Menuju konten utama

Yang Perlu Dilakukan Jokowi Agar Kenaikan Iuran BPJS Tak Sia-Sia

BPJS Watch menilai Jokowi memang sudah seharusnya mempertimbangkan kenaikan iuran BPJS. Namun, agar kenaikan tak sia-sia, pemerintah perlu membenahi fasilitas kesehatan.

Yang Perlu Dilakukan Jokowi Agar Kenaikan Iuran BPJS Tak Sia-Sia
Warga antre mengurus kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (30/7/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Presiden Joko Widodo menyetujui iuran BPJS Kesehatan harus naik demi menyelamatkan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini memang sudah lama ditunggu sebagai solusi defisit BPJS Kesehatan yang menahun.

Pada 2019 ini, defisit diproyeksikan menyentuh angka Rp28 triliun dengan rincian: pada 2019 senilai Rp19 triliun dan utang 2018 senilai Rp9,1 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengatakan tarif iuran ini akan segera di-review terutama mempertimbangkan besaran kenaikan bagi tiap golongannya.

“Kami harus review masalah tarif ini karena selain perbaikan sistem, salah satu fondasi penting juga adalah yang saya sampaikan keseimbangan antara berapa tarif yang harusnya dipungut untuk beberapa segmen masyarakat yang ikut BPJS,” ucap Sri Mulyani di kompleks Bank Indonesia, Selasa (30/7/2019).

Sri Mulyani mengatakan, selain kenaikan tarif ini, pemerintah meminta adanya perbaikan sistem dalam penyelanggaraan JKN.

Ia menyebut perlu ada pembenahan dari sisi akuntansi untuk mencatat mereka yang belum tertagih, fenomena over claim, sampai keseimbangan antara manfaat yang diberikan dengan iuran yang dibayarkan.

“Dari rapat itu disepakati supaya BPJS dan Kemenkes memperbaiki sel elemen penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan nasional kita,” kata Sri Mulyani.

Langkah Presiden Jokowi dalam mengatasi defisit BPJS ini memang agak lamban. Pada Oktober 2018 saja, misalnya, ia malah merasa tak harus bertanggung jawab atas defisit itu karena itu tugas menteri dan Dirut BPJS.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, pada Senin, 29 Juli 2019, mengatakan pemerintah belum mau menaikan iuran BPJS. Untuk mengatasi defisit ini, ia mengatakan masih akan diupayakan solusi lain untuk menekan pembiayaan, tetapi tetap menjaga standar pelayanan.

“Pemerintah masih bekerja bagaimana agar pelayanan masyarakat tidak berhenti, rumah sakit tetap melayani, dan keterlambatan bayar dapat ditempuh dengan supply chain financing. Itu yang kami rapatkan. Nanti akan ada rapat di tingkat menteri dan ke presiden lagi,” kata Fachmi seperti dikutip dari Antara.

Seberapa Besar Iuran Perlu Dinaikan?

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai pemerintah memang sudah seharusnya mempertimbangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sesuai amanat Perpres No. 28 Tahun 2018.

Iuran, kata Timboel, seharusnya sudah naik dari 2018 karena maksimal ditinjau dua tahun sekali sejak 2016. Namun, kenaikan di pertengahan 2019 tetap patut diapresiasi meskipun realisasinya terlambat dari waktu yang seharusnya di 2018.

“Jadi kalau defisit, ya penerimaannya ditingkatkan. Ditinjau paling lama 2 tahun itu ya pertimbangan inflasi dan artinya naik iurannya,” ucap Timboel saat dihubungi reporter Tirto, pada Selasa (30/7/2019).

Soal kenaikan ini, Timboel memiliki usulan formula hitung-hitungan agar defisit senilai Rp28 triliun itu bisa ditutupi. Pertama, Timboel menilai perlu ada kenaikan biaya Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Rp23.000 ke Rp30.000.

Menurut Timboel kenaikan Rp7 ribu untuk 96,8 juta PBI dan 40 juta penerima Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dapat menghasilkan tambahan penerimaan sekitar Rp11,4 triliun dalam setahun.

Langkah kedua, Timboel mengusulkan agar iuran mandiri kelas 2 dan 3 dinaikan meski tetap dalam batasan mempertimbangkan daya beli masyarakat. Kenaikan untuk kelas 2, kata dia, cukup Rp4.000 dari Rp51.000 ke Rp55.000 dan untuk kelas 3 cukup naik Rp1.500 dari Rp25.500 ke Rp27.000.

Ketiga, Timboel menyoroti peserta penerima upah untuk menaikkan batas gaji yang dikenakan pungutan 5 persen. Dari Rp8 juta ke Rp12 juta sehingga dapat menghasilkan kenaikan penerimaan Rp200 ribu per orang per bulan. Bila ada 1,5 juta orang saja yang bergaji di atas Rp12 juta, maka dalam setahun potensi kenaikannya sudah mencapai Rp3,6 triliun.

Keempat, kata Timboel, pemerintah perlu melakukan penegakan hukum bagi kepatuhan iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Sebab, saat ini jumlahnya hanya 14 juta peserta dari total pekerja 19 juta. Dengan kenaikan-kenaikan ini, Timboel yakin setidaknya defisit BPJS Kesehatan pada 2019 sudah bisa ditutup.

“Itu signifikan akan membantu JKN belum lagi dari cukai rokok sekitar Rp6 triliun per tahun,” kata Timboel.

Iuran Saja Tidak Cukup

Namun, agar kenaikan iuran ini tidak sia-sia, pemerintah dinilai perlu membenahi fasilitas kesehatan di tingkat puskesmas dan dokter keluarga.

Sebab, dikhawatirkan defisit tak kunjung dapat teratasi bila BPJS Kesehatan tak pintar mengelola pengeluaran yang 86 persen di antaranya didominasi klaim rumah sakit berupa Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs).

Apalagi dari data terakhir terdapat peningkatan rujukan pasien dari layanan kesehatan tingkat 1 (puskesmas dan klinik) yang mencapai 12,5 persen di 2017 menjadi 16,4 persen di 2018. Padahal idealnya angka ini harus di bawah 10 persen.

Timboel pun mendesak agar Jokowi membenahi terlebih dahulu ketersediaan dokter dan fasilitas kesehatan yang ia nilai masih minim. Menurut dia, jangan sampai ada daerah yang tidak memiliki dokter.

“Kita fokus ke puskesmas dan dokter keluarga berkualitas. Jadi sembuh di situ enggak dirujuk,” ucap Timboel.

Terkait ini, reporter Tirto sudah menghubungi Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi untuk konfirmasi. Namun, hingga artikel ini dirilis, Oscar belum meresponsnya.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz