Menuju konten utama

Yusril: Presiden Petahana Tak Perlu Mundur Bila Nyapres Lagi

Yusril Ihza Mahendra mengatakan, seorang presiden petahana tak memiliki kewajiban untuk mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai presiden di periode berikutnya.

Yusril: Presiden Petahana Tak Perlu Mundur Bila Nyapres Lagi
Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, tak ada kewajiban seorang Presiden petahana untuk cuti atau mundur dari jabatannya ketika mencalonkan diri sebagai Presiden pada periode berikutnya.

"Bagi Presiden yang menjadi petahana tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Hal ini tidak saja berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden petahana di negara kita," katanya lewat pers rilis yang terima Tirto, pada Sabtu (8/9/18).

Ia mengatakan hal tersebut merespons ramainya meme di media sosial yang beredar mengenai UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pada pasal 6, yang mengatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya, disertai kata-kata, “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga."

Padahal, menurut Yusril, undang-undang tersebut sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf A UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017.

"Namun ketentuan itu tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana. Hal yang sama diatur juga dalam pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut.

Menurut Yusril, tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu sudah benar dalam perspektif Hukum Tata Negara. Sebab, jika ada aturan yang mengharuskan cuti atau mundur dari jabatan akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan Indonesia

Ia memberi contoh, jika Presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka Presiden wajib digantikan oleh Wakil Presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu diperlukan Sidang Istimewa (SI) MPR untuk melantik Wapres menjadi Presiden.

"Bagaimana jika Wapres sama-sama menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai Capres? Maka kedua-duanya harus berhenti secara bersamaan," katanya.

Kalau ini terjadi, kata Yusril, maka Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negara (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru.

Kalau hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun, kata Yusril, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di Indonesia. Menurut Yusril, kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara.

"Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi," kata mantan Mensesneg pada 2004-2007 tersebut.

"Andai ketika jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya, siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya," tambahnya.

Karena itu Yusril berpendapat bahwa Presiden petahana, Jokowi atau siapapun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti.

"Berbagai meme yang hanya mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008, padahal UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, adalah meme yang menyesatkan dan berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang," tutupnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Yandri Daniel Damaledo