tirto.id - Pada 20 Mei 2023, Indonesia akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang ke-115. Anak-anak bangsa bisa turut merayakannya dengan membaca sajak bertema nasionalisme. Berikut akan disajikan beberapa contoh puisi dalam rangka peringatan Harkitnas.
Peringatan Harkitnas 2023 mengambil tema "Semangat untuk Bangkit". Tajuk tersebut menjadi simbol nilai-nilai semangat dan kekuatan agar Indonesia secepatnya bangkit lebih baik di masa depan.
Bangkit yang diharapkan tidak semata dari hasil fisiknya saja. Lebih dari itu, kebangkitan mesti disertai dengan semangat menjaga persatuan, demi bangkit bersama mewujudkan Indonesia jaya.
Inspirasi peringatan Harkitnas bermula dari tanggal kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908. BO menjadi organisasi pertama di Nusantara yang pertama kali menerapkan konsep nasionalisme. Perjuangannya tidak lagi bersifat kedaerahan.
Pendirian BO tidak lepas dari peran Soetomo Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, Gondo Soewarno, Soelaiman, dan beberapa orang lain dari STOVIA. Awalnya, organisasi ini beranggotakan orang-orang Jawa dan Madura, sampai akhirnya dibuka keanggotaan untuk masyarakat luas.
BO memilih berjuang melawan penjajah dengan cara persuasif dan moderat. Perang pemikiran menjadi salah satu perwujudannya. Masalah persamaan hak untuk memperoleh pendidikan bagi semua rakyat menjadi perhatian tersendiri bagi anggota Boedi Oetomo.
Kiprah luar biasa inilah yang kemudian mengilhami adanya peringatan Harkitnas. BO dinilai menjadi tonggak kebangkitan tersebut. Hingga pada 1949, melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, Soekarno resmi menetapkan 20 Mei sebagai peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
6 Contoh Puisi Hari Kebangkitan Nasional
Banyak orang mengapresiasi Harkitnas dengan membuat puisi. Seperti yang dilakukan berbagai penyair Tanah Air, sebagian puisi gubahannya memiliki semangat nasionalisme tinggi. Tak jarang melalui puisi, seorang penyair mampu mengobarkan semangat juang orang yang mendengar atau membacanya.
Berikut beberapa contoh puisi yang dapat disimak untuk merayakan Harkitnas:
“Grilya”
Oleh: WS Rendra
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
Terkecap pahitnya tembakau
Bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki berguling di jalan
Dengan tujuh lubang pelor
Diketuk gerbang langit
Dan menyala mentari muda
Melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
Dengan sayur-mayur di punggung
Melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
Dan duka daun wortel
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki berguling di jalan
Orang-orang kampung mengenalnya
Anak janda berambut ombak
Ditimba air bergantang-gantang
Disiram atas tubuhnya
Tubuh biru tatapan mata biru
Lelaki berguling di jalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
Berlindung warna malam Sendiri masuk kota
Ingin ikut ngubur ibunya
"Diponegoro"
Oleh: Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
"Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini"
Oleh: Taufik Ismail
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
"Museum Perjuangan"
Oleh: Kuntowijoyo
Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya.
Aku tahu sudah, di dalamnya
tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut cintanya
dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati.
Ingatlah, sesudah sebuah perang
selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.
"Monginsidi"
Oleh: Subagio Sastrowardoyo
Aku adalah dia
yang dibesarkan dengan dongeng
di dada bunda
Aku adalah dia
yang takut gerak bayang
di malam gelam
Aku adalah dia
yang meniru bapak
mengisap pipa dekat meja
Aku adalah dia
yang mengangankan jadi seniman
melukis keindahan
AKu adalah dia
yang menangis terharu
mendengar lagu merdeka
Aku adalah dia
yang turut dengan barisan pemberontak
ke garis pertempuran
Aku adalah dia
yang memimpin pasukan gerilya
membebaskan kota
Aku adalah dia
yang disanjung kawan
sebagai pahlawan bangsa
Aku adalah dia
yang terperangkap siasat musuh
karena pengkhianatan
Aku adalah dia
yang digiring sebagai hewan
di muka regu eksekusi
Aku adalah dia
yang berteriak ‘merdeka’ sebelum ditembak mati
Aku adalah dia,
ingat, aku adalah dia
"Kubu"
Oleh: Subagio Sastrowardoyo
Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini ada bayi mati kelaparan
atau seorang istri bunuh diri karena sepi
atau setengah rakyat terserang wabah sakit –
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang,
Tak ada alasan untuk bergembira selama masih ada orang menangis
di hati atau berteriak serak
minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi –
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.
Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa
untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata
dekat dinding kubu dan menanti.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Fadli Nasrudin