Menuju konten utama

Yuk, Kolaborasi Lawan COVID-19 untuk Atasi Dampak Ekonomi

Untuk meredam panic buying yang terjadi, diperlukan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, para pedagang, hingga para pengusahan penyedia bahan makanan.

Yuk, Kolaborasi Lawan COVID-19 untuk Atasi Dampak Ekonomi
Ilustrasi panic buying. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sejak Coronavirus Disease 2019 atau lebih sering dikenal dengan COVID-19 menjadi wabah di hampir seluruh negara di dunia, persediaan masker, larutan pembunuh kuman, dan alat pelindung lainnya mengalami kelangkaan. Hal ini disebabkan oleh penimbunan yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mencegah penularan virus tersebut.

Tidak hanya itu, bahan makanan dan sembako juga banyak diborong oleh masyarakat setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua WNI positif virus Corona pada 2 Maret lalu. Akibatnya, harga alat kesehatan termasuk masker dan hand sanitizer alami kenaikan yang signifikan hingga berkali-kali lipat.

Penimbunan barang yang dilakukan oleh masyarakat ketika terjadi sesuatu yang dianggap darurat atau gawat dikenal dengan istilah panic buying. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartanti mengatakan, perilaku ini dipicu oleh faktor psikologis terjadi akibat informasi tidak sempurna atau menyeluruh yang diterima oleh masyarakat.

Pada akhirnya, masyarakat menjadi khawatir sehingga timbul lah respons berupa belanja secara masif dalam upaya penyelamatan diri.

Sementara itu, ia juga menjelaskan bahwa terdapat dua kekhawatiran yang muncul di masyarakat. Pertama, khawatir jika tidak belanja sekarang bisa saja besok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang, persediaan barang telah habis untuk esok hari.

Dalam ekonomi, terdapat teori permintaan dan penawaran. Ketika permintaan terhadap suatu barang tinggi karena jumlahnya yang sedikit, penawaran terhadap harga barang juga mengalami kenaikan. Dengan kata lain, harga akan meroket akibat permintaan dari masyarakat yang tinggi disertai dengan barang yang langka. Ini lah yang kemudian terjadi akibat panic buying tersebut.

Lebih lanjut, daya beli masyarakat akan menurun. Misalnya, ketika uang Rp10 ribu sudah sapat digunakan untuk membeli masker, sekarang tidak cukup lagi karena harganya telah naik hingga berkali-kali lipat. Masyarakat harus menyiapkan uang yang lebih banyak untuk mendapatkan barang dengan jumlah yang sama.

Kolaborasi untuk Hentikan Panic Buying

Mengatasi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (DPP-APPSI) menyebar surat edaran guna membatasi pembelian bahan pokok penting sebagai antisipasi panic buying akibat pandemi corona atau COVID-19.

Surat edaran dengan Nomor:B/1872/III/Res.2.1/2020/Bareskim tentang Pengawasan Ketersediaan Bahan Pokok Penting (Bapokting) tersebut mengatur pembatasan pembelian beberapa bahan sembako termasuk beras, gula, hingga minyak goreng.

Adapun pembelian dibatasi dengan beras maksimal 10 kg, gula maksimal 4 kg, minyak goreng maksimal 4 liter, dan mie instan maksimal 2 kardus.

Di sisi lain, pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan juga menjanjikan kesiapan pasokan pangan untuk masyarakat dengan harga terjangkau. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengklaim, stok kebutuhan pokok masih dapat terpenuhi hingga bulan puasa dan lebaran nanti.

Penimbunan barang akibat wabah ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah berupaya mendesak warganya untuk tidak melakukan penimbunan bahan makanan, seperti dilansir dari The Guardian.

Di sisi lain, ia juga telah berbicara dengan para pemimpin industri bahan makanan yang juga menentang penimbunan yang dilakukan oleh masyarakat AS. “Mereka sebenarnya meminta saya untuk mengatakan: ‘bisakah Anda membeli lebih sedikit?’. Saya pikir saya tidak akan pernah mendengarnya dari para pengecer,” ungkapnya dikutip dari The Guardian.

Wabah SARS-CoV-2 atau COVID-19 berdampak baik untuk para produsen dan penjual masker. Forbes menuliskan bahwa penjualan masker telah melonjak di seluruh dunia dengan permintaan yang meroket. Hal ini menyebabkan banyak bisnis yang menjualnya besar-besaran atau justru membatasi jumlah pembelian oleh pelanggan.

Pada kenyataannya, untuk meredam panic buying yang terjadi, diperlukan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, para pedagang, hingga para pengusahan penyedia bahan makanan. Pasalnya, semua tidak akan berjalan lancar dan terus ada pihak yang terdampak bila tidak ada konfigurasi dari seluruh lapisan masyarakat.

Oleh karena itu, ada baiknya untuk menghentikan pemborongan berbagai kebutuhan rumah tangga seperti sembako, dan berbagai alat pelindung diri termasuk masker dan hand sanitizer. CDC menuliskan, masker sebaiknya hanya dikenakan oleh mereka yang terinfeksi virus COVID-19 atau seseorang yang merawat orang lain yang terinfeksi sementara cairan pembunuh kuman tidak seefektif mencuci tangan dengan sabun.

Jika tidak, Anda hanya akan menghabiskan persediaan untuk orang-orang yang mungkin membutuhkan masker seperti personil perawatan kesehatan dan orang-orang yang terinfeksi. Bahkan, Ahli Bedah SA Jerome Adams, MD, MPH merespons panic buying yang terjadi dengan mem-posting twit melalui akun Twitter pribadinya dikutip dari Forbes.

“Serius orang-orang-BERHENTI LAKUKAN PEMBELIAN MASKER!” tulis Adams mengawali twitnya.

“Mereka TIDAK efektif dalam mencegah masyarakat umum dari menangkap #Coronavirus, tetapi jika penyedia layanan kesehatan tidak bisa membuat mereka merawat pasien yang sakit, itu membuat mereka dan komunitas kita dalam bahaya!” lanjutnya.

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Ibnu Azis