Menuju konten utama

Yasonna Laoly Berpotensi Dipidana Bila Rintangi Kasus Harun Masiku

Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan Menkumham Yasonna Laoly ke KPK karena diduga menghalang-halangi kasus korupsi yang menjerat Harun Masiku.

Yasonna Laoly Berpotensi Dipidana Bila Rintangi Kasus Harun Masiku
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly memberikan keterangan pers soal pernyataannya yang dianggap menyinggung warga Tanjung Priok saat acara Resolusi Pemasyarakatan 2020 di Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta, di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu (22/1/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

tirto.id - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly diduga merintangi kasus dugaan suap proses pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR RI yang melibatkan kader PDIP Harun Masiku. Yasonna yang tercatat sebagai Ketua DPP Bidang Hukum dan Perundang-Undangan PDIP, dianggap memiliki konflik kepentingan.

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi pun melaporkan Yasonna ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap yang menyeret kader PDIP dan Wahyu Setiawan, salah satu komisioner KPU RI yang saat ini sudah dipecat.

“Atas dugaan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2020).

Dugaan pelaporan Yasonna oleh Koalisi Masyarakat Sipil ini dipicu oleh kesimpangsiuran informasi keberadaan Harun Masiku yang dikeluarkan Ditjen Imigrasi Kemenkumham.

Ditjen Imigrasi awalnya menyebutkan Harun Masiku sudah keluar Indonesia dan berada di Singapura pada 6 Januari 2020. Bahkan hingga 16 Januari 2020, Yasonna masih mempertebal narasi Harun berada di luar negeri.

“Pokoknya belum di Indonesia,” tegas Yasonna usai menghadiri Deklarasi Resolusi Permasyarakatan 2020 di Lapas Narkotika IIA, Jakarta Timur, Kamis (16/1/2020).

Pernyataan Yasonna itu terbantahkan setelah Majalah Tempo menulis berita Harun sudah berada di Indonesia sejak 7 Januari 2020. Hal itu diperkuat tangkapan CCTV, yang menunjukkan seorang laki-laki diduga Harun Masiku melintas di selasar Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 7 Januari 2020 pukul 17:15 WIB.

Hingga akhirnya Dirjen Imigrasi Ronny F Sompie pun mengamini informasi yang sudah tersebar luas itu.

“Saya sudah menerima informasi berdasarkan pendalaman di sistem, termasuk data melalui IT yang dimiliki stakeholder terkait di Bandara Soetta, bahwa HM telah melintas masuk kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Batik pada 7 Januari 2020,” ujar Ronny seperti dilansir dari Antara.

Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Kemenkumham Arvin Gumilang mengjelaskan soal kesimpangsiuran keberadaan Harun Masiku ini. Ia mengatakan hal ini dikarenakan ada persoalan delay system.

Arvin menduga delay system terjadi dikarenakan proses restrukturisasi Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM) yang sedang berlangsung. Restrukturisasi, kata dia, dapat berimbas mengganggu data dan update.

"Namun dengan adanya kegiatan itu, masih dalam proses atau langkah untuk dilakukan pendalaman," ujar Arvin, di Kemenkumham, Jakarta Selatan, Rabu (22/1/2020).

Sanksi untuk Yasonna?

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta Zaenur Rohman menilai posisi standar ganda Yasonna Laoly dalam pengejaran Harun Masiku memang kental bernuansa konflik kepentingan.

Menurut dia, kehadiran Yasonna dalam konferensi pers yang digelar DPP PDIP pada beberapa waktu lalu menunjukkan resistensi pemerintah terhadap upaya yang sedang dilakukan KPK.

“Seharusnya presiden melarang dan beri teguran kepada menkumham. Tapi itu tidak dilakukan dengan alasan itu petugas partai," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat (24/1/2020).

Zaenur menambahkan, “Saya kira antara presiden dan menkumham tidak memahami etika pejabat publik.”

Sementara itu, Deputi Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Putri Kanesia menilai semestinya Yasonna dalam kapasitas sebagai menkumham bisa memberikan informasi yang jelas tentang keberadaan Harun Masiku, bukan sebaliknya.

"Karena dengan statment dari Pak Yasonna yang menyatakan yang bersangkutan [Harun] tidak di Indonesia, akhirnya semakin menambah lama proses pencarian dan penyelidikan kasus Harun," ujar dia.

KontraS merupakan bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Transparency International Indonesia (TII), dan beberapa lembaga lain.

Oleh sebab itu, peneliti ICW Kurnia menduga Yasonna perlu dikenakan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 21 berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

“Karena ini sudah masuk penyidikan tertanggal 9 Januari kemarin. Harusnya tidak menjadikan hambatan lagi bagi KPK segera menindak Yasonna dengan Pasal 21 tersebut,” kata dia.

Terkait ini, Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan penetapan Pasal 21 harus melalui serangkaian pendalaman terlebih dahulu. Ia berjanji akan mempelajari laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil.

“Dari pihak imigrasi telah menyatakan akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu, terkait dengan apakah ada faktor kesengajaan ketika kemudian tidak tercatat dengan kembalinya tersangka Harun dari Singapura," ujarnya.

Baca juga artikel terkait SUAP KOMISIONER KPU atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz