tirto.id - Pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran likuiditas senilai Rp200 triliun ke Himpunan Bank Negara (Himbara).
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan bahwa dana yang ditempatkan di bank milik pemerintah tersebut ditujukan untuk disalurkan ke sektor usaha. Harapannya, kebijakan ini dapat mempercepat laju perekonomian.
Guna memastikan efektivitas kebijakan tersebut, NEXT Indonesia Center mengidentifikasi sektor-sektor strategis yang dinilai paling tepat menerima aliran dana tersebut berdasarkan potensi efek pengganda terhadap perekonomian.
“Kalau sektor usaha yang disalurkan kredit tidak tepat, tidak akan mampu memberikan daya ungkit terhadap perekonomian,” kata Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, dikutip Senin (15/9/2025).
Berdasarkan simulasi yang dilakukan NEXT Indonesia Center terhadap data 2014–2024, dengan pengecualian tahun 2020 sebagai tahun anomali akibat krisis Covid-19, teridentifikasi delapan sektor usaha dari total 17 sektor yang memiliki multiplier effect terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di atas 1 kali.
Rata-rata, kucuran kredit ke sektor usaha mampu mengungkit perekonomian sebesar 1,44 kali. “Ini menandakan, jika penyaluran kredit disalurkan ke sektor yang tepat, maka berpotensi mengungkit PDB sektoral lebih dari satu kali,” jelas Christiantoko.
Sebagai contoh, sektor industri pengolahan memiliki efek pengganda sebesar 1,69. Artinya, setiap penambahan kredit satu rupiah pada sektor ini akan menghasilkan pertumbuhan PDB sebesar Rp1,69.
Tujuh sektor lainnya yang juga memiliki daya ungkit di atas 1 kali adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor; penyediaan akomodasi makanan dan minuman; transportasi dan pergudangan; informasi dan komunikasi; jasa pendidikan; real estat; dan dministrasi pemerintahan.
“Kucuran kredit di luar delapan sektor tersebut cenderung tidak mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi secara langsung. Bukan tidak penting, bisa jadi transmisi daya ungkitnya tidak secara langsung,” papar Christiantoko.
Ia menekankan pentingnya pengawasan pemerintah dalam penyaluran kredit ini. Menurutnya, jangan sampai bank mengelola cek kosong.
“Jangan berikan bank cek kosong, dalam arti boleh disalurkan ke mana saja. Sektor yang dikucurkan pinjaman harus jelas, dan pemerintah memastikan tepat sasaran,” tegasnya.
Christiantoko juga mengingatkan perlunya paket kebijakan terintegrasi untuk mendukung pemanfaatan dana stimulus ini. Kebijakan tersebut harus mampu mendorong permintaan (demand), baik dari dunia usaha maupun daya beli masyarakat.
“Paket kebijakan yang komprehensif ini penting, karena untuk mendukung kinerja perekonomian nasional, tidak dapat dikendalikan oleh Kementerian Keuangan sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, kondisi perbankan dinilai masih mendukung, dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) di bawah 90 persen dan Non-Performing Loan (NPL) rata-rata terjaga di bawah 2,5 persen.
“Data rasio kredit bermasalah itu menunjukkan risiko penyaluran kredit masih terkelola dengan baik,” jelasnya.
Peluang pemulihan ekonomi juga terlihat dari Indeks Manufaktur Indonesia untuk Agustus 2025 yang berada di level 51,5 (ekspansi) menurut S&P Global, serta Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kementerian Perindustrian di level 53,55.
Dorongan bagi dunia usaha, menurut Christiantoko, dapat berupa kemudahan atau stimulus fiskal. Namun, ia menekankan pentingnya koordinasi antar kementerian/lembaga, mengingat kegiatan industri berada di bawah pengelolaan Kementerian Perindustrian.
“Di sinilah pentingnya paket kebijakan yang terintegrasi itu,” katanya.
Upaya mendorong permintaan dari masyarakat sebagai konsumen akhir juga harus terus dilakukan melalui program stimulus daya beli, sehingga dunia usaha semakin terdorong untuk beraktivitas.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id






































