tirto.id - Acara Ijtima Jamaah Tabligh Zona Asia 2020 di Kompleks Darul Ulum, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dibatalkan. Ribuan jemaah mesti kembali ke daerah masing-masing, termasuk warga negara asing (WNA) yang ikut dalam kegiatan tersebut.
Kegiatan itu direncanakan berlangsung empat hari, namun pada Kamis (19/3/2020) atau beberapa jam sebelum acara di hari pertama dimulai, Juru Bicara Presiden Republik Indonesia Fadjroel Rachman mengklaim agenda itu resmi dibatalkan.
"Berdasarkan keterangan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah dan Kakanwil Kementerian Agama Sulsel setelah berkoordinasi dengan Kapolri, Kapolda, dan Bupati Gowa," ujar dia.
Pada hari yang sama, penahbisan Uskup Baru Ruteng, Mgr Siprianus Hormat di Keuskupan Ruteng, Nusa Tenggara Timur, tetap berlangsung sejak pukul 09.00 WITA.
Persamaan dari kedua acara itu adalah digelar di tengah ancaman pandemik Covid-19 di Indonesia. Namun, berkumpulnya jemaah di Gowa dan Ruteng meresahkan publik. Padahal Presiden Joko Widodo telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, guna penanganan dan antisipasi penyebaran virus tersebut.
Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Agus Wibowo menyatakan seluruh instansi yang tergabung dalam Gugus Tugas mengawasi, tapi keputusan boleh tidaknya suatu daerah dimasuki pendatang merupakan wewenang pemerintah setempat.
"Protokol dari Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas yang sudah ada, diikuti. Penanggung jawab memang daerah masing-masing. Komandannya [ialah] kepala daerah," kata Agus ketika dihubungi Tirto, Jumat (20/3/2020).
Jika pemerintah provinsi setempat ingin mengambil kebijakan 'penting', wajib mengomunikasikan dengan pemerintah pusat.
Semisal suatu daerah ingin menerapkan sistem karantina wilayah (lockdown) untuk kawasan, maka harus diberitahukan ke pusat. "Kebijakan yang sifatnya lokal, maka tidak apa [tak perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat]," sambung Agus.
Sementara, Kepala Kantor Imigrasi Makassar Andi Pallawarukka mengklaim 474 WNA dari 12 negara yang datang ke Gowa telah lolos proses administrasi berkas dan kesehatan, artinya mereka berhak memasuki daerah tersebut.
"Karena orang asing yang datang, telah sesuai dengan prosedur. Pada saat mereka masuk di bandara, telah dilakukan pemeriksaan oleh karantina kesehatan," ujar Pallawarukka, ketika dihubungi Tirto, Jumat (20/3/2020). Usai itu, pihak Imigrasi akan turun tangan mengecek berkas diri.
Kini WNA peserta Ijtima diisolasi dalam sebuah hotel di daerah setempat dan dalam pengawasan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Berkaitan dengan pemulangan, mereka harus lolos tes bebas paparan Covid-19. Jika aman, maka mereka diperkenankan balik ke negara asal.
"Jika negatif semua, nanti dibelikan tiket dan lewat mana [pemulangan]. Karena bandara di Makassar sudah tutup penerbangan. Kemungkinan besar akan lewat Jakarta semua. Kami hanya mengawasi dan berkoordinasi dengan instansi terkait," jelas Pallawarukka.
Ia mengklaim para jemaah itu hadir sebelum isu Covid-19 mencuat. "Ada yang datang beberapa bulan lalu, ada juga [yang tiba] awal Maret," kata Pallawarukka.
BIN Klaim Sudah Awasi Kedatangan WNA
Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto mengklaim pihaknya telah memonitor kedatangan orang asing di Gowa dan Ruteng. "Mereka hadir secara legal sehingga tidak ada cekal oleh imigrasi, sebab mereka tidak ada pelanggaran apapun sebelumnya," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Jumat (20/3/2020).
Ketika ada kebijakan larangan berkumpul orang banyak dalam satu tempat karena wabah Covid-19, maka mereka harus taat terhadap imbauan pemerintah. Alasannya, untuk mencegah tersebarnya virus Corona di antara jemaah dan masyarakat.
"Ijtima ini bukan dilarang, tapi ditunda. Jadi tidak ada unsur politis atau kepentingan lainnya, hanya semata-mata menghindari tersebarnya virus Corona," imbuh Wawan.
BIN, sambung dia, terus berkoordinasi dengan Gugus Tugas bersama dengan lembaga terkait dalam kerja sama informasi maupun turun ke lapangan (penyemprotan disinfektan, pencarian korban, penelitian obat bersama pakar virologi di laboratorium maupun universitas dan pencarian obat hasil riset di luar negeri, literasi publik).
Pemerintah Pusat Nihil Kebijakan Koheren
Masjid Sri Petaling Kuala Lumpur, Malaysia, jadi lokasi ijtima pada 27 Februari hingga 1 Maret lalu. Imbasnya, sekitar 500 orang dari 16 ribu jemaah yang hadir terinfeksi Covid-19.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat acara di Gowa dan Ruteng terjadi karena Presiden Joko Widodo tidak mau mendengarkan saran dan permintaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mendeklarasikan keadaan darurat negara di tengah ancaman Covid-19.
"Presiden lebih menyerahkan pada kepala-kepala daerah dan hal ini yang menimbulkan ketiadaan kebijakan nasional yang koheren," tutur Usman, ketika dihubungi Tirto, Jumat (20/3/2020).
Jika Joko Widodo mengikuti saran WHO maka hal semacam itu jelas dilarang dan tidak boleh dilanjutkan.
Sejak awal kebijakan presiden beserta petinggi-petinggi pemerintahan, memilih kepentingan ekonomi, bukan kepentingan hajat hidup orang banyak yaitu kesehatan. "Mereka meremehkan gentingnya wabah ini dengan melontarkan berbagai pernyataan yang tidak menolong masyarakat dalam memahami apa artinya keadaan sekarang," jelas Usman.
Ia melanjutkan, ada semacam kecanggungan dalam menyikapi jadwal-jadwal kegiatan keramaian keagamaan, seluruh agama. Mungkin karena khawatir dianggap melarang hak-hak asasi masyarakat untuk beribadah.
"Padahal melarang kegiatan keramaian keagamaan sekali pun, kalau ada kedaruratan negara yang dideklarasikan secara resmi dan disampaikan ke PBB atau WHO, misalnya darurat keamanan nasional atau darurat kesehatan publik maka negara dibolehkan untuk membatasi kegiatan," kata Usman.
Tak hanya itu, Amnesty International Indonesia juga mendesak pemerintah Indonesia memberi perlindungan memadai bagi tenaga medis, tidak hanya masyarakat. Mereka ingin pemerintah serius melindungi pihak terdepan yang menghadapi Covid-19.
“Kematian akibat Covid-19 sangat tinggi. Tidak cukup pernyataan di depan layar media, tapi pelaksanaan lapangan. Instruksi perlindungan harus sampai ke unit-unit terkecil pelayanan kesehatan di tiap daerah. Hingga kini hak-hak mereka belum terpenuhi,” imbuh Usman.
Perlindungan HAM para pekerja kesehatan juga vital, jadi pemerintah tidak bisa anggap remeh perkara virus tersebut. Usman menegaskan ihwal pemberian informasi yang lengkap dan transparan mengenai pekerja kesehatan yang terpapar Covid-19.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri