tirto.id - Pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019 belum memprioritaskan agenda pembenahan kualitas hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Pelanggaran HAM masih secara kuantitas.
Peneliti dari Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Robertus Robert mengatakan, pasangan calon peserta pilpres 2019 belum ada yang mampu menunjukan agenda reformasi HAM untuk lima tahun ke depan.
Robert menyampaikan, ada tiga agenda reformasi yang harus ditunjukan oleh paslon peserta Pilpres 2019 agar mereka bisa dikatakan mendukung penegakan HAM di Indonesia.
Pertama, adalah skandal peristiwa pembantaian tahun 1965. Kedua, penghapusan hukuman mati. Dan ketiga, perjuangan hak dari kelompok LGBT.
“Tidak usah tiga. Kalau dua dari tiga ini bisa dipenuhi, maka akan menghasilkan perubahan kultural besar soal penegakan HAM di Indonesia dan dia layak didukung,” kata Robert di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Dari survei yang dilakukan Robert bersama kawan-kawannya tentang kultur HAM di Indonesia, sebagian besar dari sekitar 2.000 responden menyetujui hak LGBT tak diakomodir sebagai HAM.
Mantan Koordinator Kontras Haris Azhar juga berharap masalah ini seharusnya bisa diubah oleh pemimpin Indonesia terpilih.
“Harusnya negara muncul di situ. Dia bukan hanya jadi pengadil, tapi dia muncul sebagai educator. Dia yang memfasilitasi informasi itu tersebar,” ucap Haris.
Haris juga menyesalkan, pemerintah mengkategorikan masalah HAM dalam artian yang sempit.
Pemerintah cenderung memandang HAM dari kuantitas terdampak. Hal ini justru menghilangkan makna HAM karena setiap orang sebenarnya memiliki itu.
“Mereka merasa sudah bergerak hanya karena membuat program pada isu yang lebih banyak korbannya,” jelas Haris.
Direktur Lokataru Foundation ini juga menyesalkan tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM di Indonesia.
Saat ada masalah, pemerintah hanya menyelesaikannya lewat pembentukan undang-undang, bukan memproses hukum para pelaku. Ini juga yang terjadi dalam kasus kerusuhan 1998.
“Kalau ada peristiwa melanggar HAM pada 1998, pelakunya tidak diadili, tapi dia berubah jadi undang-undang. Tapi dia tidak jadi instrumen, mengubah isi negara kita,” kata dia.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Nur Hidayah Perwitasari