tirto.id - Mungkin tidak ada satu pun orang yang pada lima tahun lalu membayangkan baca artikel yang dibuat oleh robot yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan. Namun berkat kemajuan teknologi, hal itu kini sudah terwujud.
Sejak 2016, divisi online suratkabar The Washington Post sudah melakukannya dengan mesin bernama Heliograf. Pada tahun pertama diaktifkan, atau selama 2016, Heliograf bisa membuat hingga 850 artikel pendek.
Sejak September 2017, kerja Heliograf diperluas. Kini mesin tersebut rutin "bertugas" membuat laporan pertandingan football anak-anak SMA di seantero Washington D.C. setiap minggu.
Memang, laporan-laporan tersebut sejauh ini masih sebatas pada peristiwa yang sifatnya pengulangan seperti hasil pertandingan olahraga. "Jurnalis robot" belum mampu, misalnya, membuat laporan panjang atau feature.
Namun karena riset-riset terkait kecerdasan buatan masih terus berlangsung, pada masa depan yang entah kapan, bisa jadi kerja-kerja jurnalistik memang bakal "direbut" oleh robot.
Kalau "kerja-kerja intelektual" seperti jurnalis saja dapat diganti, maka dalam skala yang lebih luas, bukan tidak mungkin robot-robot bisa jadi bakal menggantikan peran manusia dalam banyak jenis pekerjaan lain.
Hal inilah yang tidak dibicarakan Airlangga Hartanto, Menteri Perindustrian, dalam beragam kesempatan ketika bicara soal Revolusi Industri 4.0, termasuk pada Senin (16/4) kemarin.
"Orang di balik robot masih akan ada," katanya, dalam diskusi bertajuk "Indonesia Siap Menuju Revolusi Industri 4.0" di Jakarta.
Sebelumnya, pada Maret 2018, dengan mengambil contoh industri tekstil, politikus Golkar itu bahkan bilang kalau Revolusi Industri 4.0 tidak bakal mengurangi jumlah pekerja manusia.
"Jadi pelaksanaan industri 4.0 di tekstil itu tidak mengurangi tenaga kerja, hanya meningkatkan efisiensi. Jadi tenaga kerja tidak akan berkurang," katanya, di Kemenko Kemaritiman Jakarta, dikutip dari Antara.
Apa yang dikatakan Airlangga berkebalikan dengan riset-riset terkini mengenai implikasi Revolusi Industri 4.0.
Laporan McKinsey Global Institute pada Januari 2017 berjudul Jobs Lost, Jobs Gained: Workforce Transitions in a Time of Automation (PDF) menyebut kalau "antara 400 juta sampai 800 juta orang mungkin bakal digantikan mesin dan harus mencari pekerjaan baru pada 2030 di seluruh dunia." (hlm 11).
Yang paling rentan terotomatisasi adalah pekerjaan-pekerjaan yang lebih banyak melibatkan kekuatan fisik seperti operator mesin. Selain itu juga pekerjaan yang berkaitan dengan mengumpulkan dan memproses data seperti paralegal dan akuntan.
Pekerjaan seperti tukang kebun atau perawat anak dan lansia juga mungkin bakal digantikan mesin. Namun untuk yang ini cenderung lebih sukar terealisasikan karena biayanya lebih besar dibanding mempekerjakan manusia.
Berdasarkan riset McKinsey pula, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, pernah bilang kalau bakal ada 45 sampai 50 juta tenaga kerja Indonesia yang bakal kehilangan pekerjaan.
Hilangnya banyak pekerjaan karena otomatisasi juga jadi kesimpulan riset World Economic Forum (WEForum) pada 2016 lalu. Mereka menyebut kalau "dalam lima tahun mendatang, 7,1 juta pekerjaan bisa hilang... dengan dampak terbesar dirasakan pekerja kerah putih dan administratif."
Jumlah pekerjaan yang hilang berbanding terbalik dengan terciptanya pekerjaan baru yang jumlahnya diprediksi hanya 2,1 juta saja.
Tanpa strategi yang benar untuk mengelola transisi jangka pendek menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan mempersiapkan tenaga kerja dengan keterampilan yang akan datang ini, kata Klaus Schwab, Founder and Executive Chairman World Economic Forum, pemerintah di negara manapun "harus mengatasi pengangguran dan ketidaksetaraan yang terus meningkat, dan bisnis dengan basis konsumen yang menyusut."
Pemerintah Mesti Buat Jaring Pengaman
Beda dengan Airlangga, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri sadar bahwa Revolusi Industri 4.0, yang terutama ditandai dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), memang menghilangkan banyak jenis pekerjaan, meski di satu sisi juga menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru.
"Revolusi industri harus diantisipasi secara cepat karena di satu sisi menciptakan peluang kerja baru, tapi di sisi lain juga membunuh pekerjaan yang lama," kata Hanif, Maret lalu, dikutip dari Antara.
Apa yang dikatakan Hanif dibenarkan Muhamad Rusdi, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Menurutnya, hal ini sudah dirasakan oleh anggotanya yang bekerja sebagai teller bank.
"Menurut anggota kami, di [bank] Danamon terus menerus ada pengurangan karyawan sejak banyak transaksi online. Di sektor manufaktur juga kemungkinan bakal terjadi," katanya kepada Tirto, di Jakarta, Selasa (17/4/2018).
Rusdi menilai apa yang sering dikatakan pemerintah bahwa para pekerja harus menyesuaikan diri dengan banyak belajar hal-hal baru tidak lah cukup. Sebab, katanya, hal itu pasti dilakukan. Masalahnya adalah tidak selalu tersedia akses ke sana.
"Pemerintah secara keseluruhan belum siap," katanya.
Sementara Ikhsan Raharjo, Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), mengatakan kalau hilangnya sebagian pekerjaan ini kadang diikuti oleh sengketa ketenagakerjaan. Misalnya, pekerja yang tidak mendapatkan hak-hak normatifnya ketika dipecat. Begitu juga para pekerja di sektor baru yang muncul karena perkembangan teknologi.
"Paling terlihat adalah fenomena ojek online. Posisi tawar para pengemudi di depan pengusaha teknologi sangat rendah. Mereka tidak bisa mempengaruhi penentuan tarif, sanksi dan aturan lain," katanya kepada Tirto.
Untuk itu, Ikhsan merekomendasikan agar pemerintah, terutama Kemenaker, membuat mekanisme yang jelas untuk menanggulangi dampak ketenagakerjaan akibat peralihan teknologi. Kemenaker, misalnya, dapat membuat unit khusus untuk menangani kasus perburuhan karena efek samping dari peralihan teknologi dan memberikan syarat yang tegas bagi perusahaan yang hendak melakukan alih teknologi.
"Antara lain dengan melaporkan dampak alih teknologi dan strategi mitigasi terhadap pekerja yang tersisih akibat peralihan teknologi," katanya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino