tirto.id - Pemerintah Kota Banda Aceh beberapa waktu lalu menyatakan bakal mempertimbangkan kemungkinan dibukanya kembali bioskop di Banda Aceh. Di kota ini bioskop memang sudah lama tak beroperasi, tepatnya semenjak tsunami dan kesepakatan damai Jakarta-GAM.
Untuk mempelajari regulasi bioskop di negara-negara tersebut, Pemkot Banda Aceh menyatakan akan melakukan studi banding ke Arab Saudi atau negara Islam lainnya.
“Kesimpulannya, kami sepakat untuk melakukan studi banding bersama ulama ke Arab Saudi atau negara Islam yang lain,” ujar walikota Banda Aceh, Aminullah Usman, pada Jumat (16/3) kemarin seperti dilansir Kanal Aceh.
Selain menghidupkan lagi wacana tentang pembukaan bioskop, Usman juga tidak menutup kemungkinan diadakannya pentas musik di wilayahnya. Asalkan, ada surat izin konser serta disetujui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan otoritas keamanan.
“Nah, dari hasil studi banding nanti baru kita putuskan bersama para ulama dan akan kita sesuaikan dengan penerapan Syariat Islam, adat istiadat, serta budaya kita di sini,” pungkasnya.
Saudi Buka Bioskop
Keputusan untuk studi banding ke Arab Saudi tidak bisa dilepaskan dari faktor bahwa pemerintah Saudi telah memutuskan untuk membuka kembali operasional bioskop di dalam negeri pada akhir 2017 lalu. Keputusan itu menandai berakhirnya larangan bioskop selama tiga dekade lebih.
Dewan Komisi Umum untuk Media Audiovisual (Board of the General Commission for Audiovisual Media/GCAM), yang diketuai oleh Menteri Kebudayaan dan Informasi Saudi, Awwad Alawwad, mengatakan izin untuk bioskop mulai diberlakukan pada Maret 2018.
“Sebagai regulator industri, GCAM telah memulai proses perizinan bioskop di Kerajaan Saudi. Kami berharap bioskop pertama dibuka pada bulan Maret 2018,” katanya dalam pernyataan pers, Senin (11/12/2017), seperti dikutip Arab News.
“Membuka kembali bioskop akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan diversifikasi. Dengan mengembangkan sektor budaya yang lebih luas, kami akan menciptakan kesempatan kerja, serta memperkaya pilihan hiburan di Saudi,” tambah Alawwad.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari program reformasi sosial dan ekonomi Vision 2030 yang bertujuan untuk meningkatkan pengeluaran rumah tangga Kerajaan Saudi dalam kegiatan budaya dan hiburan. Pengeluaran rumah tangga di kedua bidang itu diperkirakan akan meningkat dari 2,9 persen menjadi enam persen pada tahun 2030.
Sejauh ini, di bawah kendali Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Saudi telah mendorong reformasi di bidang sosial dan ekonomi dengan berbagai kebijakan, seperti memperbolehkan diselenggarakannya konser dan bentuk hiburan lain untuk memenuhi keinginan mayoritas penduduk usia muda hingga mencabut larangan mengemudi mobil bagi perempuan.
Pemerintah Saudi mengatakan kebijakan membuka bioskop diprediksi menyumbang lebih dari 90 miliar riyal ($24 miliar) dan menciptakan lebih dari 30 ribu lapangan kerja dengan 300 bioskop dan sekitar 2.000 layar yang akan dibangun di negara ini pada 2030.
Diizinkannya bioskop beroperasi juga berarti terbukanya kesempatan bagi sineas Saudi untuk unjuk gigi. Dewasa ini, karya-karya sutradara Saudi banyak yang diakui secara global. Salah satunya adalah Haifaa al-Mansour dengan filmnya Wadjda (2012) yang masuk nominasi Oscar atau Mahmoud Sabbath lewat garapannya berjudul Barakah Meets Barakah (2016) yang diputar di Netflix.
Bioskop di Saudi sebetulnya sudah ada sejak setengah abad yang lalu. Dalam “The Rise, Fall, and Rebirth of Saudi Cinema” yang dipublikasikan Arab News, Ruba Obaid menjelaskan bahwa bioskop di Saudi diperkenalkan oleh orang-orang Barat yang bekerja untuk Aramco, perusahaan minyak Kerajaan Saudi.
Dalam kurun waktu 1930an, mereka memasang layar besar di kediaman pribadi dan memutar film-film Amerika maupun Eropa. Dari situ, antusiasme untuk menonton film lewat layar besar lantas menyebar ke kota-kota macam Riyadh, Jeddah, Taif, dan Abha.
Kondisi bioskop di Saudi kala itu jauh dari bayangan kita tentang bioskop hari ini. Yang dimaksud bioskop zaman itu adalah pemutaran film yang diadakan di gelanggang olahraga, kedutaan asing, maupun rumah-rumah perorangan. Para pengusaha kaya yang berdiri di belakangnya beranggapan membuka bioskop dengan bentuk seperti ini lebih mudah, sebab tidak memerlukan izin resmi.
Menjamurnya banyak bioskop membuat tiap daerah punya sebutan masing-masing untuk kawasan sinemanya. Di Riyadh, tepatnya di kawasan Al-Murabba, ada “gang bioskop”. Jeddah yang punya 30 bioskop menamai lokasi bioskopnya dengan “Bab Sharif.” Sementara di Hindawi ada “Abu Amanya.” Tiket masuk bioskop dipatok dari 3 sampai 10 riyal.
Namun, masa jaya bioskop Saudi harus berakhir pada 1980an ketika gelombang ultra-konservatisme merebak. Film-film produksi Barat—bahkan juga buatan Mesir—dianggap sebagai tontonan sarat dosa.
Gelombang ultra-konservatisme sendiri tidak bisa dipisahkan dari upaya pendudukan Masjidil Haram oleh mantan serdadu Saudi yang berubah haluan jadi ekstrimis, Juhayman Al-Otaibi, pada November-Desember 1979. Kendati digagalkan pemerintah, pendudukan ini meninggalkan trauma dan korban tewas berjumlah ratusan. Dampak dari tragedi itu membuat Saudi mulai menerapkan hukum Islam secara ketat.
Walhasil, bioskop pun tak luput dari aksi penutupan. Semua bioskop di kota-kota besar diberhentikan dan tidak boleh beroperasi kembali. Penutupan bioskop di Saudi turut mengubah perspektif masyarakat akan sinema. Bioskop dianggap merusak moral masyarakat karena bertentangan dengan ajaran Islam serta tidak punya kontribusi apa-apa untuk kebudayaan maupun pengetahuan. Tak hanya itu, siapapun yang masih membuat film bakal dicap melakukan “kejahatan moral.”
Kendati dilarang, masyarakat Saudi masih punya akses menonton film melalui layanan streaming, saluran televisi berbayar. Kalau kurang puas, masyarakat Saudi rela pergi ke Bahrain dan UEA agar bisa merasakan pengalaman menonton film lewat bioskop. Larangan bioskop juga tak menyurutkan minat masyarakat Saudi untuk membuat film. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya rumah produksi yang gencar merilis karya melalui kanal YouTube.
Tak Hanya Akibat Tsunami dan Syariah
"Hari ini, sulit untuk menemukan poster, sisa-sisa tiket bioskop, ataupun dokumentasi gambar bioskop tempo doeloe di Banda Aceh. Hilangnya ingatan ini sejalan dengan argumen moral dan religius terhadap bioskop," tulis Mifta Sugesty dan Windu Jusuf dalam “The Slow Death of Cinema in Aceh” yang terbit di Cinema Poetica pada 2015. Mereka mencatat bahwa pembicaraan seputar bioskop di Aceh selalu politis. Artinya, selalu muncul pertanyaan apakah bioskop akan memutar film esek-esek atau kesesuaian antara bioskop dengan hukum Syariah.
Dalam riwayatnya, bioskop di Aceh sudah muncul sejak lama, tepatnya di era kolonial antara 1920an dan 1940an. Kala itu, Aceh punya dua bioskop, Rex dan Deli. Untuk nama terakhir lantas berganti identitas menjadi Garuda Theatre.
Awalnya tak ada yang bilang bioskop bertentangan dengan nilai-nilai agama, ujar Oryza Keumala, seorang pegiat kebudayaan setempat, seperti dikutip Mifta dan Windu. Namun, pandangan tersebut berubah setelah terjadi tsunami, rekonsiliasi GAM-Indonesia, dan pemberlakuan Syariah.
Upaya membuka bioskop terhalang sikap pemerintah daerah dan Majelis Permusyawaratan Ulama yang beranggapan bioskop bertentangan dengan semangat Syariah karena pria dan perempuan (kebanyakan bukan muhrim) berada dalam satu ruangan tanpa sekat. Meski dianggap bertentangan, pemerintah tidak pernah menuangkannya ke dalam aturan resmi.
Faktor lain yang menyebabkan bioskop di Aceh mati adalah sistem distribusi yang hanya dikuasai jaringan kapital XXI Cineplex. Adrian Jonathan Pasaribu, masih menurut reportase “The Slow Death of Cinema in Aceh,” menyatakan sejak masuk ke ranah distribusi pada awal 1990an, XXI Cineplex punya kontrol kuat atas akses film terbaru, melebihi distributor nasional biasa.
Karena tak berafiliasi dengan XXI, juga tak memiliki modal sebesar bioskop-bioskop Jakarta, bioskop-bioskop Aceh pun kolaps. Garuda Theatre, misalnya, beralih rupa jadi bioskop mesum dengan tayangan film esek-esek dan film laga kelas B dari Hong Kong. Situasi serupa sebetulnya terjadi di banyak kota di Jawa, termasuk Jakarta, pada era 1990an hingga hari ini.
Mengenai wacana pembukaan bioskop di Aceh, Corporate Secretary XXI, Catherine Keng, enggan menyikapi lebih jauh.
"Masih terlalu dini untuk dikomentari," jawabnya singkat saat dihubungi Tirto.
Walaupun kehadiran bioskop di Aceh nihil, tapi keinginan masyarakat Aceh untuk menonton film tetap terjaga dengan adanya lapak DVD bajakan di kawasan Peunayong, Banda Aceh, yang menjual katalog film lengkap dari Hollywood, Bollywood, hingga film-film dari festival di Asia sampai Eropa.
Lalu, ada pula komunitas-komunitas macam Tikar Pandan yang rutin mengadakan festival film (salah satunya Europe on Screen) di studio kecil mereka, Episentrum Uleekareng, hingga Kotak Hitam Banda Aceh yang menyelenggarakan pemutaran film untuk publik dalam rangka memperingati sembilan tahun kesepakatan Helsinski pada 2014.
Setelah mengetahui perubahan di Saudi dan sebab-sebab hancurnya bioskop di Aceh, apakah walikota Banda Aceh akan merealisasikan wacanananya untuk kembali membuka bioskop?
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf