tirto.id - Nyaris 15 tahun berlalu saat John Mayer berdiri di atas panggung Grammy itu. Ia menerima penghargaan untuk kategori Best Male Pop Vocal Performance. Lagunya? Tentu "Your Body Is A Wonderland", andalan dari album debutnya, Room for Squares (2001). Lagu itu pula yang kemudian membawa Mayer banyak naik tingkat. Dari pemusik yang bermain rutin di klub kecil bernama Eddie's Attic, kemudian menjadi fantasi jutaan perempuan untuk mimpi basah.
"Ini semua terjadi amat cepat. Aku berjanji akan terus mengejar ketertinggalan," ujarnya di atas panggung.
Saat itu tak ada yang tahu apa yang ada di pikiran Mayer. Mungkin ia merasa ketakutan lagu "Your Body Is A Wonderland" akan membuatnya dikenang sebagai bintang pop cabul. Ia tentu tak mau dikenal seperti itu. Pada 1990, seorang tetangga memberinya kaset Stevie Ray Vaughan, dan Mayer langsung kesetanan ingin sepertinya. Satu hal yang pasti, SRV tak pernah dikenal sebagai bintang pop mesum, melainkan pahlawan musik blues. Maka mengejar ketertinggalan adalah janji Mayer pada dirinya sendiri, bukan hanya untuk para penggemarnya.
Setelahnya kita sama-sama tahu bahwa Mayer bukan sekadar bintang pop. Ia mesum, bisa jadi. Besar mulut, tentu. Karena itu ia menciptakan lagu "My Stupid Mouth". Curhatannya adalah: My stupid mouth has got me in trouble. I said too much again to a date over dinner yesterday, and I could see she was offended.
Tapi Mayer lebih dari itu semua. Ia penyanyi pop berjiwa blues, yang diberkahi oleh sensibilitas musik pop. Ia melodius. Bisa menciptakan lagu-lagu yang begitu lengket di telinga. Pengaruh blues-nya seperti bisa berkelindan dengan amat anggun. Ia bisa memainkan gitar sebagus SRV (tentu ini perdebatan yang tak bakal usai), tapi jelas ia pencipta lagu pop yang lebih bagus ketimbang idolanya itu.
Selain itu, John Mayer punya kisah panjang tentang patah hati. Ada banyak lagu bagus yang hadir berkat patah hati, dan Mayer adalah salah satu maestro lagu patah hati di abad 21. Ia punya sifat dasar yang dibutuhkan: rapuh. Tak percaya diri, walau sudah jadi mega super star. Pernah pada 2003, di awal kariernya, ia berkisah pada Jenny Eliscu dari Rolling Stone tentang keminderan terhadap fisiknya.
"Aku punya dagu yang mirip belahan pantat. Kepalaku amat besar sedang badanku amat kurus. Aku bukan tipikal orang yang menarik secara konvensional," katanya.
Saat kepopulerannya mencapai titik amat tinggi setelah merilis Continuum (2006) dan Battle Studies (2009), kerapuhan Mayer semakin menjadi. Bertambah dengan satu sindrom mengerikan yang bisa membunuhnya perlahan: kesepian.
Dalam The Dirty Mind and Lonely Heart of John Mayer yang ditulis Erik Hedegaard untuk Rolling Stone, Mayer mengatakan bahwa ia sering kali mengalami ditinggal perempuan saat akan bercinta. Naskah itu dibuka dengan deskripsi yang amat getir, sekaligus komikal: Mayer berada di sebuah klub malam, minum Grey Goose, sedikit oleng, dan kemudian melihat seorang perempuan menarik. Mayer mendekatinya. Ngobrol. Mereka setuju untuk melanjutkan obrolan dan hal-hal menarik lainnya di atas ranjang. Semua tampak berjalan lancar dan akan masuk bagian paling menyenangkan, hingga tiba-tiba si perempuan bangkit dari kasur dan memakai baju.
"Aku tidak sabar menunggu reaksi kawan-kawanku kalau aku telah menolak John Mayer," ujar si perempuan itu. Kurang ajarnya, sebelum minggat, gadis itu sempat-sempatnya bilang ke Mayer: "bisakah aku minta tanda tanganmu?"
Namun, Mayer mungkin memang ditakdirkan sebagai Majnun era kiwari. Setelah citra sebagai bintang pop mesum berhasil ia tanggalkan dengan karya-karya gemilang, ia kini dikenal sebagai seorang musisi pembuat lagu-lagu patah hati kualitas premium.
Continuum mungkin adalah album terbaiknya. Di sana, Mayer menulis lagu-lagu dahsyat seperti "Slow Dancing in A Burning Room", "Dreaming with a Broken Heart", hingga "I'm Gonna Find Another You". Namun selain urusan hati retak atau remuk atau berantakan atau pecah, Mayer menunjukkan sentuhan pop yang makin terasah di lagu-lagu seperti "The Heart of Life", "Vulture", juga "Belief".
Jalan Landai dan Berkabut Mayer
Akan tetapi, dari sana jalan Mayer mulai menurun dan tampak gelap. Ia tampil di banyak kabar gosip, mengencani banyak artis. Ia juga memberikan komentar kontroversial, lagi-lagi karena mulut besarnya. Dalam wawancara dengan Playboy, Mayer menceritakan kisahnya berkencan dengan Jennifer Aniston dan Jessica Simpson (Mayer menyebut Simpson sebagai sexual napalm). Ia juga dituduh rasis karena melontarkan kata nigger di wawancara itu, juga saat menyebut zakarnya sebagai white supremacist dan karena itu enggan berkencan dengan perempuan berkulit hitam.
Di tengah badai kontroversi karena mulutnya, Mayer kemudian mengambil keputusan paling cermat dalam hidupnya: mengambil jeda dari lampu sorot popularitas. Ia kemudian menggarap album barunya. Mayer juga belajar menahan diri untuk penggarapan album ini, apalagi ia juga sempat melakukan operasi mengangkat granuloma di sebelah pita suaranya.
"Aku banyak melakukan terapi. Kemudian melakukan istirahat bagi pita suara. Tidak minum alkohol. Tidak menyantap makanan pedas. Dan tidak ngomong. Sebagian besar di bulan September aku lalui tanpa bicara sedikit pun," tulis Mayer dalam blog pribadinya. Ini tentu usaha nan berat, mengingat betapa senangnya ia mengoceh.
Selain itu Mayer juga melakukan pengembaraan, pergi ke kota-kota kecil di AS bagian tengah. Alabama, Pennsylvania, Ohio, dan berakhir dengan pindah domisili ke Bozeman, kota kecil berpenduduk 43 ribu orang di Montana. Tujuannya adalah, "Melancong ke kota-kota kecil, lebih banyak melihat dan mendengarkan."
Hasilnya adalah Born and Raised (2012). Mayer menyebut album ini sebagai "...album paling jujur yang pernah aku buat." Selain itu, Mayer menampakkan pengaruh musikal yang lebih luas. Kali ini ia menampilkan pengaruh dari Laurel Canyon circa 1970-an, saat daerah di Los Angeles itu dihuni oleh musisi seperti Carole King, The Byrds, Neil Young, hingga The Eagles. Album in juga seperti wujud penghormatan Mayer kepada musisi folk besar seperti Dylan, Crosby, dan Nash.
Mayer memang terdengar amat jujur di album ini. Salah satu lagu paling personalnya mungkin "Shadow Days".
Ada kalimat seperti "Did you know that you could be wrong and swear you’re right. Some people been known to do it all their lives." Atau "I’m a good man with a good heart. Had a tough time, got a rough start. But I finally learned to let it go." Juga tentang kesepian akut yang ia telan, "But you find yourself alone, just like you found yourself before. Like I found myself in pieces on the hotel floor." Juga tentang betapa menyebalkannya menjadi jujur dan apa adanya.
Video lagu ini dibuat Mayer di pedesaan Idaho dan beberapa lokasi kota kecil yang tak disebutkan letaknya. Perasaan hangat menjalar saat video menunjukkan sepasang pasangan suami istri berusia lanjut pengrajin harmonika. Mungkin gambar itu sengaja ditampilkan karena keinginan Mayer yang belum kesampaian hingga sekarang: menemukan pasangan yang benar-benar bisa bertahan hingga maut menjelang.
Patah Hati dan Kesepian Berikutnya
Saya sempat salah sangka sewaktu berpikir Mayer sudah selesai dengan urusan patah hatinya. Continuum sudah dibuat, dan mungkin tak akan bisa dilampaui, bahkan oleh pembuatnya sendiri. Namun apa boleh buat, Mayer masih mencari segala yang berarti. Ia melabeli album barunya The Search for Everything, dirilis secara resmi pada 14 April 2017. Namun sebelumnya, Mayer sudah merilisnya dalam gelombang pertama (Januari 2017) dan gelombang kedua (Februari 2017), masing-masing berisi 4 lagu.
Mayer seperti enggan minggat dari patah hati berat. Sebagian menganggap penyebabnya adalah Taylor Swift. Sebagian lagi berpikir semua elegi patah hati terbaru Mayer disebabkan oleh Katy Perry. Apapun itu, terima kasih pada mereka yang meremukkan hati Mayer. Ia masih bertaji membuat lagu ngenes yang sama sekali tidak kacangan.
Kita bisa melihatnya dalam "Still Feel Like Your Man". Di video klipnya, kita bisa melihat Mayer yang lebih dandy ketimbang penampilannya kala penggarapan Born and Raised. Mayer juga tampak lebih santai dan mencoba untuk jadi lucu dengan membuat video klip ceria --salah satu adegannya menampilkan Mayer berjoget dengan dua ekor panda. Lagu ini menampilkan groove asyik yang sukar membuatmu tak menggoyangkan kepala.
Pengaruh drummer Steve Jordan dan bassist Pino Palladino rupanya amat kental. Membuat Mayer kembali menjadi guitar man, seperti saat ia bermain di John Mayer Trio bersama Steve dan Pino. Lagu "Still Feel Like Your Man", meski tampaknya adalah lagu pop biasa, coba mainkan dengan gitar. Kamu pasti tahu betapa rumitnya lagu ini. Begitu pula di lagu "Helpless", yang menampilkan Mayer versi funk, lengkap dengan solo gitar yang mengingatkan kita pada Mayer versi Continuum.
Benang merah album ini tetap patah hati dan perasaan Mayer yang memang seperti gelas: rapuh. Setidaknya dari 12 lagu, ada 6 lagu yang berkisah tentang patah hati. Mulai dari "Still Feel Like Your Man", "Emoji of a Wave", "Helpless", hingga "Moving On and Getting Over". Kali ini Mayer berhasil mengemas lagu patah hati dengan berbagai warna, tidak hanya aura kelabu.
Lagu "Moving On and Getting Over", misalkan. Menampilkan sapuan R&B yang menampilkan merah, biru, hijau, bahkan merah muda di kepalamu. Ritmenya seperti hari Sabtu malam, saat teman-temanmu mengajakmu nongkrong di kafe yang riuh tapi kamu tolak karena enggan ke mana-mana selain rebahan di sofa sembari menyelesaikan "The Life and Times of the Thunderbolt Kid".
Pencarian panjang Mayer terhadap perempuan yang, "ia kagumi melebihi aku mengagumi diriku sendiri" memang masih belum usai. Mayer juga menulis bahwa ia belum usai berubah. Mungkin ia tetap merasa tidak percaya diri setelah sekian lama dan sekian terpaan tidak menyenangkan dalam hidup. "I may be old and I may be young, but I am not done changing," katanya dalam "Changing".
Tapi kita semua tahu, bahwa setiap pencarian Mayer terhadap apapun -- entah jati diri, hingga kemapanan perihal asmara-- selalu membuahkan album yang apik. Untuk itu, mari berdoa pencarian ala Mayer itu tak akan pernah usai.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti