tirto.id - Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Eddy O.S Hiariej mengatakan, Tim Hukum BPN Prabowo-Sandi gagal membuktikan hubungan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019, tetapi justru menggunakan teori-teori tanpa bisa membuktikan kecurangan itu sendiri.
Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019), Eddy mengacu kepada penjelasan Pasal 286 ayat (3) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 terkait definisi TSM. Terutama perihal “terstruktur” yang menunjukkan adanya pelanggaran secara kolektif atau secara bersama-sama.
Dalam memaknai kata “terstruktur”, kata Eddy, pemohon harus membuktikan dua unsur. Pertama, adanya meeting of mine antara pelaku pelanggaran sebagai syarat subjektif. Kedua, ada kerja sama yang nyata untuk mewujudkan meeting of mine syarat objektif secara kolektif atau bersama-sama.
Dalam pandangan Eddy, situasi tersebut tidak terpenuhi dalam Pilpres 2019. "Hal ini sama sekali tidak terlihat dalam fundamentum petendi (dalil pemohon)," kata Eddy saat memberikan keterangan dalam persidangan.
Kemudian dari kata “sistematis”, menurut dia, tim Prabowo-Sandi harus bisa membuktikan bahwa pelanggaran tersebut direncanakan secara matang, tersusun bahkan sangat rapi. Apabila mengacu teori hukum, ungkap dia, harus bisa membuktikan juga unsur substansi perencanaan, siapa yang melakukan, kapan dan di mana.
Tidak hanya itu, Eddy juga menilai, BPN harus bisa menunjukkan secara pasti terjadinya kerja sama yang nyata untuk menunjukkan adanya meeting of mine tersebut. Tanpa unsur tersebut, tidak ada pembuktian secara sistematis.
Terkait kata “masif”, Eddy mengatakan, juga harus bisa dibuktikan adanya pelanggaran yang berdampak luas kepada hasil pemilihan. Untuk membuktikan adanya kecurangan secara masif, Eddy mengatakan, harus ada hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampak di publik.
Eddy berkesimpulan, kubu Prabowo-Sandi hanya sebatas menggeneralisir sejumlah kejadian menjadi unsur TSM. Padahal, pembuktian pelanggaran TSM harus berdampak dengan hasil Pilpres 2019. Namun, kubu 02 tidak membuktikan dalil TSM meski tidak menggunakan teori.
"Dalam fundamentum petendi, hal ini sama sekali tidak dijelaskan oleh kuasa hukum pemohon. Belum lagi dasar teoretik dalam hubungan kausalitas, apakah hendak menggunakan teori Birkmayer, teori Binding ataukah teori Kohler," Kata Eddy.
"Alih-alih menggunakan teori, kuasa hukum pemohon sama sekali tidak menyinggung hubungan kausalitas antara terstruktur, sistematis yang berdampak masif dan hubungannya dengan selisih perhitungan suara," lanjut Eddy.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto