tirto.id - Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi panggung politik bagi dua kubu paslon. Hal itu, kata dia, terlihat dari banyaknya penggunaan diksi-diksi politis selama sidang MK berlangsung.
“Memang nyata betul bahwa yang kita alami selama seminggu ini seperti panggung politik, dalam arti begitu banyak yang diungkapkan di sidang itu sebenarnya cara untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kepada masing-masing pendukung," kata Bivitri saat ditemui di daerah Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2019) siang.
Menurut dia, kesan kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf memanfaatkan sidang sebagai sarana untuk menyampaikan komunikasi politik terhadap pendukung masing-masing, terlihat jelas.
"Salah satu kuasa hukum juga berulang kali mengungkapkan ‘ini harus diperjelas ini, karena publik juga harus tahu’,” ujar Bivitri.
Hal lain yang perlu dilihat secara kritis, lanjut Bivitri, adalah penggunaan diksi-diksi politis oleh para saksi yang dihadirkan dalam sidang MK. Contohnya, kata Bivitri, seperti ungkapan “KTP palsu”, “kecamatan siluman”, “KK manipulatif”, hingga “NIK rekayasa.”
Semua diksi tersebut, kata Bivitri, merupakan kesimpulan yang seharusnya dikatakan seorang ahli, bukan saksi. Semua diksi tersebut menjadi bahasa politik yang digunakan para saksi untuk menyampai pesan-pesan tertentu kepada publik yang menonton jalannya persidangan.
“Tentu saja MK tak bisa dihindarkan menjadi panggung politik karena jutaan orang menontonnya setiap saat. Ini merupakan cara yang efektif bagi kedua kubu menyampaikan narasi-narasi politisnya," ujar dia.
"Kita juga paham bahwa selama berbulan-bulan diksi-diksi tersebut yang digunakan oleh kubu kampanye. melalui kampanye, media sosial, secara konsisten,” tambah Bivitri.
Oleh karena itu, Bivitri mengingatkan agar publik melihat persidangan di MK secara keseluruhan dan menilainya dengan kritis.
Sidang sengketa hasil Pilpres 2019 kini tinggal menunggu pembacaan putusan. Majelis hakim MK memiliki waktu paling lambat 28 Juni 2019 untuk memutuskan hasil perkara tersebut.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Addi M Idhom