tirto.id - Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda tiga hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024, menjadi catatan sejarah.
"Jadi, itu semacam catatan sejarah bagi para akademisi untuk mempelajari kenapa ada dissenting opinion seperti ini dan apa alasan-alasan mereka," kata Yusril di kediaman Prabowo, Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Selasa (23/4/2024).
Menurut Yusril, pendapat berbeda ketiga hakim MK itu layak untuk dikritisi guna mengetahui di mana letak kelemahan dan kekuatannya.
"Jadi, dissenting opinion ini bisa dikritisi juga oleh para akademisi di mana kekuatan dan di mana kelemahannya, seperti itu," ucap Yusril.
Ia mengatakan kedatangannya ke rumah Prabowo malam ini untuk menyerahkan salinan asli putusan MK perihal sengketa Pilpres 2024. Nantinya, salinan itu akan didokumentasikan untuk menjadi bagian dari sejarah bangsa.
"Kami bersilaturahmi dan menyerahkan putusan itu kepada beliau (Prabowo), putusan aslinya untuk disimpan dan didokumentasikan sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa kita, generasi akan datang nanti dapat membaca putusan itu dalam bentuk aslinya," tutur Yusril.
Ketiga hakim MK yang menyampaikan dissenting opinion adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
Dalam dissenting opinion-nya, Hakim Arief Hidayat mengatakan tak boleh ada penyelenggara negara yang ikut campur atau cawe-cawe dan memihak kepada salah satu kontestan dalam proses Pemilu 2024. Ia menilai Presiden Joko Widodo telah memihak paslon tertentu.
"Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga, dari tingkat pusat hingga level daerah, telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu," sebutnya saat membacakan dissenting opinion.
Menurut Arief, tindakan Jokowi mencederai sistem keadilan pemilihan umum. Sebab, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sementara itu, Enny menilai dalil pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sebab, menurutnya, memang ada ketidaknetralan pejabat negara saat Pilpres 2024.
Karena itu, Enny menilai seharusnya diadakan pemungutan suara ulang. Hal ini dilakukan untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.
Lalu, Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya menyinggung soal ketidaknetralan penjabat (pj) kepala daerah hingga kepala desa. Menurutnya, ketidaknetralan ini kerap didalilkan oleh para pemohon.
Setelah membaca keterangan Bawaslu RI, ungkapnya, dia menemukan fakta soal netralitas pj. kepala daerah dan kepala desa.
"Saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas pj. kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi, antara lain di Sumatra Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan," urainya.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi