tirto.id - KRL Jabodetabek merupakah salah satu moda tranportasi andalan bagi penduduk Jakarta dan sekitarnya. Pasalnya, dibandingkan dengan MRT dan LRT, tarif KRL Jabodetabek tetap yang paling ramah di kantong. Selain itu, layanan commuter satu ini juga menjadi penghubung utama untuk tiga provinsi, yakni Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.
Tercatat, hingga 2024, KRL Jabodetabek melayani lebih dari 90 stasiun di berbagai jalur, menjadikannya pilihan utama bagi banyak pengguna.
Dengan tarif yang sangat terjangkau, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) ternyata memberikan kontribusi signifikan terhadap keuangan PT Kereta Api Indonesia (KAI), selain KAI Logistik. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, pada 2022 laba PT KAI mencapai Rp1,6 triliun, dan PT KCI menyumbang sekitar Rp189,8 miliar atau setara 11 persen dari total laba bersih.
Selain dari sisi laba, KRL Jabodetabek juga berkontribusi besar sebagai sarana penghubung masyarakat. Data BPS menunjukkan ada sekitar 290 juta pengguna KRL Jabodetabek pada tahun 2023, naik sekitar 35 persen dari tahun 2022. Direktur Utama PT KAI, Didiek Hartantyo memprediksi penumpang KRL Jabodetabek tahun 2024 akan mencapai 345 juta orang, dan akan terus naik setiap tahunnya.
Stagnasi Tarif dan Dilema Kondisi PT KAI
Hampir satu dekade, tarif yang dibebankan kepada penumpang KRL Jabodetabek tidak pernah berubah. Sejak 2016, tarif dasar yang dibebankan mulai dari Rp3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan tambahan Rp1.000 untuk setiap 10 km berikutnya. Ini artinya, penumpang hanya membayar Rp13.000 untuk perjalanan sepanjang 125 km atau setara Rp104/km. Sangat murah.
Terjangkaunya harga tiket KRL Jabodetabek ditopang oleh subsidi pemerintah yang diberikan kepada PT KAI dalam bentuk Public Service Obligation (PSO). Subsidi dari PSO ini mendukung peningkatan kualitas dan inovasi layanan kereta api lokal.
Dalam tujuh terakhir, jumlah subsidi PSO yang diberikan KAI kepada KRL Jabodetabek menunjukkan tren peningkatan dengan sumbangan tertinggi tercatat pada 2021. Namun, pada 2022 dan 2023 nilai subsidi PSO yang disalurkan untuk KRL Jabodetabek menurun. Padahal total PSO yang diterima meningkat. Ini menjadi alarm tersendiri. Pasalnya, besar kemungkinan akan terjadi penyesuaian tarif dalam waktu dekat.
Lebih lanjut, selain subsidi PSO, lonjakan laba PT KAI sejatinya juga ditopang oleh penyertaan modal negara (PNM) yang rutin diterima hampir setiap tahunnya. Pemerintah kita memang rajin memberikan modal bagi BUMN kereta satu ini mengingat beberapa rencana investasi yang memiliki beban operasional yang cukup tinggi.
Ambil contohnya, rencana pembangunan LRT Jabodetabek pada tahun 2017. Kala itu, kas yang dimiliki perusahaan tidak mencukupi, sehingga pemerintah menyuntikkan PNM sekitar Rp2 triliun guna menunjang pembangunan sarana dan prasarana awal LRT Jabodetabek.
Sayangnya, sejak diresmikan pada 2023, proyek LRT belum optimal menyumbangkan pendapatan. Prospek bisnisnya masih mengandalkan pada pendapatan sewa usaha dan ruangan bisnis untuk menaikan laba. Hal ini terjadi meskipun dari tahun ke tahun labanya meningkat hampir dua kali lipat. Pada tahun 2023, laba LRT mencapai Rp15,41 miliar, naik 87,05 persen dari tahun 2022.
Selain LRT, proyek ambisius lainnya adalah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang diberi nama Whoosh. Proyek ini mencatatkan cost-overrun yang begitu besar bagi PT KAI.
Untuk memenuhi kebutuhan cost-overrun itu, PT KAI harus mengajukan pinjaman kepada China Development Bank (CDB) sebesar Rp 7 triliun. Di luar daripada itu, pemerintah senantiasa konsisten memberikan PMN sejak tahun 2021 (Rp4,3 triliun), 2022 (Rp3,2 triliun), dan 2023 (Rp4,1 triliun).
Jauh panggang dari api, kedua proyek besar ini belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan PT KAI. Hal ini terindikasi dari jumlah penumpang yang belum memenuhi target serta masalah dalam operasionalnya. Sebaliknya, keduanya malah menambah beban utang perusahaan, karena sebagian dananya merupakan pinjaman.
Akibatnya, PT KAI terpaksa menunda pembagian dividen kepada negara sejak 2021. Timing pembangunan proyek ini ternyata kurang ideal, mengingat dampak COVID-19 yang mengakibatkan penurunan operasional PT KAI, yang baru pulih kembali pada tahun 2022.
Alternatif Pendanaan dan Subsidi Adil
Dalam upaya meningkatkan efisiensi distribusi subsidi KRL Jabodetabek, pemerintah mencanangkan program subsidi berbasis Nomor Induk Kependedukan (NIK). Ini bertujuan agar bantuan dana yang diberikan lebih tepat sasaran kepada masyarakat ekonomi rendah.
Di satu sisi juga akan mengurangi beban PSO negara ke PT KAI. LPEM-UI sempat melakukan analisis, jika saja tarif dinaikkan Rp500 per orang, maka kemungkinan penghematan negara mencapai Rp114 miliar per tahun.
Akan tetapi, usulan ini ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat karena dinilai tidak adil, dan bertentangan dengan prinsip pemerintah yang mendorong penggunaan transportasi publik. Musababnya, belum lama pemerintah justru memberikan subsidi besar kepada pengguna mobil listrik yang bahkan tidak sampai 1% populasi orang Indonesia.
Kalau memang rencana ini diterapkan, kemungkinan konsekuensinya jelas, tarif kereta akan naik bagi golongan tertentu, atau operasional KRL Jabodetabek yang akan mengalami penyesuaian. Kelas menengah menjadi golongan yang paling terdampak dari kebijakan ini.
Jika tarif dinaikan, secara kuantitas dapat menaikan pendapatan PT KCI, tetapi di sisi lain mungkin saja penumpang setia akan berpaling ke moda transportasi lain. Bahkan ada yang lebih memilih kembali menggunakan transportasi pribadi.
Padahal, jumlah penumpang diketahui menjadi variabel vital yang secara signifikan mendongkrak keuntungan perusahaan kereta api. Hal ini merujuk studi yang dilakukan oleh Gligic et al. (2023) pada 10 perusahaan kereta api di 10 negara Uni Eropa pada periode 2010-2019.
Hasil studi mereka menunjukkan bahwa jumlah penumpang, jumlah & produktivitas pegawai memiliki korelasi positif dengan margin keuntungan perusahaan. Dengan kata lain, semakin tinggi nilainya maka laba bersih yang diperoleh perusahaan juga meningkat.
Pakar Transportasi dari ITB, Prof. Dr. Miming Miharja mengatakan alternatif yang mungkin bisa diberikan adalah memberikan voucher bagi masyarakat yang teridentifikasi berpenghasilan rendah. Kemudian pembedaan tarif berdasarkan diversifikasi latanan seperti layaknya kelas ekonomi dan bisnis, Skema ini dinilai lebih tertib dan mengurangi potensi kerusuhan.
Lebih lanjut, beberapa akademisi memberikan saran terkait strategi bisnis model yang bias menjadi alternative. Studi literatur oleh LPEM-UI menyarankan pemerintah untuk lebih meningkatkan pemanfaatan kawasan transit atau Transit Oriented Development (TOD). Pendekatan ini diterapkan oleh Singapura, di mana mereka berhasil membuka kawasan ritel di sekitar wilayah MRT-nya untuk mendulang keuntungan dari waktu tunggu penumpang.
Pendekatan yang serupa juga diterapkan pleh perusaan kereta api plat merah asal Hong Kong, MTRCL. Namun, mereka menggunakan cakupan yang lebih luas dengan model bisnis “Rail plus Property (R+P).” Dalam model bisnis ini perusahaan kereta api tidak hanya membangun jalur kereta tetapi juga diberikan hak membangun lahan.
Dengan hak tersebut, MTRCL menggandeng agen properti untuk membangun apartemen, gedung komersial atau lainnya. Perusahaan kemudian mendapat keuntungan dari pembayaran sewa tanah atau bangunan. Sebuah studi mencatat MTRCL berhasil menaikkan laba hingga 60 persen dengan strategi ini, sekaligus menjaga tarif mereka tetap terjangkau.
Sebagai penutup, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tarif dan subsidi KRL Jabodetabek perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan bisnis PT KAI tanpa mengorbankan keterjangkauan bagi masyarakat.
Alternatif bisnis model seperti diversifikasi layanan tarif berdasarkan kelas ekonomi dan bisnis, atau pemanfaatan konsep Transit Oriented Development (TOD), layak dipertimbangkan. Langkah-langkah ini bisa mengurangi ketergantungan pada subsidi negara, sekaligus meningkatkan pendapatan perusahaan.
Selain itu, mengadopsi model bisnis “Rail plus Property (R+P)” seperti yang diterapkan MTRCL di Hong Kong juga dapat menjadi strategi yang efektif untuk menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan dengan aksesibilitas publik terhadap layanan kereta api.
Editor: Dwi Ayuningtyas