menariknya, terlepas dari klaim bahwa Ahok adalah sosok yang emosional, sepanjang debat kemarin Ahok terlihat sangat santai dan menikmati momen itu. Seperti saat Anies menyerang Ahok dengan tuduhan bahwa penolakan menyalati jenazah pendukung Ahok bersumber dari pernyataan Ahok.

Ahok sendiri menjawab tuduhan itu nyaris tanpa emosi dan berkata bahwa kandidat yang tidak memiliki program jelas, lebih sering memainkan isu agama.

Di lain kesempatan, Anies menyindir ruang kreatif Ahok yang hanya bisa diakses oleh kelas menengah. Menurutnya, keberadaan ruang itu jelas bias kelas karena tak bisa diakses oleh pedagang siomay dan kelompok rentan lain. Menariknya, Ahok balik menjelaskan dengan mengklaim Pemda DKI telah melakukan pendampingan Kelompok Usaha Kecil dan mendampingi lebih dari 20 ribu pengusaha kecil. (Baca: Saling Klaim Program Wirausaha di Mata Najwa)

Di sesi lain, saat kedua kandidat membahas tentang transportasi massal, dan Anies berjanji akan mengintegrasikan transportasi bus dengan angkutan kota, Ahok mengatakan operasional angkot selama ini tak memiliki layanan standar minimum. "Makanya," kata Ahok, "kerjasama kita (dengan angkot) akan ubah sebagai bus sedang. TransJakarta membantu angkot meremajakan armada."

Meneladani Soeharto dan Meributkan KPR

Dua topik yang paling jadi omongan media sosial dalam debat 'Mata Najwa' kemarin malam adalah pandangan masing-masing calon terhadap sosok Soeharto dan program kepemilikan rumah.

Anies berkata, “Pak Harto itu stabil, tak emosional, sehingga mampu memetakan masalah dengan baik. Dia juga rekrut semua pakar.”

“Bisa jadi kita setuju atau tak setuju (dengan kebijakan Soeharto)," kata Anies menambahkan. "Tapi, pendekatannya sangat stabil. Jakarta butuh pendekatan pemimpin yang stabil dan tidak labil.”

Anies menilai Soeharto mampu menanggapi setiap pertanyaan di ruang publik dengan "respons yang membuat suasana teduh dan tidak memantik masalah."

Ojo dumeh (jangan mentang-mentang), itu filosofinya (Soeharto)," kata Anies.

Sementara Ahok mengakui meneladani Soeharto. Ia satu suara dengan Anies soal kestabilan yang bisa menjadi pelajaran dari penguasa otoriter Orde Baru itu. Namun, Ahok lebih berfokus ke perkara teknis.

“Pelajaran dari Pak Harto itu soal caranya jaga kestabilan harga sembako,” kata Ahok.

Ahok menjawab, satu hal yang bisa dipelajari dari Soeharto adalah stabilnya harga pangan dan bagaimana mengendalikan harga dengan tepat.

Ini tentu menarik, mengingat selama ini banyak pendukung Ahok (juga Anies) yang membela bahwa jagoannya tidak punya ketertarikan dengan Orde baru.

(Catatan: redaksi Tirto bersikap kritis atas "peringatan 51 tahun Supersemar dan haul Soeharto, 11 Maret silam. Baca: "Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah?" dan "Haul Soeharto, Kaum Bersejarah, dan Kaum Tuna Sejarah")

Ahok debat quote

Sesi lain mengenai program rumah murah, Ahok sepakat tapi dengan nada kritis atas pernyataan Anies soal pemerintah seharusnya jadi mediator atas masalah kesenjangan harga rumah dan kemampuan warga membeli rumah di Jakarta. Menurut Ahok, menyediakan tempat tinggal mestilah realistis.

"Saya sepakat dengan pendapat Pak Anies, makanya kita kasih rusun. Pengertian sewa rusun itu salah. Orang dengan gaji Rp3 juta pun, dia tidak sanggup bayar pemeliharaan. Karena harga jual rumah sudah mencapai Rp1 miliar di tengah kota, gimana mau beli rumah ukuran 50 meter persegi sudah Rp300 juta? Jadi, warga tak bisa beli rumah di tengah kota. Kita usulkan, bagi mereka yang punya gaji Rp7-10 juta yang beli tanah di pinggiran Jakarta ... kos di apartemen," ujar Ahok.

"Makanya dia (warga) sewa dulu, bisa menabung untuk beli rumah di pinggiran, sebagai investasi," tambah Ahok.

Anies menimpali dengan mengatakan warga Jakarta memiliki kesempatan memiliki rumah. Anies menawarkan bantuan pembiayaan rumah.

"Warga memiliki kesempatan memiliki rumah mereka. Kami memberikan bantuan pembiayaan rumah. Rumah dengan angka Rp350 juta itu banyak, bukan hanya di pinggiran kota, di tengah kota banyak. Pemerintah harus menyelesaikan supply and demand," terang Anies.

Ahok menyanggah pernyataan Anies: menyediakan rumah bagi warga dengan rata-rata harga Rp300 juta itu terlalu memberatkan dan tidak realistis.

“Tadi, kan, bilang orang mau jual rumah Rp300 juta, pemerintah mau menolong dia. Nah, untuk sediakan 100 rumah dengan harga Rp300 juta ya perlu Rp300 miliar. Uang dari mana itu?” tegas Ahok.

“Tadi, kan, bilang ada jutaan anak milenial yang butuh rumah, terus (katanya) rakyat mau jual rumah. Saya anggap orang mau jual rumah nih, bapak-ibu mau jual rumah Rp300 juta, ini enggak usah bunga, ini (uang muka) sama pemerintah. Kalau (harga rumah) Rp350 juta kali satu juta rumah (sama dengan) Rp350 triliun. Itu uang dari mana? Ngomong gampang: banyak yang mau jual rumah, tapi enggak ada duit buat beli,” sanggah Ahok.

Anies menanggapi, “Pilihannya sederhana: gubernur yang putus asa melihat kenyataan itu atau gubernur yang mau mencari solusi melihat kenyataan itu?” Menurut Anies, ada solusi untuk masalah yang dipaparkan Ahok. “Artinya bisa diselesaikan, karena itu ada perbankan, karena itu ada mekanisme keuangan modern, jadi jangan terlalu khawatirlah kalau soal begitu,” Anies masih percaya diri.

“Kalau APBN Rp2.000 triliun, terus mau beli rumah Rp350 triliun, terus mau bangun apa lagi nanti?” Ahok tertawa.

Ahok tetap bersikukuh bahwa bank tidak akan mengizinkan pemberian kredit rumah tanpa uang muka, jadi solusi yang diberikan pemerintah untuk warga dengan gaji Rp3 juta itu diberikan rumah susun, sedangkan gaji Rp7-10 juta dapat membeli rumah di pinggiran Jakarta, dan kos di apartemen di tengah kota.

“Saya enggak suka bohongin orang untuk menarik simpati,” ujar Ahok saat Anies menilai program yang dinyatakan Ahok belum menunjukkan keberpihakan kepada rakyat.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAGUB DKI 2017 atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam