tirto.id - Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan pemerintah perlu berhati-hati menerima pendanaan bagi proyek infrastruktur dari Cina.
Koordiantor Utama AEER, Pius Ginting menilai, proyek yang didanai oleh lembaga finansial Cina enggan menerima keluhan maupun protes masyarakat yang terdampak dari pembangunan itu.
Ia mencontohkan masyarakat terdampak pembebasan lahan hingga persoalan kerusakan lingkungan tak didengar keluhannya.
Pius juga merujuk pada potensi masalah yang sama saat pemerintah akan mengajukan pendanaan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative (BRI) yang akan digelar selama 24-27 April 2019 ini.
"Gak ada ruang komplain bagi masyarakat sipil dan gak ada peninjauan lapangan," ucap Pius dalam diskusi dengan media, di Jakarta, Rabu (24/4).
Pius juga mengatakan keadaan jauh berbeda saat pemerintah menerima pendanaan dari lembaga finansial dari Bank Dunia (WB).
Ia mengatakan dalam penyalurannya, WB memiliki standar ketat yang memastikan aspek perlindungan masyarakat adat, lingkungan hidup, keanekaragaman hayati.
"Berbeda dengan investasi Cina. Sangat minim ruang advokasi bagi proyek yang didanai dari Cina," kata Pius.
Saat ada pelanggaran, kata dia, proyek dari WB akan segera diverifikasi oleh tim lapangan. Konsekuensinya, lanjut dia, dapat berujung pada penghentian pendanaan.
Selain itu, ia juga menilai Japan Bank for International Cooperation (JBIC) punya standar sama dengan WB.
Menurut dia, keluhan masyarakat dapat didengar hingga ke parlemen Jepang untuk memastikan bahwa investasi negeri Sakura itu tak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
"Kalau ada problem seperti PLTU Cirebon itu bisa mengadu ke JBIC. Kita juga bisa dihubungkan ke parlemen Jepang karena ada kepedulian agar investasi Jepang tidak merusak lingkungan," ucap Pius.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali