Menuju konten utama
6 Agustus 1996

Adios Amigos, Salam Perpisahan The Ramones

Konser terakhir The Ramones menjadi puncak dari segala konflik yang hadir selama dua dekade lebih perjalanan band.

Adios Amigos, Salam Perpisahan The Ramones
Ilustrasi Mozaik Ramones. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada 1995, The Ramones merilis album bertajuk ¡Adios Amigos! ("selamat tinggal"). Sekitar 12 bulan berselang, tajuk itu berubah jadi kenyataan. The Ramones mengucapkan perpisahannya kepada dunia.

Akhirnya, pada 6 Agustus 1996, tepat 23 tahun yang lalu, di The Palace, Hollywood, California, The Ramones menggelar konser terakhirnya. Pementasan pamungkas dari kuartet punk yang berdiri sejak 1974 tersebut diramaikan oleh setlist berisikan 30-an lagu, sepasang encore, serta beberapa musisi tamu macam Lemmy Kilmister sampai Eddie Vedder.

Selama lebih dari 20 tahun, The Ramones berupaya untuk terus berdiri tegak—menjadikan musik sebagai palagan suka cita. Namun, malam itu, setelah 2.263 gig, The Ramones akhirnya menyadari satu hal: sudah saatnya untuk berhenti.

“Aku dapat memberitahumu bahwa ini akan segera berakhir,” kata Joey Ramone, kepada Billboard, pada 1995. “Semua yang baik akan berakhir pada suatu hari. Perasaanku campur aduk. Ada banyak pertengkaran, omong kosong, frustrasi, dan politik.”

Kendati judulnya perpisahan, konser terakhir The Ramones justru tak bergelimang air mata maupun perasaan emosional lainnya. Semua berjalan datar—seperti tak terjadi apa-apa.

“Kami melakukan pertunjukan dan sesudahnya tidak ada yang mengatakan satu patah kata pun,” kenang Marky Ramone, sang penggebuk drum. “Tidak ada yang mengucapkan tinggal satu sama lain.”

Bapak Punk

Membicarakan The Ramones berarti membicarakan empat orang anak muda yang seperti tak punya masa depan mengubah lanskap musik punk dunia. Kisah The Ramones merupakan kisah tentang kebebasan, pencarian jati diri, serta upaya mengubur masa lalu yang pahit.

Momentum emas The Ramones dalam jagat punk lahir pada 1976 kala single mereka berjudul “Blitzkrieg Bop” meledak di pasaran. Popularitas The Ramones kian moncer ketika di tahun yang sama, mereka berhasil menginvasi daratan Inggris dengan paripurna, yang kemudian disusul pencapaian serupa di negara lainnya seperti Kanada.

Saat The Ramones bersinar, dunia tengah diokupasi gelombang punk. Di Inggris, ada Sex Pistols dan The Clash. Sementara di AS, klub kumuh bernama CBGB yang berlokasi di Manhattan East Lower Side melahirkan band-band yang nantinya disebut-sebut sebagai dedengkot punk rock Amerika, macam Blondie, Television, sampai Talking Heads.

The Ramones sendiri merupakan bagian penting dari tumbuh-kembang punk di dekade 1970-an. Didirikan pada 1974 di Forest Hills, Queens, New York, The Ramones, beranggotakan Joey, Johnny, Dee Dee, dan Tommy. Nama The Ramones, sebagaimana diwartakan The New York Times, terinspirasi oleh nama samaran yang pernah digunakan Paul McCartney: Paul Ramon.

Keempat anggota The Ramones saling mengenal sejak SMA. Masa SMA mereka bisa dikata tak istimewa. Terlebih, seperti ditulis Charles M. Young dalam “The Ramones Are Punks and Will Beat You Up” yang terbit di Rolling Stone (1976), mereka sering dicampakkan perempuan.

“Mereka [para perempuan] selalu ingin pergi dengan orang-orang [pria] yang punya Corvet,” kenang Johnny. “Jadi, ya, kami tidak bisa melakukan apa-apa selain memanjat atap rumah dan menghirup lem. Ketika para musisi tidak pernah punya pacar [di awal kariernya], mereka malah dapat gitar.”

Pada 1974, The Ramones dibentuk. Namun, jalannya tak mudah. Masalah pertama yang muncul, selain kemampuan bermusik yang pas-pasan, adalah ketidakcocokan para personel dengan posisinya. Butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya keempat personel duduk di kursi yang pas: Dee Dee pada bass, Tommy di drum, Joey jadi vokalis, dan Johnny memegang gitar.

Sejak awal, The Ramones ingin bermain musik sesederhana mungkin. Artinya, meski membawa pakem rock, mereka tak ingin musiknya njlimet.

“Musik kami adalah jawaban bagi [musik] era 1970-an awal ketika musisi dengan ego besar akan melakukan harmoni vokal dan memainkan solo gitar panjang dan oleh sebabnya mereka dipanggil jenius. Itu omong kosong. Kami bermain rock & roll. Kami tidak melakukan solo [gitar]. Satu-satunya harmoni kami adalah nada dari akord gitar,” tegas Tommy.

Maka, dari sini, lahirlah musik yang ringkas namun menyimpan bara antusiasme yang besar. Musik yang berhasil memadukan empat kunci dengan lirik-lirik yang berani, nakal, dan provokatif sehingga membikin para pendengar berjingkrak kegirangan.

Debut The Ramones di hadapan khalayak ramai terjadi pada Agustus 1974 di CBGB. Tampil selama kurang lebih 17 menit, The Ramones rupanya gagal memberikan impresi positif. Publik menilai mereka tak cakap bermain musik. Kritik pun jadi ganjaran bagi mereka.

Pengalaman tak menyenangkan itu bikin The Ramones serius berbenah. Mereka berlatih keras demi meningkatkan kualitas dan memperbaiki style agar lebih mudah diingat audiens. Setahun kemudian, The Ramones sudah beralih rupa: empat anak muda dengan jaket kulit dan jins robek yang membawakan warna rock & roll yang cepat, atraktif, dan energik.

Revolusi The Ramones ditangkap dengan baik oleh Danny Fields, seorang manajer band yang sebelumnya berhasil mengorbitkan The Stooges dan MC5. Danny terpana dan kemudian mengenalkan The Ramones pada Sire Records.

“Aku menyukainya dalam lima detik pertama, sejak saat mereka mulai bermain. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya,” ucapnya.

Kesepakatan antara The Ramones dan Sire lalu berhasil diteken. Tak lama usai penandatanganan kontrak, The Ramones, pada Mei 1976, melepas album pertama mereka.

Sisanya, seperti kita tahu, kepak sayap reputasi The Ramones tak pernah lagi sama.

“Mereka ingin menjadi band terbesar di dunia,” ucap Linda Ramone, istri Johnny, kepada The Guardian. “Mereka hendak jadi sebesar The Beatles.”

Infografik Mozaik Ramones

Infografik Mozaik Ramones. tirto.id/Nauval

Narkoba, Cinta, dan Tiran

Bersama Sire, The Ramones membikin beberapa album, dari Pleasant Dreams (1980), Subterranean Jungle (1983), Animal Boy (1986), Halfway to Sanity (1987), hingga Brain Drain (1989). Dalam album-album tersebut, musik The Ramones kian bertransformasi—keras dan agresif—kendati tak mengubah signature mereka sejak mula.

Di antara album yang dibuat, End of Century (1980) seringkali dipandang sebagai album tersukses. Pasalnya, album ini berhasil duduk di nomor 44 tangga lagu Billboard 200—lebih tinggi ketimbang album The Ramones yang lain.

Seiring ketenaran yang menjulang, masalah demi masalah tak luput hinggap di tubuh The Ramones. Dari keluarnya Tommy, konflik Johnny-Joey akibat urusan asmara, maupun ketergantungan akut Dee Dee terhadap kokain.

Tapi, faktor yang berpengaruh signifikan dalam retaknya internal The Ramones ialah sikap Johnny yang dinilai suka bertindak semena-mena. Johnny, selalu pemimpin de facto The Ramones, tulis Mikal Gilmore dalam “The Curse of the Ramones” yang dipublikasikan Rolling Stone, memerintah band dengan tangan besi. Johnny, ambil contoh, tak ragu memberi denda pada tiap personel ketika datang latihan terlambat. Johnny tak takut pula menghajar rekan satu bandnya (atau orang lain) bila kedapatan bikin dirinya muak.

Pelbagai permasalahan yang rumit ini mendorong pada menurunnya penampilan sekaligus kesolidan The Ramones. Band, yang sejak mula dibikin dengan semangat perkawanan, malah berubah jadi ruang adu jotos dan argumen yang tak pernah menemui titik ujung.

Agar masalah tak berlarut-larut dan seperti tak punya solusi yang tepat, Johnny memutuskan untuk membatasi eksistensi The Ramones sampai 1996, setelah merampungkan album dan menunaikan tur. Setelah konser terakhir dilaksanakan, The Ramones resmi pecah kongsi.

Bagi Johnny, The Ramones adalah rumahnya. Bedanya, Johnny punya cara sendiri untuk menjaga rumah yang dibangun selama puluhan tahun itu.

“Aku tidak banyak bilang ke orang lain. Ini caraku menjalani hidup. Tentu saja aku merasa kehilangan. Aku hanya tak ingin mengakuinya.”

Baca juga artikel terkait BAND PUNK atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono