tirto.id - Mendung sedikit menggelayut di atas langit Yogyakarta. Waktu itu sudah hampir jam 11.00. Suasana sepi masih meliputi Lapangan Minggiran, lapangan umum yang terletak di sisi selatan kota Yogyakarta. Di sisi timur lapangan, beberapa orang sedang berkumpul.
Mereka mengerumuni beberapa orang yang tengah berlatih panahan. Belasan meter di seberang lapangan, sasaran-sasaran panah tampak ditegakkan. Dalam waktu singkat beberapa atlet mulai merentangkan busurnya.
Jlebb!! Sasaran-sasaran di seberang lapangan pun perlahan dipenuhi panah-panah yang menancap.
Seorang pelatih tampak serius mengawasi latihan sambil sesekali menyapa dan bercanda dengan atlet-atlet yang sedang menunggu giliran memanah. Namanya Sriyono. Tak lama kemudian, beberapa atlet baru datang. Dengan sumringah, mereka menghampiri Sriyono dan mencium tangannya. Sriyono tersenyum dan meminta mereka bersiap-siap memulai latihan.
Mereka adalah atlet panahan anggota National Paralympic Comittee (NPC) Yogyakarta yang tengah menjalani latihan rutin. Sebagai penyandang disabilitas, mereka harus menggunakan kursi roda saat berlatih. Namun hal itu sama sekali tidak mengurangi semangat mereka dalam berlatih.
“Biasanya latihan bisa sampai empat kali seminggu: Senin, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Tempatnya bisa di sini [Lapangan Minggiran], lapangan UNY [Universitas Negeri Yogyakarta], dan UNY cabang Wates,” jelas Sriyono kepada tirto.id.
Atlet-atlet panahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini tengah menyiapkan diri untuk mengikuti Peparnas (Pekan Paralimpiade Nasional) 2016 yang berlangsung Oktober mendatang di Jawa Barat.
Ditemui dalam kesempatan berbeda, Hariyanto, Ketua Umum NPC (National Paralympic Committee) DIY mengungkapkan, DIY mempersiapkan 100 atlet untuk dikirim ke Peparnas 2016.
“Ikut sepuluh cabang dari 13 cabang yang dipertandingkan. Kami ikut atletik, angkat berat, bulu tangkis, catur, goalball, panahan, renang, tenis meja, tenis kursi roda, dan voli duduk. Yang tidak ikut judo tunanetra, sepakbola cerebral palsi, dan bowling,” urainya kepada tirto.id.
Hariyanto menuturkan, NPC DIY sudah mempersiapkan para atlet sejak April lalu. Ia mengaku dana yang disiapkan untuk menghadapi Peparnas 2016 mencapai angka 3 miliar rupiah.
Anissa adalah salah satu atlet yang dipersiapkan oleh NPC DIY. Mahasiswi semester satu di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa Yogyakarta ini mengaku baru empat bulan berlatih panahan bersama NPC. Namun, hal ini tidak menghalanginya untuk memasang target tinggi.
“Insya Allah saya ingin jadi juara satu!” ujarnya optimis. Hari itu Anissa, yang mobilitas kakinya terganggu sejak lahir, tampak sangat bersemangat. Bahkan wawancara pun dilakukan saat ia melakukan pemanasan.
“Dua bulan dia sudah nggak kuliah karena fokus untuk lomba, mau ikut Peparnas nanti bulan Oktober. Kuliah libur dulu untuk latihan, biar bisa mencapai target 50 meter, sekarang baru mencapai 30 meter”, kata Sriyono.
Disabilitas Tak Halangi Prestasi
Sriyono mengaku keikutsertaan cabang olahraga panahan dalam Peparnas 2016 mengalami peningkatan. Dalam Peparnas 2012, DIY hanya mengirimkan tujuh atlet panahan, sedangkan pada Peparnas 2016, sejumlah 13 pemanah sudah disiapkan oleh provinsi ini.
“Untuk cabang ini ada dua pelatih, saya dan pak Joko Lelono. Masih ada satu pendamping lagi yaitu mbak Ika Septi Kurniawati. Dia atlet juga, sekarang baru ke Malaysia, mewakili UNY di kompetisi antar mahasiswa di luar negeri,” ujar Sriyono.
Sayangnya, Peparnas adalah satu-satunya kompetisi yang tersedia bagi para penyandang disabilitas untuk mengasah pengalaman bertanding mereka. Ajang-ajang lain yang tersedia seringkali hanya bersifat invitasi semata. “Secara khusus panahan belum ada kompetisi, kalau reguler itu kan ada PON, jadi belum bisa memetakan lawan,” keluhnya.
Keterbatasan kompetisi tak serta merta membuat para atlet minim prestasi. Provinsi DIY sejauh ini cukup mampu berbicara di pentas Peparnas.
“Di Riau [Peparnas 2012] dapat 10 emas di posisi peringkat ke 13, harapannya kami minimal bisa mempertahankan itu di tengah kondisi kami yang sedang dalam proses pembenahan organisasi dan lain sebagainya,” ujar Hariyanto.
Secara umum, prestasi atlet-atlet penyandang disabilitas Indonesia di tingkat regional maupun dunia cukup bisa dibanggakan. Bahkan, prestasi mereka bisa dibilang tidak kalah jauh dibandingkan para atlet yang tidak menyandang disabilitas.
Kontingen Indonesia bahkan mampu menyabet predikat juara umum pada ASEAN Para Games 2014 di Myanmar. Saat itu, kontingen Merah Putih berhasil mengumpulkan 99 medali emas, 69 perak, dan 49 perunggu.
Perolehan itu unggul tipis dibandingkan Thailand di posisi kedua yang mengumpulkan 96 emas, 82 perak dan 70 perunggu. Hasil ini bahkan lebih baik dibandingkan kontingen Indonesia di SEA Games Myanmar 2013 yang tercecer di peringkat keempat.
Cabang tenis meja menjadi sektor yang paling banyak menyumbangkan medali dengan merebut 16 medali emas—3 di antaranya disumbangkan oleh David Jacobs. David sebelumnya juga menjadi satu-satunya atlet Indonesia yang berhasil menyumbangkan medali di Paralimpiade London 2012.
Prestasi Indonesia di ASEAN Para Games 2014 jauh meningkat dibandingkan ajang sebelumnya di Solo pada 2011. Saat itu, Indonesia yang bertindak sebagai tuan rumah hanya mampu menduduki posisi kedua di bawah Thailand. Sayangnya, pada gelaran berikutnya, ASEAN Para Games Singapura 2015, Indonesia harus mengakui keunggulan Thailand yang kembali menjadi juara umum dan puas di posisi kedua.
Prestasi Indonesia di Paralimpiade, olimpiade khusus bagi penyandang disabilitas, juga cukup membanggakan.
Sepanjang 40 tahun keikutsertaannya di Paralimpiade antara 1976 sampai 2016, Indonesia sudah meraih 16 medali yang terdiri dari empat medali emas, tiga perak, dan sembilan perunggu. Sebagai perbandingan, Indonesia mengumpulkan 30 medali selama 61 tahun keikutsertaannya di Olimpiade antara 1955 sampai 2016.
Pada keikutsertaan pertama di Paralimpiade Toronto 1976, kontingen Indonesia bahkan langsung bisa meraih medali. Tak tanggung-tanggung, dalam debutnya itu, Indonesia sukses menyabet dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu. Bandingkan dengan catatan Indonesia di Olimpiade yang baru berhasil meraih medali pertama pada Olimpiade Seoul 1992 lewat perak dari para pemanah putri. Sementara itu, emas olimpiade pertama Indonesia baru berhasil disabet pada Olimpiade Barcelona 1992 lewat cabang bulutangkis.
Atlet-atlet penyandang disabilitas Indonesia juga cukup disegani di level internasional. Selain David Jacobs di tenis meja, atlet lainnya yang menorehkan nama di percaturan olahraga internasional adalah Christian H. Sitompul dan Stephanie Handojo.
Christian Sitompul—anak dari politisi Ruhut Sitompul dan Ana Legawati—tercatat sebagai pemegang medali emas Olimpiade Tunagrahita Dunia di Yunani pada 2011. Christian meraihnya pada nomor renang gaya bebas 50 meter.
Stephanie Handojo juga tidak kalah unggul. Perempuan kelahiran Surabaya ini berhasil meraih emas pada Special Olympics Summer Games 2011 di cabang renang nomor 50 meter gaya dada. Prestasi ini membuat Stephanie dipercaya sebagai salah satu pembawa obor Olimpiade London 2012.
Berbagai Kendala Masih Menghadang
Olahraga boleh jadi merupakan bidang yang selalu jadi andalan Indonesia untuk membanggakan dirinya di mata dunia. Namun, masalah klasik selalu muncul jadi kendala: kurangnya perhatian dari pemerintah. Hal ini juga terjadi di olahraga khusus disabilitas. Demi meningkatkan prestasi dan menjaga performa, mereka yang berkecimpung di dunia ini harus selalu mengandalkan inisiatif pribadi.
Anissa mengaku, dirinya harus merogoh kocek pribadi untuk membeli peralatan panahan yang harganya cukup mahal. Selain itu, dari sisi pembinaan, Sriyono juga harus turun langsung untuk mencari bibit-bibit atlet unggul.
“[Memperkenalkan panahan] dari teman ke teman, selaku pelatih saya juga jemput bola kalau kira-kira disabilitas yang badannya tegap dan kuat saya jemput,” ujar Sriyono. “[Infrastruktur pendukung penyandang disabilitas] masih perlu ditingkatkan, masih banyak pemanah itu peralatannya mandiri. Jadi perlu bantuan dari pemerintah. Yang belum saya lakukan itu [mengusahakan] akses [transportasi/mobilitas] untuk disabilitas, seperti tangga, kursi roda dan lain-lain,” imbuhnya.
Di sisi lain, Hariyanto mengaku bahwa pemerintah era Joko Widodo mulai menaruh perhatian kepada atlet penyandang disabilitas.
“Yang kelihatan sekali itu adalah teman-teman yang masuk pelatnas itu fasilitasnya sama dengan atlet yang non-difabel. Dulu kan masih ada ketimpangan, tetapi sekarang Pemerintah sudah mulai memperhatikan, malah bisa dikatakan sama hak-haknya dengan olahragawan-olahragawan nasional yang berada di bawah kepengurusan Kemenpora,” jelasnya.
Kendala tidak hanya muncul dari sisi pendanaan dan infrastruktur saja. Persoalan psikologis yang dialami para penyandang disabilitas dan keluarganya juga kerap menjadi penghambat.
“Masalahnya orangtuanya ada yang malu, jadi kalau anaknya disabilitas dilarang keluar, ada yang begitu, hambatannya seperti itu. Sebetulnya dia berpotensi untuk mengikuti olahraga disabilitas tapi faktor orangtuanya kurang mendukung,” papar Sriyono.
Ia sendiri memiliki beberapa kriteria dalam merekrut atlet. “Di antaranya fisik, motivasi, dan dukungan orang tua. Jadi untuk pengajuan atlet itu 60 persen harus di dukung oleh orangtua. Dukungan orangtua itu sangat penting. Kalau yang sudah berkeluarga, keluarganya harus setuju dulu,” urai Sriyono.
Kita tunggu aksi dan prestasi kawan-kawan atlet penyandang disabilitas di masa mendatang!
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani