tirto.id - Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4) Indonesia, Lazuardi Nurdin mengatakan kecelakaan kerja di proyek konstruksi cenderung rawan terjadi pada hari libur akhir pekan. Penyebabnya bisa jadi dalam praktik pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja masih lemah diterapkan.
"Yang bisa kita ambil benang merahnya adalah kejadian kecelakaan kerja itu kecenderungan selalu terjadi saat hari libur," ujar Lazuardi kepada Tirto pada Senin (20/3/2018).
Salah satu contoh kasus yakni proyek PT Waskita Karya (Persero) Tbk dalam kurun waktu setahun belakangan ini. Sejak Agustus 2018, proyek Waskita Karya tercatat terjadi kecelakaan kerja sebanyak 7 kali.
Dibandingkan perusahaan konstruksi plat merah lainnya, Waskita Karya paling banyak mendapatkan sorotan karena lemahnya penerapan K3. Menurut penelusuran Tirto, kecelakaan kerja Waskita Karya beberapa kali terjadi pada hari libur akhir pekan.
Pada Minggu pagi (18/3/2018), terjadi kecelakaan kerja di proyek Rusunawa Waskita Karya di Pasar Rumput. Jatuhnya besi holo ukuran 4x4 meter yang menewaskan seorang warga yang berbelanja di Pasar Rumput. Pada Sabtu (30/12/2018), girder proyek pembangunan Jalan Tol Pemalang-Batang juga jatuh.
Kecelakaan lainnya juga terjadi pada Minggu (29/10/2017), girder proyek pembangunan jalan tol Paspor (Pasuruan-Probolinggo) jatuh, menyebabkan 1 pekerja tewas.
Lazuardi mengatakan kecelakaan kerja dapat terjadi karena pengawasan kerja proyek relatif lebih lemah. Pengawasan kerja tidak hanya ada di kontraktor, tapi juga ada di konsultan pengawas dari perusahaan.
"Kalau dilihat kasus Pasar Rumput itu saya bisa bilang karena kecerobohan dari pekerja saat dia membongkar bekisting. Yang harus ditekankan, di proyek ada enggak pengawas waktu mereka kerja di hari libur? Karena setiap pekerjaan kan harus ada izin kerja," tandasnya.
Ia melanjutkan bahwa kecelakaan tersebut tidak hanya bisa menimpa Waskita Karya, tapi juga perusahaan konstruksi lainnya baik yang plat merah atau pun swasta, kalau tidak memperhatikan standar operasional prosedur Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
"Kebetulan saja kejadian ini terjadi di proyek Waskita Karya karena memang Waskita Karya yang saat ini banyak proyek. Tapi, enggak tertutup kemungkinan itu dapat terjadi di tempat lain. Kalau pelaksanaan K3-nya itu tidak benar-benar diterapkan dengan baik," terangnya.
Lantas, ia menerangkan hierarki pengendalian bahaya. Secara teorinya ada konsep eliminasi, yaitu kontraktor proyek menghilangkan sumber-sumber bahaya di tempat kerja. Kemudian, langkah kedua melakukan substitusi, yaitu mengganti bahan dengan alat kerja lebih aman.
Ketiga, rekayasa engineering. Misalnya, perihal metode kerjanya yang kurang aman dapat direkayasa untuk lebih aman. Langkah keempat, prosedur dan instruksi kerja yang disebut pengendalian administrasi.
"Waktu mau kerja gimana prosedurnya. Dilihat semua. Baru terakhir APD (Alat Pelindung Diri). Kalau terkait dengan gedung-gedung tinggi, sekitarnya ada orang beraktivitas, otomatis yang namanya jaring pengaman itu harus dipasang. Walaupun itu bukan satu-satunya cara meminimalisir kecelakaan kerja," paparnya.
Ia mengatakan kalau di proyek bertingkat tinggi dan lingkungan berhimpitan pusat aktivitas warga, seperti yang terjadi di Rusunawa Pasar Rumput, sudah semestinya jaring pengaman menjadi perhatian pertama kontraktor.
"Jaring pengaman itu kalau terjadi kegagalan di dalam memindahkan benda, berakibat jatuh, tidak lantas langsung jatuh ke bawah sampai ke masyarakat. Itulah gunanya kasih jaring pengaman di bawah juga," sebutnya.
Menurut Lazuardi, tidak hanya karena penggunaan jaring pengaman, tapi juga prosedur K3 yang diperhatikan dan diterapkan, dengan anggaran khusus sebagai biaya K3.
"Saya belum melakukan investigasi untuk kecelakaan yang terjadi di Pasar Rumput, tapi kalau saya lihat dari kejadian itu, baca media, saya bisa ambil kesimpulan awal bahwa kalau ada besi itu terlepas, tapi jaring pengamannya ada kan enggak sampai jatuh lewat ibu-ibu yang sedang belanja," pungkasnya.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri