tirto.id - Sebelum kembali aktif sebagai gubernur dan wakil gubernur yang berlaku sejak dua hari lalu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat telah menyiapkan sejumlah agenda. Salah satu agenda penting yang akan dilakukan meresmikan sejumlah Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) yang ada di ibu kota.
Agenda lain yang sudah masuk agendanya adalah peletakan batu pertama beberapa proyek penting di Jakarta. Misalnya, proyek pembangunan pasar percepatan yang sangat dibutuhkan untuk menekan dan menstabilkan harga kebutuhan pokok di DKI.
“Pas masuk nanti kami akan meresmikan banyak titik bukan hanya RPTRA, nanti akan didata oleh teman-teman dari birokrasi, mana saja yang perlu diresmikan pada hari Senin sama Selasa itu,” kata Djarot usai bertemu warga di Jalan Persatuan, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, pada Selasa (7/2/2017).
Antusiasme Ahok dan Djarot untuk kembali melakukan kerja-kerja di ibu kota sangat wajar mengingat selama masa kampanye, paslon petahana tersebut dinonaktifkan. Tugas mereka digantikan oleh Soni Sumarsono sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI sejak 26 Oktober 2016 lalu.
Ahok kembali aktif memerintah DKI Jakarta setelah masa cutinya berakhir pada 11 Februari. Namun, kembalinya Ahok disorot terkait statusnya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama yang sedang menjalani proses pengadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Menurut pasal 83 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang berstatus sebagai terdakwa dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun penjara atau pidana khusus seperti korupsi dan terorisme, harus diberhentikan sementara.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berpendapat, jika Ahok tetap dipertahankan sebagai gubernur DKI, pemerintah seharusnya mencabut terlebih dahulu ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU 23 tahun 2014.
“Kalau Ahok ini dipertahankan juga, ya cabut dulu pasal itu agar tidak melanggar hukum. Presiden bisa mencabut pasal itu dengan Perppu, dengan hak subyektifnya, asal mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan perppu itu. Jadi kalau tanggal 12 Februari ini Pak Ahok tidak akan dicopot harus keluarkan perppu dulu, tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut itu,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Ahok Bukan Satu-satunya
Ahok bukan satu-satunya petahana yang tersandung hukum saat maju pilkada. Setidaknya ada sejumlah nama lain yang terjerat persoalan hukum, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, antara lain: Ahmad Marzuki (Calon Bupati Jepara), Samsu Umar Samiun (Calon Bupati Buton), Atty Suharti (Calon Wali Kota Cimahi), dan Rusli Habibie (Calon Gubernur Gorontalo).
Namun, ada perbedaan antara status hukum Ahok dengan sejumlah nama petahana calon kepala daerah di atas. Status hukum Ahok adalah terdakwa, Rusli Habibie sebagai terpidana percobaan, sedangkan status hukum kepala daerah lainnya masih sebagai tersangka korupsi.
Atty Suharti ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dugaan menerima suap terkait pembangunan pasar tahap kedua senilai Rp57 miliar. Hal yang sama juga terjadi pada Samsu Umar Abdul Samiun yang ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2016 terkait kasus suap Rp1 miliar terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait Pilkada Buton pada Agustus 2011 silam.
Ahmad Marzuki ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah karena diduga melakukan penyelewengan dana bantuan partai politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2011-2012. Selama periode itu, PPP Jepara disebut menerima bantuan dana Rp149 juta per tahun. Akibat penyelewengan itu, negara diduga dirugikan sebesar Rp79 juta.
Rusli Habibie sudah berstatus sebagai terpidana percobaan dalam kasus pencemaran nama baik Komjen Budi Waseso. Namun, status terpidana percobaan tersebut tidak berpengaruh terhadap status Rusli sebagai Gubernur Gorontalo, bahkan ia lolos sebagai salah satu calon gubernur pada pilkada 15 Februari mendatang.
Ahok Belum Dituntut & Bukan Terdakwa Kasus Korupsi atau Terorisme
Kepala daerah yang terlibat kasus hukum dengan ancaman pidana paling sedikit lima tahun penjara atau pidana khusus seperti korupsi dan terorisme, semestinya memang diberhentikan sementara sebagai kepala daerah sampai adanya putusan final pengadilan sesuai pasal 83 UU No. 23 tahun 2014 yang disebut oleh Mahfud MD.
Namun, Ahok bukan terdakwa dalam kasus korupsi dan terorisme. Ia didakwa dengan dakwaan Pasal 156 dan 156a KUHP. Jika Pasal 156 KUHP yang didakwakan kepada Ahok, maka ia diancam pidana penjara paling lama empat tahun. Jika Pasal 156a yang akhirnya didakwakan, maka ia diancam pidana penjara maksimal lima tahun.
Dengan pertimbangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberlakukan dakwaan alternatif dalam kasus Ahok, pemerintah baru akan mengambil sikap setelah JPU membacakan tuntutannya pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
“Saya tunggu tuntutan jaksa resmi dulu. Jaksa menuntut kan tidak alternatif A dan B, sudah pasti satu,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di lingkungan Istana Presiden Jakarta, Jumat (10/2/2017).
Menurut Tjahjo, sudah ada sejumlah contoh kasus beberapa pimpinan daerah yang tidak diberhentikan sampai ada keputusan hukum tetap.
“Banyak yang kami terapkan selama saya dua tahun jadi Mendagri. Kalau dia OTT (Operasi Tangkap Tangan) langsung diberhentikan. Kalau dia ditahan, langsung diberhentikan sementara sampai keputusan hukum tetap. Kalau dia tidak ditahan tetapi tuntutannya di bawah lima tahun, [...] maka dia tetap menjabat sampai in-kracht,” kata Tjahjo.
Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok belum sampai pada agenda penuntutan oleh jaksa. Maka, belum jelas berapa lama ancaman penjara untuk Ahok, apakah minimal lima tahun atau kurang dari lima tahun. Mendagri Tjahjo tak mau dirinya digugat jika ia keburu memberhentikan Ahok, tapi ternyata nanti jaksa menuntut dengan ancaman penjara tak sampai lima tahun.
"Kalau [Ahok] saya berhentikan, tahu-tahu nanti jaksa menuntut empat tahun, kan saya digugat," katanya. "Jadi statusnya [Ahok] tunggu tuntutan jaksa."
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani