tirto.id - Proyek renovasi ruangan Dewan Pengarah BRIN senilai Rp6,1 miliar di Lantai 2 Gedung B.J Habibie secara resmi dibatalkan. Hal itu diungkapkan oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Dirinya mengakui bahwa saat keputusan renovasi itu dikeluarkan ada sejumlah hal detail yang luput dari pihaknya.
“Renovasi kami batalkan. Sejak awal ruangan tersebut tidak ada rencana mengubah ruangan Ketua Dewan Pengarah BRIN, kebutuhan renovasi hanya untuk wakil, sekretaris, dan anggota dewan pengarah,” kata Laksana Tri Handoko dalam rilis tertulis pada Senin (18/7/2022).
Laksana menjabarkan sejumlah alasan kenapa kebijakan revitalisasi harus tetap dilakukan. Di antaranya, perubahan fungsi yang ada saat ini seperti lounge, ruang makan, dan ruang audio yang mirip fungsi ruang karaoke di lantai 2 menjadi ruang rapat besar.
Selain itu, Ketua Dewan Pengarah BRIN Megawati Soekarnoputri juga menyampaikan bahwa ingin agar ruang kerjanya dikurangi hingga 40 persen dari total luas ruangan saat ini.
“Sejak awal, Ketua Dewan Pengarah BRIN mengimbau untuk mengurangi hampir 40 persen luasan Ruang Kerja eks Kepala BPPT tersebut, yang sangat besar itu, untuk dijadikan Ruang Kerja Dewan Pengarah lainnya,” jelasnya.
Pertimbangan renovasi tetap dilakukan karena Dewan pengarah BRIN dijabat oleh beberapa orang yang sudah sepuh. Seperti Emil Salim dan Bambang Koeswoyo yang menurutnya riskan bila bekerja di lantai terlalu tinggi.
"Sebut saja Prof. Emil Salim dan Prof. Bambang Kesowo, yang selama ini bekerja di lantai yang sangat tinggi. Untuk itu, ruangan seyogianya dijadikan satu demi efektivitas koordinasi dan komunikasi,” ungkapnya.
Rencana renovasi ini dibatalkan usai menuai kritik dari publik karena anggaran yang besar Rp6,1 miliar untuk fungsi yang justru kurang penting seperti menambah kamar tidur di ruang Dewan Pengarah BRIN. Laksana menegaskan bahwa ke depannya ruangan dewan pengarah akan tetap direnovasi hanya berdasarkan asas fungsi.
“Selain itu ruangan yang dulunya kebesaran, mewah, berlebihan, akan diubah dan difungsikan menjadi jauh lebih optimal,” terang Handoko.
“Ruangan yang ada di lantai 2 nantinya adalah ruang rapat besar dan kecil, ruang kerja dewan pengarah (2 Wakil Ketua, Sekretaris, 6 anggota Dewan Pengarah BRIN). Ruang kerja Ketua Dewan Pengarah tidak ikut diubah sama sekali, seperti rencana semula," imbuhnya.
Informasi tender proyek renovasi ini tertera di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) lpse.brin.go.id. Dalam website tersebut, ditulis nilai pagu paket sebesar Rp 6.109.000.000 dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 6.063.492.327.
Selain itu, sudah ada 167 peserta yang terdaftar. Namun, seluruh peserta yang terdaftar tidak tercantum jelas, nama atau perusahaan secara jelas di dalam website itu.
Laksana menjelaskan soal nama perusahaan itu akan keluar nanti setelah pembukaan penawaran dari sistem LKPP.
"Kalau nama perusahaan ya sistem dari LKPP, akan keluar nanti setelah pembukaan penawaran. Tetapi pengadaan ini sudah kami putuskan dibatalkan," ujar Laksana.
Renovasi Ruang Dewan Pengarah BRIN Tanpa Transparansi
Sebelum Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengumumkan pembatalan renovasi ruang dewan pengarah, sejumlah pihak BRIN telah mencoba memberi penjelasan mengenai proyek tersebut. Namun, sayangnya, penjelasan dari Tim Humas BRIN kurang jelas dan tidak cukup menjawab pertanyaan publik soal anggaran jumbo dan peruntukan proyek tersebut.
Salah satunya dari Plt. Sekretaris Utama BRIN, Nur Tri Aries Suestiningtyas yang menyatakan bahwa semua proses renovasi sudah sesuai dengan koridor regulasi.
“Sudah sesuai dengan koridor regulasi, sejalan dengan pembenahan sarana prasarana untuk para periset baik infrastruktur laboratorium maupun ruangan kerja secara bertahap. Pihak manajemen BRIN masih terus berbenah. Secara bertahap sarana prasarana untuk periset diperbaiki, termasuk juga fasilitas co-working space untuk kenyamanan kerja sivitas, khususnya para periset,” katanya.
Penjelasan Nur tidak mengungkap apakah renovasi ini memiliki dampak pada kinerja BRIN ke depan. Hanya mengandalkan pada keputusan regulasi tanpa ada upaya penjelasan signifikan terutama rincian penggunaan Rp6,1 miliar akan diarahkan kemana.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyebutkan para dewan pengarah BRIN adalah pejabat yang telah memiliki ruang kerja sendiri tanpa perlu disediakan oleh BRIN. Sehingga menurutnya yang perlu disediakan adalah ruang diskusi demi peningkatan kualitas riset berkelanjutan.
"Anggota dewan pengarah ini kan umumnya adalah tokoh atau pejabat di lembaga lain yang sudah memiliki ruang kerja. Sehingga yang dibutuhkan untuk mereka adalah ruang pertemuan untuk diskusi yang bersifat co-working space," terangnya.
Mulyanto menegaskan bila proyek renovasi ruang dewan pengarah menjadi tambahan masalah bagi BRIN, di saat sebelumnya lembaga ini masih belum menyelesaikan proses administrasi terkait pemindahan peneliti, barang, gedung dan laboratorium pasca peleburan dari sejumlah lembaga riset milik pemerintah lainnya.
"Dewan pengarah seharusnya memberikan arahan yang bernas dan jitu bagi pengembangan riset dan teknologi di Tanah Air. Terutama setelah peleburan hal ini semakin menunjukkan mandeknya berbagai tema riset yang sebelumnya sudah ada di eks LPNK atau Balitbang sejumlah kementerian," ungkapnya.
"Soal administrasi pemindahan orang peneliti, barang, laboratorium, gedung, termasuk program dan anggaran ini terlihat amburadul, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ini perlu diselesaikan dan ditata sampai tuntas. Karenanya tidak heran kalau banyak temuan dari Ombudsman maupun BPK," ujarnya.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Adinda Tenriangke Muchtar mengkritik pola komunikasi BRIN. Dirinya berharap agar setiap ada kegiatan yang mengeluarkan dana anggaran besar memiliki penjelasan signifikan sehingga bisa memuaskan publik selaku pembayar pajak.
"Jangan lagi memberikan penjelasan renovasi hanya karena anggota dewan pengarah BRIN itu sudah tua. Tapi sebagai publik Indonesia yang cerdas kita butuh ingin tahu apa yang bisa dilakukan BRIN ke depan. Agar kebijakan riset di Indonesia bisa lebih baik dan matang nantinya," terangnya.
Adinda sejatinya tidak masalah bila renovasi dengan jumlah anggaran Rp 6,1 miliar tetap dilakukan. Namun, informasi yang diberikan oleh BRIN sangat terbatas, dan tidak ada jaminan bahwa itu menjadi daya dorong agar riset Indonesia bisa lebih baik.
"Transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintah menjadi suatu hal yang sangat penting. Informasi yang rinci dan jelas pemanfaatannya menjadi suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat," jelasnya.
Pembatalan proyek renovasi ini, menurutnya, menjadi dua sudut pandang yang bisa berarti positif dan negatif. Dari sisi positifnya, Adinda memandang demokrasi di Indonesia masih berjalan baik, dengan berupaya mencegah aliran dana publik ke arah proyek yang tidak jelas manfaatnya.
"Demokrasi masih berjalan dan sesuatu yang dianggap menghamburkan uang publik masih bisa dicegah, sehingga pemanfaatan sumber daya publik bisa diarahkan ke hal yang lebih prioritas," terangnya.
Dari segi negatif, Adinda khawatir batalnya renovasi kantor dewan pengarah BRIN menjadi suatu preseden yang berulang. Pasalnya, kebijakan batal akibat desakan masyarakat sering terjadi.
Sebelumnya adalah saat pembatalan proyek Setjen DPR dalam pengadaan gorden rumah dinas anggota DPR. Oleh karenanya, Adinda mendesak pemerintah terutama BRIN untuk melibatkan masyarakat serta memperbaiki komunikasi publik.
"Sesudah reformasi partisipasi publik kepada pemerintah sangatlah besar, terutama kebijakan publik mengenai anggaran dan sarana prasarana. Pemerintah tidak boleh tutup mata, dan harus melihat, mendengar suara dari mana-mana terutama dari media yang kritis," ungkapnya.
"Seandainya pemerintah punya komunikasi lebih baik dan lebih jelas maka bisa dipastikan bahwa hal semacam ini tidak perlu terjadi," tegasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Maya Saputri