Menuju konten utama
Sidang Sengketa Pilpres 2019

Ahli 01: Belum Pernah MK Putuskan Diskualifikasi Peserta Pemilu

Heru Widodo menjelaskan selama ini belum pernah ada putusan diskualifikasi kandidat yang dikeluarkan MK dalam konteks Pileg dan Pilpres nasional. 

Ahli 01: Belum Pernah MK Putuskan Diskualifikasi Peserta Pemilu
Ahli dari pihak terkait Prof Edward Omar Syarief Hiariej (kiri) dan Dr Heru Widodo (kanan) bersiap memberikan keterangan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.

tirto.id - Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Heru Widodo menjelaskan, ada tidaknya wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendiskualifikasi kandidat pada Pemilu 2019 dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (21/6/2019).

Heru yang menjadi ahli yang diajukan Kuasa Hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pihak terkait dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 ini mengatakan, selama ini belum pernah ada putusan diskualifikasi kandidat yang dikeluarkan MK dalam konteks Pileg dan Pilpres nasional.

Heru pun mendasari putusan-putusan MK dalam mengadili perkara diskualifikasi pada Pilkada serentak sejak 2015.

Pertama, putusan perkara Pilgub Provinsi Maluku Utara 2018, dimana ada permintaan diskualifikasi yang muncul pada tahapan Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Bawaslu Provinsi Maluku Utara saat itu merekomendasikan untuk didiskualifikasi. Akan tetapi MK berpendapat, langkah diskualifikasi adalah wewenang penegak hukum lain.

Rujukan kedua muncul dari Putusan sengketa Pilkada Kabupaten Kuantan Singingi 2015. Saat itu ada permohonan untuk diskualifikasi pemenang karena tidak memenuhi syarat dukungan partai politik, namun MK tak memenuhinya dan menyerahkan kewenangan kepada peradilan Tata Usaha Negara (TUN).

"Mahkamah menegaskan, permasalahan hukum tersebut termasuk dalam kategori sengketa TUN pemilihan. Mekanisme dan batasan waktu penyelesaian atas permasalahan tersebut telah diatur pula dengan jelas dan tegas dalam UU a quo, sehingga masalah syarat dukungan partai yang berakibat tidak sahnya penetapan pasangan calon merupakan kewenangan lembaga lain untuk menyelesaikannya," kata Heru.

Rujukan ketiga yang diambil Heru yakni putusan perkara Pilkada Kabupaten Jayapura 2017. Saat itu muncul permohonan agar MK mendiskualifikasi bupati petahana lantaran tindakannya mengganti pejabat di waktu yang tak diperbolehkan.

Saat itu MK berpendapat, rekomendasi Bawaslu soal diskualifikasi baru dikeluarkan setelah rekapitulasi penetapan hasil. Karena itu, MK menganggap tidak relevan rekomendasi Bawaslu untuk dipertimbangkan.

Terakhir, Heru merujuk keputusan MK pada perkara Pilkada Kabupaten Kepulauan Yapen 2017. Saat itu, MK justru memulihkan perbuatan diskualifikasi yang dilakukan penyelenggara Pemilu setelah pilkada selesai.

MK saat itu menjatuhkan putusan sela dengan perintah pelaksanaan PSU se-Kabupaten, dengan mengikutsertakan pasangan calon yang didiskualifikasi.

"Ukuran-ukuran yang terdapat dalam putusan-putusan tersebut, menurut Ahli, tepat dan relevan untuk dijadikan ukuran dalam menimbang atas permohonan diskualifikasi dalam perselisihan hasil Pilpres 2019 ini, meskipun hukum kita tidak menjalankan stare decicis atau precedent," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Yandri Daniel Damaledo