Menuju konten utama

Yang Normal dan Ekstrem dalam Politik Jendela Overton

Membaca fenomena Trump dan Pilkada DKI 2017 melalui analisis Jendela Overton.

Yang Normal dan Ekstrem dalam Politik Jendela Overton
avatar pangeran siahaan

tirto.id - Donald Trump telah menggeser politik Amerika Serikat jauh ke kanan. Apa yang tadinya dianggap ekstrem dan tidak masuk akal, kini cenderung dianggap normal.

Bahkan seorang George W. Bush, yang dianggap neo-konservatif pun, agaknya tak pernah berpikir membangun tembok di perbatasan Meksiko dan meminta pemerintah Meksiko sendiri yang membangunnya. Atau, melarang warga dari tujuh negara muslim untuk memasuki Amerika. Belum lagi ambisinya menghapus Obamacare.

Sampai saat ini tiga kebijakan kontroversial itu dihadapi perlawanan serius. Konstruksi tembok besar Trump belum juga dimulai dan tentu saja presiden Meksiko menolak mentah-mentah mengeluarkan sepeser pun uang untuk mendanai program Trump tersebut. Kebijakan menghalangi warga dari tujuh negara mayoritas muslim juga ditentang banyak pejabat publik Amerika dan bahkan ditolak pengadilan federal. Janji menghapus Obamacare pun menemui jalan buntu setelah sebagian anggota partainya sendiri, Partai Republik, berontak dan menolak untuk mendukung undang-undang jaminan sosial yang baru.

Banyak media dan analis politik yang menggunakan Jendela Overton (The Overton Window) untuk menjelaskan apa yang dilakukan Trump.

Joseph Overton, ilmuwan politik libertarian, menganggap dalam setiap isu politik selalu ada spektrum solusi dan kebijakan yang dianggap normal dan mainstream. Ini yang kemudian disebut sebagai Jendela Overton. Solusi dan kebijakan politik di luar Jendela Overton, baik di kiri maupun di kanan, dianggap sebagai sesuatu yang ekstrem dan berbahaya.

Apa yang dianggap normal dan apa yang dianggap ekstrem tentu selalu berubah seiring zaman. Misalnya, pada masa lampau, Eropa menaruh harapan dan kekuatan besar kepada institusi agama dalam Jendela Overton, sedangkan menjadi ateis adalah sesuatu yang ekstrem. Di abad 21 rasanya kedua hal itu telah bertukar posisi.

Ada pra-anggapan bahwa yang paling mampu menarik kelompok massa paling besar adalah mereka yang berada di tengah—posisi yang sekaligus menjadi titik kompromi bagi semua kalangan. Overton menganggap penting bagi siapa pun yang ingin menarik dukungan publik untuk mengeluarkan wacana dalam Jendela Overton karena pemikiran yang berada di luar jendela hanya akan menarik segelintir orang, tak peduli betapa militannya mereka.

Owen Jones, penulis politik Inggris, dalam The Establishment (2014) menulis bagaimana kelompok politik konservatif di Britania Raya menjadikan Jendela Overton sebagai inspirasi yang jitu. Dengan menggeser jendela tersebut ke kanan, apa yang dianggap normal dan mainstream dengan sendirinya bergeser. Maka pelan-pelan mereka mulai mengapungkan pelbagai wacana liberalisme ekonomi dan politik seperti privatisasi lembaga negara dengan harapan hal seperti ini akan menjadi arus utama.

Meskipun begitu, cara Britania itu mulai ditantang pendekatan yang lain. Ada yang mempraktikkan cara baru bahwa untuk menggeser Jendela Overton bukan dengan mendorongnya pelan-pelan dari tengah ke pinggir, tapi dengan memposisikan berada sejauh mungkin dari tengah dan menarik Jendela Overton dari posisi yang jauh tersebut. Jika mengacu pada pola pikir ini, maka yang lebih efektif adalah mengeluarkan wacana-wacana ekstrem daripada mencetuskan ide-ide yang moderat.

Inilah yang dilakukan Trump dengan segala kegilaannya sejak proses Primary partai Republik hingga terpilih sebagai presiden. Trump membombardir seantero negeri dengan pelbagai gagasan ekstrem sehingga dengan sendirinya, meski tak serta merta gagasannya bisa diterapkan, Jendela Overton telah bergeser. Apa yang dianggap normal di era Trump tak lagi sama dari era sebelumnya.

Contoh sederhana: mendapatkan dukungan dan mempunyai relasi politik dengan Rusia terlihat sebagai hal biasa saja di era Trump. Sulit membayangkan hal seperti ini tidak menciptakan malapetaka politik di era George W. Bush sekalipun.

Meski Overton sejatinya adalah seorang pemikir kanan dan konsepnya banyak diaplikasikan oleh kalangan di spektrum tersebut, konsep Jendela Overton juga bisa saja dipraktikkan oleh mereka yang berada di sebelah kiri. Apa yang dilakukan self-proclaimed sosialis Bernie Sanders dengan wacana menggratiskan uang kuliah dan janjinya untuk mengontrol ketat Wall Street adalah upaya menggeser Jendela Overton ke sebelah kiri. Demikian juga dengan apa yang ingin dicapai oleh Jeremy Corbyn ketika terpilih menjadi pemimpin Partai Buruh di Britania Raya.

Pendeknya, menggeser Jendela Overton adalah upaya untuk meredefinisi apa yang dianggap normal dan mudah diterima. Harus diingat bahwa ini bukan perkara mana yang benar dan salah, melainkan perkara mana yang normal dan ekstrem.

Konsep Jendela Overton ini juga bisa dipakai untuk melihat Pilkada DKI 2017.

Kontestasi politik di Indonesia sejak 2014 cenderung mengerucut dan selama tiga tahun terakhir polarisasi kian sengit. Jika belum sampai pada tatanan ideologi, paling tidak ini terlihat pada bagaimana kandidat memposisikan diri, yang lantas diikuti para pendukungnya.

Saya tertarik menggunakan teori Overton sejak seorang calon gubernur secara terbuka menjalin hubungan dengan kelompok yang dulu dianggap ekstrem dan posisinya jelas jauh di luar Jendela Overton. Beberapa tahun lalu, tak akan terpikirkan oleh khalayak untuk melihat cagub tersebut didukung kelompok-kelompok yang jauh dari demografi politiknya yang cenderung moderat.

Langkah ini bisa dipahami sebagai usaha menggeser Jendela Overton ke kanan sehingga apa yang ia lakukan dianggap normal dan biasa saja. Ketika Jendela Overton telah bergeser, kesan yang muncul bukan sang cagub telah bergeser menjadi ekstrem, melainkan sesuatu yang normal dan wajar.

Karena salah satu pokok utama dalam konsep Overton adalah konsensus publik perihal normalitas isu tertentu, harus dikatakan sang cagub telah sukses, paling tidak sementara ini, menggeser jendela tersebut. Ini bisa dilihat dari banyaknya pendukung yang meredefinisi ulang apa yang mereka nilai sebagai sesuatu yang moderat dan bisa diterima. Ketika mereka yang di tengah telah bergandengan tangan dengan mereka yang di tepi, proses penggeseran jendela pun telah sukses.

Berlawanan dari anggapan banyak orang, saya pun menolak untuk mengatakan bahwa sang cagub telah menjadi ekstrem. Ia hanya telah mengkalibrasi ulang apa yang dianggap normal.

Turunan dari penggeseran jendela ini bisa terlihat pada perilaku pendukung. Politik identitas yang menguat dalam dua tahun terakhir terlihat jelas. Yang menguat, akhirnya, adalah sentimen kami vs kalian. Nasionalis melawan non-nasionalis. Pro-asing melawan anti-asing. Religius vs non-religius.

Ini menggantikan dikotomi lawas, yang memang sudah banyak dipersoalkan, antara santri dan abangan (yang merujuk tesis antropolog Clifford Geertz). Bergesernya Jendela Overton secara tak adil kerap menempatkan mereka yang abangan sebagai anti-agama. Jika kalian tidak sama dengan kami, kalian adalah anti-kami. Tidak ada posisi tengah. Padahal sebelumnya, abangan tidak pernah dianggap sebagai anti-agama, mereka hanya dianggap “kurang” religius dibanding yang religius.

Namun, seperti di tempat lain, Jendela Overton ini tidak hanya dimonopoli kelompok politik spektrum tertentu. Menggeser jendela ini juga dilakukan oleh cagub petahana. Isu penggusuran, misalnya, selalu menjadi salah satu isu yang sensitif karena sejarah panjangnya yang dekat dengan represi dan trauma rezim otoriter Orde Baru. Dalam banyak kasus, penggusuran kelompok masyarakat marjinal bisa dengan cepat dianggap sebagai kebijakan yang tidak pro-rakyat.

Berkat pelbagai kampanye dan kerja media, pemahaman ini bisa dan mulai berubah. Penggusuran pelan-pelan mulai diimbuhi dengan kesan sebagai kerja-kerja riil mengentaskan persoalan Jakarta. Tidak pernah terjadi sebelumnya bahwa (sebagian) masyarakat sipil mengafirmasi penggusuran sebagai usaha mengentaskan korban dari problem-problem laten banjir, lingkungan hidup yang kumuh, dll.

Seorang senior pernah berkata bahwa sesungguhnya politik Indonesia pasca-reformasi adalah politik yang sentris/tengah secara ideologi. Sehingga kita cenderung melihat satu partai dan satu kandidat tak berbeda dengan partai dan kandidat lawan. Gagasan yang terlalu kiri atau terlalu kanan tak akan menarik di Indonesia.

Mungkin benar demikian. Namun, dengan analisis Jendela Overton, bila posisi terlalu ke pinggir dianggap radikal, memang lebih baik untuk mengkalibrasi ulang apa yang dianggap tengah.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.