tirto.id - La Sali akan selalu mengingat Kamis, 26 September 2019, sebagai hari kelabu. Pada hari itu dia menemukan anaknya, Randi (21), terbujur kaku di rumahnya.
Randi adalah mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo. Ia tewas ditembus peluru saat berdemonstrasi di depan DPRD Sulawesi Tengah. Randi, bersama kawan-kawan mahasiswanya, juga mahasiswa di kota lain, menolak pengesahan RKUHP dan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah lain.
Selain Randi, dalam peristiwa yang sama Yusuf Qardawi juga tewas. Keduanya, berdasarkan hasil autopsi, ditembak peluru tajam.
Randi dan Yusuf menambah panjang daftar orang-orang yang meninggal karena ter(di)tembak. Sebagai pengingat, dalam demonstrasi menolak hasil pemilu di Jakarta pada 21-23 Mei lalu, beberapa orang juga meninggal dunia karena tembakan.
Setidaknya ada empat korban tewas karena tembakan dalam peristiwa itu: Harun Rasyid (15), warga Duri Kelapa yang tewas di Slipi, Abdul Aziz (27) warga Pandeglang yang tewas di dekat Asrama Brimob Petamburan, Raihan Fajri (16) warga Petamburan, dan Bahtiar Alamsyah (23) warga Batuceper.
Semua kasus ini belum selesai, dalam arti belum terungkap siapa si penembak.
Pengacara publik dari LBH Jakarta Nelson Simamora mengatakan ini adalah bukti kalau polisi tidak serius mengungkap kasus. Dalam kasus-kasus lain yang serupa, polisi yang terbukti melakukan pelanggaran pun seringkali hanya diproses internal, bukan pidana.
"Enggak ada keseriusan mengungkap itu. Temuan enggak pernah diumumkan ke publik. Apa sih temuan 21-23 Mei itu? Enggak ada, kan?" kata Nelson kepada reporter Tirto, Rabu (3/9/2019).
Informasi soal perkembangan pengusutan kasus 21-23 Mei mulai menguap sejak Juli, dan benar-benar hilang ketika meledak isu rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Agustus kemarin. Sebelum itu, awal Juli lalu, polisi menjelaskan mereka sulit mengusut kasus ini salah satunya karena minim saksi.
Perkembangan kasus Kendari sedikit lebih baik. Tim investigasi Mabes Polri memeriksa enam personel Polda Sultra dan Polres Kendari yang diduga melanggar standar operasional prosedur.
Karo Provost Mabes Polri Brigjen Pol Hendro Pandowo mengatakan mereka membawa senjata api saat menjaga demo mahasiswa di Kendari--padahal berkali-kali Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan tak ada satu pun personel yang dibekali peluru.
Tindakan ini selaras dengan instruksi Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk menginvestigasi anggotanya yang represif.
Presiden lantas meminta tidak ada pihak-pihak yang menuduh polisi sebelum investigasi selesai.
"Yang menembak itu juga belum [ketahuan], jadi jangan ditebak-tebak lebih dulu sebelum investigasi selesai," kata Jokowi di depan Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Meski begitu, Nelson bilang itu tidak cukup. Ia mengusulkan agar pemerintah membentuk tim investigasi independen. Alasannya: jika penyelidikan dilakukan 'orang luar', maka tidak akan konflik kepentingan, termasuk kecenderungan menjaga citra lembaga.
Dia menegaskan polisi memang salah. Penggunaan peluru jelas tidak tepat sasaran. "Jadi ada urutannya, enggak bisa tiba-tiba pakai peluru tajam," Nelson menegaskan.
Komisioner Komisi Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam tidak merasa tim investigasi independen itu mendesak. Namun dia menegaskan polisi memang harus selalu akuntabel dalam menginvestigasi bahkan anggotanya sendiri.
Itu penting bukan hanya bagi masyarakat dan menegakkan keadilan bagi keluarga korban, tapi juga untuk citra polisi itu sendiri.
"Semua aparat penegak hukum punya kewajiban untuk jaga akuntabilitasnya kalau mau dipercaya publik. Jadi itu kebutuhan mereka sebenarnya. Jadi memang ada baiknya diumumkan," kata Anam di Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Ia juga mengapresiasi masyarakat yang aktif memantau dan memberi tekanan kepada polisi agar bergerak cepat. Terbukti, tekanan masyarakat bisa membuat polisi mengautopsi jenazah Randi oleh dokter independen.
"Kalau kasus ini tidak kita perhatikan, ya, enggak akan naik," katanya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri