Menuju konten utama
Misbar

A Man, Mendefinisikan dan Melampaui Persoalan Identitas

Kisah investigatif dan penuh perenungan tentang definisi identitas. Tak hanya berlatar Jepang, ia juga relevan untuk khalayak di mana pun.

A Man, Mendefinisikan dan Melampaui Persoalan Identitas
Header Misbar A Man. tirto.id/Quita

tirto.id - Japanese Film Festival (JFF) kembali hadir sejak 2 November 2023 lalu. Dalam gelaran tahun ini, JFF mempersembahkan 21 film dan 2 episode serial drama untuk penonton Indonesia. Selain di Jakarta, JFF juga bakal hadir di Makassar, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Palembang hingga Januari tahun depan.

Untuk membuka gelaran di Jakarta, JFF menghadirkan film drama misteri A Man (Aru Otoko) yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Hirano Keiichiro.

Tahun lalu, film arahan Ishikawa Kei ini tayang perdana di Venice Film Festival ke-79. Ini adalah kali kedua Ishikawa membawa filmnya ke Venesia. Ishikawa pertama kali hadir di Venice Film Festival membawa filmnya Gokuroku: Traces of Sin pada 2017.

Sebermula, A Man membawa penontonnya ke Prefektur Miyazaki di Pulau Kyushu. Itu adalah Jepang pinggiran yang bukan metropolitan. Di kota kecil itulah, Takemoto Rie (Ando Sakura) menjalani harinya yang sendu usai bercerai dan kehilangan anak bungsunya yang meninggal akibat penyakit.

Rie tinggal bersama ibu dan anak sulungnya Yuto sembari mengelola toko alat tulis. Lalu di suatu hari, datanglah seorang lelaki misterius tapi lembut yang memperkenalkan diri sebagai Taniguchi Daisuke (Kubota Masataka).

Kisah lalu bergulir sangat biasa, seperti kebanyakan kisah yang kita bisa tonton di bioskop. Dua sejoli yang jatuh cinta, menjalin kedekatan, dan kemudian menikah. Beberapa tahun kemudian, keluarga Taniguchi dikaruniai seorang anak perempuan nan lucu. Sebuah keluarga yang bahagia.

Hingga sebuah kecelakaan di tempat kerja merenggut nyawa Daisuke. Secepat itu dunia bahagia Rie runtuh, secepat itu pula penonton dibawa ke persimpangan kisah.

Rie hanya bisa tertegun dan bingung ketika abangnya Daisuke tidak mengenali adiknya, malah mengatakan bahwa ia adalah orang lain. Suami dan ayah penyayang yang hidup bersamanya selama empat tahun ternyata adalah orang lain yang memakai identitas Daisuke.

Lantas, dengan siapa dia menjalani ikatan cinta selama ini?

Tentang Identitas

Ishikawa membuka filmnya dengan menampilkan lukisan surealis Not to Be Reproduced (1937) karya pelukis Belgia René Magritte. Itu adalah lukisan populer yang menggambarkan seorang lelaki berdiri di depan cermin dengan pantulan yang memperlihatkan bagian belakang badannya, bukan wajahnya.

Menurut Ishikawa, itulah gambaran misterius yang merangkum gagasan-gagasan tentang identitas yang sulit dipahami. Itulah fokus utama A Man.

Semula, penonton diajak untuk mencari tahu identitas Mr. X yang memakai identitas Taniguchi Daisuke. Demi mendapat kebenaran akan hal itu, Rie lalu menyewa pengacara bernama Kido Akira (Tsumabuki Satoshi). Sejak itu pula, perspektif pengisahan beralih pada Akira.

Selama paruh kedua film, penonton diajak untuk berpusing-pusing bersama Akira. Kita diajak untuk menelusuri petunjuk-petunjuk yang amat samar tentang masa lalu Mr. X dan Daisuke.

Meski beranjak ke bagian yang paling menarik dari film, transisi perspektif pengisahan dari Rie ke Akira terkesan amat “patah”. Plot memang mengharuskan demikian, tapi mestinya bisa dibuat lebih halus.

Sejak awal durasi, penonton dibawa untuk menyelami karakter Rie dan dunianya. Perlahan, penonton diarahkan untuk “menginvestasikan” empatinya pada Rie. Selama sekitar 30 menit awal film, kita menyaksikan naik-turunnya perkembangan karakter Rie yang diperankan dengan sangat baik oleh Ando Sakura.

Itu nisbi bukan perkara gampang lantaran dia mesti menggambarkan spektrum emosi amat beragam. Itu dimulai dari kemurungan, kesedihan, keraguan, penyesalan, hingga gembira, bahagia, lalu dibawa ke arah kebimbangan dan keraguan. Menurut saya, cukup aman mengatakan bahwa Ando Sakura berhasil memerankan karakter Rie dengan sangat meyakinkan.

Karenanya, transisi perspektif yang mendadak pada Akira jadi terasa jomplang. Meski nantinya kita akan kembali juga pada Rie, sungguh amat disayangkan karakternya ditinggalkan begitu saja di titik itu.

Saat fokus sepenuhnya beralih pada Akira, saat itulah film ini menegaskan gagasan utama yang ingin ia suarakan. Seperti halnya diungkapkan Ishikawa Kei dalam sebuah wawancara dengan Forbes bahwa, “Karakter memang penting. Tapi kali ini, saya benar-benar ingin fokus pada identitas.”

Demikianlah paruh kedua A Man membawa kita pada kisah investigatif sekaligus perenungan akan identitas. Melalui perspektif Akira, penonton juga diperlihatkan pada persoalan identitas dalam gambaran yang lebih besar. Bukan sekadar dalam ruang individu, tapi di tengah masyarakat yang diskriminatif dan penuh prasangka.

Seiring dengan perjalanan investigasi, kita tahu bahwa Akira adalah seorang peranakan Korea atau zainichi. Dia adalah generasi ketiga yang lahir di Jepang dan hanya berbahasa Jepang. Dia tampak sebagaimana orang Jepang pada umumnya, tapi tetap saja dianggap sebagai liyan.

Rasisme kasual adalah hal yang biasa Akira temui. Hal ini lalu berdampak pada bagaimana dia melakukan investigasinya. Pencarian identitas MR. X pada akhirnya berlaku introspektif.

Melalui sorotan kamera terhadap ekspresi diam Akira, penonton pasti tahu bahwa ada sesuatu terjadi dalam batinnya. Akira seakan merefleksikan pergulatan identitas dirinya pada Mr. X yang memalsukan identitas aslinya.

Selama mengikuti langkah Akira, alur membawa kita pada momen-momen perenungan. Bahwa definisi identitas ternyata sangat cair. Ia juga kompleks lantaran aspek-aspeknya juga melibatkan masa lalu, trauma, dan tradisi. Jangan lupakan pula pengaruh prasangka dan penerimaan pada pembentukan kedirian seseorang.

Tersesat

Seperti halnya Ando Sakura, Tsumabuki Satoshi memberikan performanya yang terbaik. Saya cukup kagum pada kemampuannya membawakan emosi-emosi tak tampak melalui matanya. Akira bukanlah karakter yang gampang meledak, tapi jelas bahwa kediamannya menghadapi diskriminasi kasual bukanlah sebentuk ketakberdayaan.

Segala konflik yang menyangkut Akira berlangsung di bawah permukaan. Tsumabuki Satoshi cukup sukses membawakan karakter yang terus bertanya-tanya dalam batin, seorang pengacara yang bimbang akan posisinya dalam masyarakat Jepang.

Di permukaan, dia adalah seorang pengacara yang ulet dan sukses. Kehidupan rumah tangganya pun terkesan “aman-aman saja”. Di sepanjang film pun, Akira tidak pernah mengungkit tentang pergulatan batin maupun masalah pribadinya melalui dialog. Apa pun yang meluncur dalam dialognya adalah soal pekerjaan.

Di era yang penuh ketidakpastian akibat krisis ekonomi, kehidupan Kido adalah teladan. Namun, di lapisan yang lebih dalam, dia adalah pribadi yang bimbang lantaran ambiguitas identitasnya sendiri.

Sampai pertengahan film, kita bakal mafhum belaka bahwa Akira-lah protagonis utamanya. Namun, narasi A Man secara keseluruhan sebenarnya berjalan dalam dua perspektif, yakni Rie dan Akira.

Di titik inilah, menurut saya, terkuak kelemahan terbesar penyutradaraan Ishikawa Kei. Dua perspektif itu tentu tidak harus berjalan dalam durasi atau intensitas yang rigid sama. Meski begitu, keberimbangan porsinya tetap harus dijaga. Itulah yang tak dilakukan Ishikawa Kei terhadap karakter Rie.

Sesuai dengan plot awal film ini, Rie-lah yang paling berkepentingan atas identitas asli mendiang suaminya. Namun, setelah investigasi Akira berjalan, kita hanya diajak menengok perkembangan karakter Rie—juga Yuto—sesekali. Singkatnya, karakter Rie hanya mendapat sedikit screen time.

Potensi akting Ando Sakura yang demikian apik di awal film jadi tersia-sia di sini. Kita hampir tidak benar-benar tahu apa yang dilalui Rie untuk menyembuhkan dukanya usai momen kehilangan. Pun bagaimana pergulatan batinnya menghadapi kenyataan bahwa dia sebenarnya tak benar-benar mengenal suaminya.

Kita hanya bisa menengarainya melalui dialog-dialog yang terucap darinya. Juga percakapan-percakapan Rie dengan Yuto tentang bagaimana dia memandang hubungannya dengan sang ayah tiri.

Plot pada akhirnya membawa Rie dan Yuto pada penerimaan atas identitas Daisuke. Juga bahwa ternyata ada yang bisa melampaui persoalan identitas itu. Namun, hal itu lagi-lagi terjadi secara tiba-tiba di layar.

Kita disuguhkan narasi bahwa identitas itu mungkin tak perlu repot-repot dicari. Pasalnya, semua hal yang mendefinisikan identitas diri itu sebenarnya ada dalam diri sendiri juga melalui ikatan yang kita bangun dengan seseorang terlepas dari masa lalunya.

Alih-alih memuaskan atau memberi kesan bijak, resolusi yang datang tiba-tiba dan tak terjelaskan prosesnya malah bikin plot yang sudah dibangun kehilangan urgensinya. Pada akhirnya, pencarian identitas Mr. X adalah pencarian jati diri bagi Akira dan bukan sepenuhnya kepentingan Rie dan keluarganya.

Bukan itu saja kelemahan A Man sebagai sebuah film. Tempo slow-burn yang diterapkan Ishikawa Kei juga jadi pisau bermata dua. Dengan label genre drama misteri, penonton agaknya akan mengekspektasikan munculnya momen-momen menegangkan atau sedikit aksi.

Namun, hampir tak ada momen seperti itu dalam perkembangan investigasi Akira. Beberapa kali kita dihadapkan pada momen desepsi dan kebuntuan. Hanya itu.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan itu, tema identitas yang diusung Ishikawa tak kehilangan relevansinya. Pasalnya, diskriminasi, rasisme, dan prasangka masihlah suatu kenyataan dalam realitas kita. Tak hanya menjadi masalah di Jepang, ia juga ada di mana-mana dengan konteks yang bisa berbeda.

Karena itu pulalah, A Man jadi relevan untuk penonton dari mana pun. Jika Ishikawa Kei memang membidik layar internasional, penggarapan film ini adalah tepat belaka. Maka beruntunglah JFF 2023 membawa film ini keliling Indonesia.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Film
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi