tirto.id - Suatu hari, seorang teman mengenalkan sebuah hidangan unik dari Bantul. Dia bilang, makanan ini tak dapat ditemui di luar Bantul, bahkan di luar kecamatannya.
“Mirip cap jae di pasar, tapi rasanya asem-asem,” ujarnya saat memberi deskripsi. “Namanya abangan.”
Tak lama sejak teman saya memberi informasi tersebut, saya mendapat kesempatan berkunjung ke lokasinya, yaitu di Desa Pundong, sekitar 10 kilometer ke arah selatan dari pusat Bantul. Saat itu, saya bahkan berkesempatan mengunjungi salah satu produsennya.
Rupanya, abangan ini memang bukanlah cap jae, capcay ala Yogyakarta dengan bahan utama kekian "palsu" yang terbuat dari campuran terigu dan telur yang digoreng. Abangan tidak terbuat dari tepung terigu, melainkan dari limbah tepung pati singkong. Iya, limbah. Bisa dikatakan, keberadaan abangan ini sesuai dengan konsep zero waste, dalam skala makanan lokal.
Kadang tidak kita sadari bahwa gerakan mengurangi sampah atau daur olah sampah telah ada sejak zaman nenek moyang kita, terutama di area kuliner. Banyak makanan tradisional adalah hasil dari pemanfaatan sisa bahan makanan di rumah. Seperti kerupuk puli atau karak di Jawa Tengah yang bermula dari sisa-sisa nasi, blondo yang merupakan hasil sampingan dari produksi minyak kelapa, hingga gaplek yang merupakan hasil sisa produksi tepung kanji.
Abangan merupakan salah satunya.
Jauh sebelum gaung zero waste dan ketahanan pangan dikenal luas, praktiknya sudah lebih dulu ada di desa-desa, termasuk di Bantul ini. Produksi tepung pati singkong tak hanya berakhir pada satu produk akhir saja namun juga tak menyisakan limbah tak terolah.
Sebagai desa yang merupakan salah satu sentra usaha tepung pati singkong atau gaplek, pada suatu masa, Desa Pundong mengalami keberlimpahan sisa produksi. Ini karena sebagian besar warga di Desa Pundong memiliki usaha rumah tangga berupa pengolahan tepung pati singkong. Industri rumahan ini masih menggunakan cara dan alat yang sederhana, salah satunya adalah gentong besar atau ‘jembangan’.
Gentong ini digunakan sebagai tempat untuk mengendapkan air perasan singkong parut. Dibutuhkan waktu sekitar 12 jam agar sari pati singkong tersebut dapat mengendap. Setelah air dan sari pati terpisah, sari pati tersebut kemudian dijemur menjadi tepung pati singkong. Nah, proses pengendapan tersebut menghasilkan residu yang kemudian disebut sebagai abangan. Teksturnya sangat kental, seperti pasta atau adonan basah. Inilah yang kemudian diolah kembali.
Alasan pengolahan kembali abangan ini bukan sesuatu yang muluk seperti perubahan iklim atau menyelamatkan bumi, melainkan sekedar memanfaatkan yang ada.
“Menghindari mubazir,” ujar pemilik usaha abangan ini.
Tak dipungkiri, keberadaan abangan di Desa Pundong memang hadir karena masyarakat sekitar yang berusaha meminimalisir residu industri rumah tangga. Pada awalnya hanya ampas dari singkong giling saja yang dimanfaatkan sebagai bahan gaplek. Sementara, limbah cair dan basah ternyata terhitung sangat banyak. Sebagian digunakan untuk bahan campuran pakan ternak, tapi itu pun masih surplus. Masyarakat pun mulai memikirkan kemungkinan untuk mengolahnya.
Residu pengolahan pati singkong ini kemudian dimanfaatkan menjadi olahan pangan yang beraneka ragam. Mulai dari digoreng seperti bakwan, kekian, hingga kerupuk gurih. Adonan basah yang diambil dari lapisan tengah endapan pati singkong ini dikumpulkan, diberi bumbu dan dimasak menjadi aneka olahan. Paling umum digoreng dalam wajan cetakan kue lumpur bulat-bulat. Hasil akhirnya mirip dengan poffertjes tapi rasanya gurih asin dengan sedikit hint rasa asam. Gorengan tepung ini yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ‘abangan’ di masyarakat sekitar.
Ciri khas hidangan yang dibuat dari bahan abangan adalah memiliki cita rasa asam hasil fermentasi. Rasa asam yang dominan dari abangan menjadi dua sisi mata uang, yaitu kelebihan sekaligus kekurangan. Rasa asam kuat ini tak selalu cocok dengan aneka olahan makanan, tapi juga sekaligus ngangeni.
“Sudah pernah dicoba dibikin kue atau penganan lain tapi kurang cocok di lidah,” ujar pemilik usaha pati singkong tadi ketika saya tanyakan perkara variasi olahan lainnya.
Rasa asam abangan ini menjadi ciri khas yang senantiasa dicari penggemarnya. Bagi penduduk Pundong, cara olah paling tepat bagi abangan adalah dengan ditumis bersama bumbu gurih seperti dalam bakmi Jawa, disebut cap jae ndeso. Dituturkan oleh warga setempat bahwasanya rasa terbaik yang dapat ‘kawin’ dengan asamnya abangan adalah citarasa pedas gurih. Karenanya, penjual cap jae dari abangan ini biasanya berjualan berbarengan dengan mie pentil atau miedes yang berasal dari tepung pati singkong yang memiliki cita rasa pedas.
“Justru rasa asemnya abangan ini yang bikin beda dari kekian atau cap jae Jawa lainnya,” ujar salah satu penjaja olahan abangan di Pasar Pundong.
Bagi perantau, rasa asemnya juga menjadi rasa yang ngangeni karena tak dapat mereka temui di tempat lain. Boro-boro di pulau lain, di desa luar Pundong yang masih sama-sama di area DIY pun sulit menemukan abangan ini. Tapi rupanya rasa asemnya yang unik itu juga yang membuatnya sulit keluar dari Desa Pundong. Tidak semua orang dapat menerima rasanya. Saya sendiri pun sulit untuk bisa menikmati olahan abangan ini karena dominasi rasa asamnya yang tak dapat diabaikan.
Nama abangan sendiri tak ada kaitannya dengan kepercayaan, namun lebih berdasar pada warna. Dalam bahasa Jawa, abang berarti merah. Meskipun begitu, warna sejatinya abangan sebenarnya bukan ‘abang’, tapi lebih pada kecoklatan yang samar.
“Orang dulu kalau di Jawa menyebut warna coklat dengan abang, sama seperti merah,” tambah pemilik usaha tepung pati singkong tadi menjelaskan.
Alhasil, makanan yang memiliki warna semburat kecoklatan ini pun dikenal luas oleh masyarakat sebagai abangan.
Tertarik mencobanya?
Penulis: Lina Maharani
Editor: Nuran Wibisono