Menuju konten utama

"Yang Setipis Kartu ATM Itu Cuma Keripik Tempe"

Seorang pengrajin tahu tempe mengaku harus mengurangi keuntungannya demi menjaga minat pembeli.

Perajin memproduksi tempe berbahan kedelai impor di salah satu rumah industri di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (15/11). Perajin setempat mengeluhkan harga kedelai impor yang mengalami kenaikan dari Rp6.800 per kilogram menjadi Rp7.350 per kilogram yang tidak diimbangi dengan kenaikan harga tempe sehingga penghasilan mereka lebih kecil dibanding biasanya. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/kye/16.

tirto.id - Aip Syarifuddin, produsen tempe sekaligus Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) mengaku melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat belum berdampak langsung kepada para perajin tahu dan tempe. Namun jika situasi ini terus dibiarkan, ia cemas melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan membuat harga kedelai impor sebagai bahan baku tahu dan tempe naik serta langka.

"Prinsipnya harga kedelai sekarang stabil, biaya produksi stabil, harga ragi tidak naik, gas melon 3 kilogram yang biasa digunakan tidak dinaikkan Pertamina juga," ujar Aip kepada reporter Tirto, Minggu (9/9/2018).

Aip membantah jika pelemahan dolar membuat para produsen mengurangi ukuran tempe mereka seperti yang disampaikan secara hiperbolis oleh bakal calon wakil presiden 2019, Sandiaga Uno bahwa ukuran tempe sekarang setipis kartu ATM.

"Itu tidak bener Pak Sandiaga Uno. Kalau kripik tempe sih iya setipis kartu ATM. Kalau tempenya sih enggak seperti itu," sanggahnya.

Sejauh ini menurut Aip, pengrajin atau produsen tahu dan tempe belum menerima dampak langsung yang berat akibat melemahnya rupiah terhadap dolar AS. Sebab menurut Aip, harga kedelai dari importir langsung cenderung masih stabil, berada di kisaran Rp7.000 hingga Rp7.100 per kilogram. "Harga kedelai yang kami beli selama tiga bulan terakhir ini stabil saja," tuturnya.

Aip memperkirakan mengapa harga itu stabil. Menurutnya ialah karena perjalanan impor kedelai dari Amerika Serikat ke Indonesia memakan waktu yang panjang, sekitar 35 hingga 75 hari. Sehingga kurs yang dipakai bukan merupakan kurs saat ini.

"Begitu saya cari tahu kenapa harga kedelai enggak naik ternyata di AS harganya turun karena lagi panen. Jadi di AS tren harga kedelai turun, maka kami bisa menerima harga tetap, meski rupiah melemah," kata Aip.

Aip menjelaskan, sejauh ini kebutuhan kedelai nasional para pengrajin atau produsen tahu dan tempe 150 hingga 175 ribu ton per bulan. Jika dikalkulasi, dalam rentang setahun, kedelai yang mereka butuhkan antara 1,8 hingga 2 juta ton. "Kalau harga dolar naik tapi kalau harga kedelai masih bisa sama buat kami, itu enggak masalah," kata Aip.

Aip menghitung, biasanya untuk produksi 50 kilogram kedelai per hari ditambah biaya transportasi, minyak dan sebagainya, menelan biaya sekitar Rp600.000. Kemudian Aip menjual tempe produksinya di pasaran seharga Rp15.000 per kilogram. Harganya setiap setengah kilogram atau per papan Rp7.500.

"Ada untungnya Rp100.000 hingga 200.000 satu hari untuk 50 kilogram. Untungnya itu ya dipakai makan sehari-hari. Kalau produksi 20 kilogram [kedelai], untungnya jelas lebih sedikit. Tapi, pada umumnya, 80 persen produsen [tempe dan tahu] menggunakan kedelai per harinya 50 kilogram," jelas Aip.

Produsen Tempe UD Encas Gondrong Tempe Jasmuti mengaku harga kedelai sudah naik sejak sekitar dua hingga tiga bulan lalu. "Dari beberapa bulan lalu memang kacang kedelai naik. Naiknya kedelai lumayan tinggi dari Rp6.900 sampai Rp8.000 per kilogram sekarang," kata Jasmuti kepada reporter Tirto, Minggu (9/9/2018).

Meski begitu dia bersikukuh tak menaikkan banderol harga tempe hasil produksinya. Di Pasar Mencos Setiabudi, Jakarta Selatan tempat Jasmuti berjualan ia tetap mematok harga jual tempe Rp6.000 per papan.

Jasmuti khawatir jika harga jual dinaikkan barang produksinya tak laku. Agar bisa bertahan, Jasmuti menyiasatinya dengan mengurangi kandungan kedelai dalam tempe.

Tak pastinya nilai tukar rupiah sudah berulangkali Jasmuti rasakan. Dia sudah berulangkali rela keuntungannya terpangkas karena nilai tukar itu. "Penurunan keuntungan enggak saya kalkulasi yang penting upah, buat makan dan sebagainya cukup. Tapi saya enggak hitung-hitung, yang jelas berkurang," keluhnya.

Untuk memproduksi tempe, biaya bahan baku yang Jasmuti keluarkan per hari Rp400.000. Modal produksi sebanyak itu untuk membuat 50 kilogram tempe. Sedangkan harga kedelai saat ini, menurut Jasmuti Rp8.000 per kilogram.

"Itu belum termasuk biaya untuk tambahan, seperti plastik dan lain-lain," tutur Jasmuti di tempat pembuat tempe miliknya bilangan Petamburan, Jakarta Pusat.

Was-was Nilai Rupiah

Berdasarkan data yang diberikan Ketua Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Yusan kepada Tirto, diketahui bahwa harga rata-rata kedelai di Loko Gudang Importir Jakarta sejak Mei masih stabil. Kisaran harganya antara Rp7 ribu hingga Rp7.100 per kilogram. Hanya pada Juli tahun ini, harga kedelai turun menjadi Rp6.850 hingga Rp6.950 per kilogram.

"Harganya tidak banyak berubah. Apalagi pak menteri perdagangan [Enggartiasto Lukita] mengharapkan, usahakan janganlah menaikkan harga kedelai impor dari AS," ungkap Yusan kepada reporter Tirto, Minggu (9/9/2018).

Pengadaan stok dari seluruh importir nasional untuk kebutuhan kedelai nasional, kata Yusan sekitar 150-200 ribu ton per bulan. Jumlah tersebut khusus untuk tujuan pengolahan tahu dan tempe saja.

"Kami menjaga stok supaya aman bagi pengrajin agar tidak kehabisan. Seandainya harga internasional harus naik dengan kurs rupiah sedemikian lemahnya, ya tentu bagaimana supaya pengrajin ini bisa bekerja dan kami sediakan terus kedelainya, ada terus di pasaran produknya," jelasnya.

Meski begitu, kata Yusan, tetap ada kemungkinan harga kedelai akan naik drastis. Tentu jika kurs rupiah terus-menerus anjlok. Namun sekali lagi, Yusan berujar, pihaknya berkomitmen untuk jangan sampai ada kelangkaan bahan baku tahu dan tempe.

"Kalau melemahnya terlalu ekstrem sulit dibendung, tetapi seperti yang saya bilang tadi para importir itu menjamin ketersediaan kedelai di pasaran. Jadi selalu ada walaupun mungkin karena rupiah melemah, mau enggak mau terpaksa harganya juga jadi tinggi. Tapi yang penting barangnya ada, tidak pengurangan stok sama sekali," terangnya.

Yusan menuturkan, selama ini para importir kedelai di Indonesia mengambil pasokan dari AS. Kalau tujuan impor diubah maka tahu dan tempe akan kehilangan cita rasa khasnya.

Postur Tempe Tak Setipis ATM

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, memang pelemahan rupiah bisa berdampak langsung terhadap biaya bahan baku Usaha Kecil Menengah (UKM), khususnya di sektor makanan-minuman.

Tentu hal tersebut akan mempengaruhi harga jual. Pada sisi lain menurutnya, konsumsi rumah tangga saat ini sedang melambat di kisaran 5 persen.

"Kalau penjual tempe-tahu akan menaikkan harga jual barangnya, khawatir omzet anjlok [tidak laku]. Jika dalam posisi itu kerugian penjual tahu dan tempe bisa double, tak heran para penjual memilih strategi downsizing untuk tekan cost yaitu, mengecilkan ukuran tempe dan tahu," ujar Bhima kepada reporter Tirto, Minggu (9/9/2018).

Infografik Perkembangan impor kedelai indonesia

Saat reporter Tirto berkunjung ke Pasar Mencos Setiabudi dan Mampang di Jakarta Selatan, tempe-tempe masih nampak berukuran normal dengan harga yang belum meningkat.

Di Pasar Mencos Setiabudi, Jasmuti, produsen tempe menitipkan tempe produksinya dengan ukuran yang belum diubah. Meski Jasmuti mengaku telah mengurangi komponen kedelai dalam tempenya. Sedangkan Andi, 25 tahun, seorang pedagang tempe menjelaskan ukuran tempe yang dia jual tak berubah. Harganya pun tetap yaitu Rp6 ribu per kilogram.

"Harga tempe enggak naik. Kami enggak berani naikkan. Harga kedelai aja yang naik," ujar Andi.

Sedangkan pedagang tempe yang lain, Lilis, 54 tahun malah menjual harga tempe lebih murah daripada Andi. Ukuran tempe yang dia jual pun tak dikurangi.

"Harga Rp5 ribu itu per papannya. Enggak naik, udah lama segitu aja," ujar Lilis.

Baca juga artikel terkait NILAI RUPIAH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Dieqy Hasbi Widhana