Menuju konten utama

9 Tersangka Korupsi yang Bertarung pada Pilkada 2018

Bila menang, mereka langsung diberhentikan sesudah dilantik.

9 Tersangka Korupsi yang Bertarung pada Pilkada 2018
Bupati Ngada nonaktif Marianus Sae, calon gubernur NTT, di gedung KPK, Jakarta (30/5/2018). Selain Sae, 8 pesakitan KPK yang bertarung pada Pilkada 2018: Nyono Suharli (Jombang), Imas Aryumningsih (Subang), Asrun (Sulawesi Tenggara), Ahmad Hidayat Mus (Maluku Utara), Mochamad Anton dan Yaqud Ananda Gudban (Kota Malang), Mustafa (Lampung), dan Syahri Mulyo (Tulungagung). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Sebanyak 567 pasangan calon ikut dalam pemungutan suara untuk dipilih menjadi kepala daerah (Pilkada) serentak 2018, Rabu (27/6/2018). Dari ratusan kandidat, beberapa di antaranya menanti hasil pilkada dari balik jeruji.

Dalam catatan Tirto, sembilan kandidat kepala daerah dari tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi kini berstatus tersangka dan mendekam di dalam bui.

Mereka adalah calon Bupati Jombang Nyono Suharli, calon Gubernur NTT Marianus Sae, calon Bupati Subang Imas Aryumningsih, Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus, calon Wali Kota Malang Mochamad Anton, calon Wali Kota Malang Yaqud Ananda Gudban, calon Gubernur Lampung Mustafa, dan calon Bupati Tulungagung Syahri Mulyo.

Kesembilan pesakitan ditahan karena kasus dugaan korupsi dan suap. Tiga di antaranya bahkan harus ditahan sebelum KPU resmi mengumumkan nama mereka sebagai peserta Pilkada 2018. Sementara sisanya menyandang status tersangka setelah lolos penetapan KPU.

Tersangka Sebelum Resmi Jadi Calon

Calon Bupati Jombang Nyono Suharli, misalnya. Ia dicokok KPK pada 3 Februari 2018 sebelum penetapan peserta pilkada. Lembaga antirasuah menangkapnya dan menyita Rp25 juta dan 9.500 dolar AS yang diduga hasil suap.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah Golkar Jawa Timur itu disangka menerima suap untuk menerbitkan izin operasional rumah sakit dan pengurusan jabatan di pemerintah Kabupaten Jombang. Pada pilkada ini, Nyono berpasangan dengan Subaidi Muchtar dan didukung Golkar, PKB, PKS, NasDem, dan PAN.

Kandidat lain yang ditangkap sebelum penetapan peserta Pilkada 2018 adalah Marianus Sae, calon Gubernur NTT. Ia ditangkap KPK di Surabaya, Jawa Timur, pada 11 Februari 2018. Bupati Ngada itu disangka menerima suap Rp41,1 miliar dari Wilhelmus Iwan Ulumbu sebagai Direktur Utama PT Sinar 99 Permai untuk memenangi proyek jalan di daerahnya.

KPK menduga uang suap itu akan digunakan untuk ongkos politik pilkada. Politikus PDIP itu maju dalam pemilihan Gubernur NTT berpasangan Emilia Julia Nomleni serta diusung PDIP dan PKB.

Politikus lain adalah Asrun, calon Gubernur Sulawesi Tenggara, yang ditangkap bersama anaknya, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, pada 28 Februari 2018.

Asrun diduga terlibat kasus suap Rp2,8 miliar. Eks Wali Kota Kendari itu maju di Pilkada 2018 berpasangan dengan Hugua, yang diusung PDIP, PAN, PKS, Hanura, dan Gerindra.

Ditangkap Setelah Ditetapkan KPU

Setelah pengumuman peserta Pilkada 2018, penetapan tersangka dan penangkapan calon yang diduga terlibat perkara hukum tetap terjadi. Ada enam kandidat kepala daerah dicokok KPK.

Imas Aryumningsih, calon Bupati Subang, merupakan calon pertama yang terjaring OTT KPK karena diduga menerima suap Rp4,5 miliar dari pengusaha bernama Miftahudin. Ia merupakan calon petahana dan berpasangan dengan Sutarno, didukung Golkar, PKB, dan Partai Berkarya.

Setelah Imas, KPK menangkap calon Gubernur Lampung Mustafa, yang menjabat Bupati Lampung Tengah. Mustafa ditangkap pada 15 Februari 2018 karena diduga memberi suap kepada anggota DPRD agar menandatangani surat pernyataan perihal persetujuan atas pinjaman daerah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp300 miliar. Mustafa mencalonkan diri sebagai Gubernur Lampung berpasangan dengan Ahmad Jajuli, yang didukung NasDem, PKS, dan Hanura.

Kemudian ada Ahmad Hidayat Mus, calon Gubernur Maluku Utara, yang ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 16 Maret 2018. Dalam Pilkada Maluku Utara 2018, ia berpasangan dengan Rivai Umar, yang diusung Golkar dan PPP.

Selepas menetapkan Ahmad Hidayat Mus, KPK menetapkan dua calon Wali Kota Malang sebagai tersangka. Mereka adalah petahana Wali Kota Mochamad Anton dan calon Wali Kota Yaqud Ananda Gudban, yang ditetapkan tersangka oleh KPK pada Maret 2018.

Anton diduga memberi suap, sedangkan Ananda sebagai penerima suap untuk memuluskan pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan Kota Malang Tahun Anggaran 2015.

Pada Pilkada Kota Malang 2018, Anton berpasangan dengan Syamsul Mahmud, yang didukung PKB, PKS, dan Gerindra. Sementara Ananda berpasangan dengan Ahmad Wanedi, yang diusung PDIP, PAN, Hanura, PPP, dan NasDem.

Kandidat terakhir yang ditangkap KPK adalah petahana sekaligus calon Bupati Tulungagung Syahri Mulyo. Politikus PDI ini ditangkap karena diduga menerima suap pembangunan jalan di Tulungagung. Dalam pilkada Tulungagung 2018, Syahri berpasangan dengan Maryoto Bhirowo, yang didukung PDIP dan NasDem.

Infografik CI Antara Dilantik Atau Dibui

Jika Menang: Dilantik, lalu Diberhentikan

Status tersangka yang menyemat di depan nama sembilan calon kepala daerah ini tak berarti memupus peluang mereka menjadi pemenang Pilkada 2018. Kesembilan orang ini masih terpampang dalam surat suara pilkada.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan berkata proses administrasi akan tetap berjalan seandainya kandidat pesakitan memenangkan pilkada. "Tetapi proses hukum tetap berjalan sesuai kewenangan lembaga penegak hukum,” ujar Wahyu kepada Tirto, Selasa (26/6/2018).

Sesuai aturan, calon kepala daerah yang berstatus tersangka memang tak bisa diganti keikutsertaannya pada pilkada. Ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pasal 53 UU Pilkada mengatur larangan parpol menarik kandidat yang diusung pada pilkada jika calon terkait sudah ditetapkan KPU. “Dalam hal Partai Politik dan gabungan Partai Politik menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan pasangan calon pengganti,” tulis Pasal 53 ayat (2) UU Pilkada.

Kemudian, Pasal 191 UU Pilkada mengatur sanksi pidana dan denda yang bisa diberikan terhadap kandidat jika sengaja mengundurkan diri. Ancaman kurungan untuk kandidat seperti itu maksimal dua tahun dan denda antara Rp25 miliar sampai Rp50 miliar.

“Pernah ada kejadian di Pilkada 2015 itu pemenang pilkada dalam proses hukum, pada waktu itu sudah terpidana bahkan saat dikatakan menang. Sehingga saat secara administrasi dilantik, kemudian langsung diberhentikan,” ujar Wahyu.

Pernyataan Wahyu sesuai Pasal 164 ayat (6) UU Pilkada. Beleid itu menyebut calon kepala daerah pesakitan dapat tetap dilantik jika mereka menang pilkada.

“Dalam hal calon Bupati/Wali Kota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Wali Kota terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Wali Kota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Wali Kota,” bunyi aturan itu.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih