tirto.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI baru berlangsung tahun depan. Namun, hingar bingar politiknya sudah terjadi sejak sekarang. Menariknya, pilkada DKI Jakarta kini tak lagi membosankan. Penggeraknya bukan lagi orang-orang tua yang duduk di partai politik. Mereka yang vokal turun ke jalan, menggalang suara, mencari tokoh yang alternatif, adalah kaum muda. Muncul wajah-wajah segar di dunia perpolitikan.
Salah satunya adalah Teman Ahok. Gerakan ini didirikan pada 16 Juni 2015. Mulanya adalah gerakan kampanye kreatif untuk melawan isu begal APBD.
“Dulu pernah ramai pak Ahok mencoret mata anggaran APBD, lalu itu muncul lagi. Nah, kami, para pendiri Teman Ahok bertemu di sana,” jelas Amalia Ayuningtyas, koordinator Teman Ahok, dalam wawancaranya dengan tirto.id.
Teman Ahok sendiri bermula dari sebuah kampanye kreatif di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Gerakan politik di HBKB ini bahkan sempat dilarang oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Namun, kampanye ini terus berjalan secara organik, menyebar dari satu broadcast ke broadcast lainnya, menjadi viral, hingga akhirnya banyak yang terlibat.
“Setelah itu kami sering ketemu dan diskusi, gimana caranya agar Jakarta ini lebih baik. Kita lihat Ahok sukses membangun Jakarta, kali jadi bersih, macet terkurangi. Intinya kita ingin Ahok jadi Gubernur lagi. Gimana caranya? Kami dikompori senior kami di Jakarta Baru dulu, akhirnya kami membuat Teman Ahok. Tujuan kami menyiapkan kendaraan buat Ahok, karena Ahok tidak punya partai,” jelas Amalia.
Ada lima orang yang menjadi pemrakarsa Teman Ahok yakni Singgih Widiyastono, Aditya Yogi Prabowo, Muhammad Fathony, Richard Haris Purwasaputra, dan Amalia Ayuningtyas. Gerakan ini sukses menghimpun 1 juta suara, sehingga Ahok bisa melenggang sebagai calon Gubernur DKI dari jalur independen. Ahok sempat menegaskan tekadnya untuk berpartisipasi melalui jalur independen. Namun, belakangan, Ahok memutuskan untuk menggunakan jalur parpol, setelah didukung oleh PDIP. Meski demikian, Teman Ahok menyatakan tetap setia untuk menemani Ahok hingga menjadi DKI-1.
Setelah Teman Ahok, kini muncul pula “Jacklovers” yang merupakan singkatan dari “Jakarta Love Risma”. Ini meruoakan gerakan bersama masyarakat Jakarta untuk memanggil walikota Surabaya, Tri Rismaharini agar bersedia memimpin Ibu Kota Jakarta. JackLovers mengaku gerakan ini digawangi oleh relawan yang digagas oleh berbagai elemen masyarakat - ibu dan kaum perempuan, pemuda dan mahasiswa, wirausaha dan profesional, ulama dan cendekiawan, para pekerja seni, dan tak ketinggalan masyarakat marjinal yang terpinggirkan. Namun, dalam beberapa kesempatan, terlihat kaum muda yang bersuara vokal untuk gerakan ini.
Jauh sebelum Teman Ahok dan Jacklovers yang didukung kaum muda, ada Ridwan Kamil di Bandung yang selain didukung mesin partai, juga disokong anak-anak muda yang antusias memenangkannya jadi walikota Bandung pada 2013.
Tapi kasus Ridwan Kamil atau Emil di Bandung lain dengan yang terjadi sekarang di Jakarta. Emil di Bandung memimpin sendiri kelompok pemuda yang mendukungnya saat pemilihan walikota. Di Jakarta hari ini, Teman Ahok muncul dari bawah. Mereka menginisiasi kelompok pendukung Ahok, bahkan berani menekan Basuki Tjahaja Purnama untuk maju ke kancah pilgub tanpa dukungan partai. Hasilnya memang cukup signifikan, meski kemudian Ahok memilih maju menggunakan mesin parpol.
Jika melihat tipologi pemilih Gubernur Jakarta berdasar usia, Teman Ahok yang diinisiasi anak-anak muda ini bisa memuluskan kemenangan sang petahana. Sebanyak 44,78 persen dari sekitar 7,4 juta penduduk yang berkemungkinan memilih di DKI Jakarta ada dalam kategori generasi Millenial.
Seluruh penduduk DKI saat ini lebih dari 10 juta jiwa, dan potensi pemilih mencakup 74 persen dari jumlah itu. Di bawah jumlah calon pemilih generasi Milenial, ada sekitar 40,64 persen yang masuk tipologi generasi X. Sisanya adalah calon pemilih generasi Baby Boomers, sebanyak 14,58 persen.
Generasi Milenial atau Generasi Y adalah mereka yang lahir pada awal 1980-an hingga 2000-an. Di antara banyak karakternya yang lain, generasi ini punya satu kekhasan yang menonjol, yakni penggunaan media sosial.
Dari artikel “Memahami Generasi Galau”, didapat bahwa dalam kelompok umur 18 hingga 29 tahun, ada sekitar 75 persen pengguna media sosial. Angka ini jelas jauh lebih besar dibanding pengguna media sosial yang ada dalam generasi X (rentang umur 30-45 tahun) yang hanya sekitar 50 persen. Generasi Milenial tak sekadar mempunyai akun, tetapi juga rajin mengunjungi situs-situs itu.
Sebanyak 29 persen di antara para Milenial ini mengecek medsos beberapa kali dalam sehari, sedangkan 26 persennya membuka medsos mereka setidaknya sekali dalam sehari. Ada juga yang lebih jarang. Ada 20 persen yang melongok akunnya sekali dalam beberapa hari. Tapi bahkan yang paling tak akrab medsos pun tetap membuka akunnya setidaknya seminggu sekali. Yang terakhir ini ada 25 persen jumlahnya.
Dengan data itu, dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah wahana kampanye paling strategis bagi pemilih generasi Milenial. Belum lagi jika kita menilik bahwa Jakarta merupakan salah satu ibukota media sosial di dunia.
Pada 2012, situs socialmemos.com merilis data tentang penggunaan media sosial, terutama Twitter di Jakarta. Ibukota Indonesia ini adalah kota terbesar kedua di Facebook setelah Bangkok, dengan jumlah akun lebih dari 11 juta.
Data pengguna Twitter lain lagi. Pada tahun yang sama, situs semiocast.com juga mengumumkan penelitian tentang penggunaan Twitter di dunia. Meski Indonesia berada di urutan ke-5 dalam daftar negara dengan akun Twitter terbanyak, posisi Jakarta dalam jumlah cuitan berdasar kota, rankingnya lebih fenomenal. Pada 2012, Jakarta menjadi kota paling cerewet di Twitterland, sedangkan Bandung menduduki peringkat ke-6.
Bagaimana kesiapan orang-orang yang namanya ada dalam bursa pilgub di media sosial? Ahok dengan akun @basuki_btp memiliki jumlah pengikut terbanyak hingga 5,35 juta. Menurut data per 1 Agustus 2016 pukul 9.30 WIB, Risma dengan akun @Tri_Rismaharini tercatat baru memiliki 16,8 ribu pengikut, sementara Sandiaga Uno @Sandiuno baru 379 ribu pengikut, dan Yusril dengan akun @Yusrilihza_Mhd dengan 966 ribu pengikut. Sementara Teman Ahok sudah memiliki pengikut 79,5 ribu.
Dari Facebook like per 1 Agustus, Ahok mendapatkan 1,1 juta likes, Sandiaga Uno 182 ribu likes, Yusril Ihza Mahendra 41,5 ribu likes.
Di sinilah Ahok memiliki kekuatan lebih besar dibanding yang lain. Corongnya di lapangan yang terdiri dari muda-mudi di awal usia 20-an bisa secara langsung menarik minat pemilih sebayanya. Mereka paham strategi kampanye online di kanal-kanal media sosial, juga berjaga di ranah offline dengan mendirikan stan-stan Teman Ahok di banyak mal.
Saat nama-nama di bursa pencalonan gubernur yang lain belum melakukan kerja lapangan apa-apa, anak-anak muda ini sudah bergerak dan mengisi celengan tenaga Ahok untuk pemilihan gubernur tahun depan. Mereka bekerja diselingi taruhan mentraktir teman, bukan dengan rapat-rapat menegangkan di kantor partai.
Peta politik sendiri mungkin sedikit berubah setelah Ahok memilih jalur parpol untuk maju. Namun, sebagian anak-anak muda yang tergabung dalam Teman Ahok menyatakan tetap setia untuk mengawal Ahok. Ini karena mereka sekarang lebih peduli dengan kondisi perpolitikan di tanah air.
“Kita memang melihatnya politik itu seolah jauh dari anak muda, politik itu ada di sana, jauh. Selain itu kotor, lumpur, jorok, tidak bisa dibenerin lagi. Tapi masak kita hanya mau nunggu momen lima tahunan, itu harus lewat partai, padahal kami tidak ada yang punya background partai. Karena itu harus ada saluran lain. Kita bisa bikin gerakan independen,” kata Amalia.
Terlepas dari keputusan Ahok untuk maju via jalur parpol, kerja keras Amalia dan kawan-kawannya patut diapresiasi. Mereka memberikan nuansa baru sehingga ada nuansa kesegaran dalam dunia perpolitikan. Apapun hasilnya, kiprah kaum muda inilah yang nantinya akan menentukan negara.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti