tirto.id - Duo raksasa produsen sepeda motor PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (Yamaha) dan PT Astra Honda Motor (Honda) tak terima terhadap keputusan KPPU soal perkara kartel motor skutik yang diketok 20 Februari lalu. Bukti yang dimiliki KPPU dianggap lemah untuk bisa menyimpulkan adanya kartel harga motor skutik.
Dalam perkara yang sudah diendus KPPU sejak 2014 ini, terdapat tiga bukti yang dipakai KPPU untuk memberatkan Yamaha dan Honda, antara lain ada pertemuan petinggi Honda dan Yamaha di lapangan golf, adanya surat elektronik atau email tanggal 28 April 2014, dan 10 Januari 2015.
KPPU dalam fakta persidangan mengungkapkan kiriman email pada 10 Januari 2015 merupakan surat yang dikirimkan oleh Yutaka Terada selaku Direktur Marketing Terlapor I dengan menggunakan alamat email teradayu@yamaha-motor.co.id dan email yang dikirimkan kepada Dyonisius Beti sebagai Vice President Direktur Yamaha. Bagi KPPU, email ini secara sah merupakan komunikasi resmi yang dilakukan antar pejabat tinggi di Yamaha.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, email 28 April 2014 dan 10 Januari 2015 menjadi bukti adanya dugaan kesepakatan antara Yamaha dan Honda melakukan kesepakatan harga motor skutik. Pelaku usaha secara tegas dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
“Mengingat kapasitas pengirim dan penerima email serta media yang digunakan yaitu email resmi perusahaan, maka kami tidak serta merta untuk mengabaikan fakta tersebut sebagai alat bukti,” ujar Syarkawi dikutip dari laman resmi KPPU.
Yamaha dan Honda Mempertanyakan
Kuasa hukum Yamaha, Rikrik Rizkiyana menegaskan KPPU tidak bisa menjerat kliennya dengan Pasal 5 Ayat 1 UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bukti yang dipaparkan selama persidangan dinilai tidak kuat untuk menjatuhkan vonis kartel.
Rikrik mengeluhkan, KPPU menggunakan bukti kartel hanya karena ada pertemuan dengan petinggi Yamaha dan Honda di lapangan golf dan salinan email yang dikirimkan di kalangan internal Yamaha.
“Hak evidence itu mesti ada. Bukti yang kuat adanya kesepakatan itu harus ada, karena itu yang paling esensi,” ucap Rikrik kepada Tirto, usai acara talkshow bertajuk “Benarkah Yamaha dan Honda Melakukan Kartel?” di Jakarta.
Suara tidak puas terhadap putusan KPPU sudah muncul saat putusan KPPU pada Senin (20/2/2017). General Manager of Corporate Secretary & Legal PT Astra Honda Motor Andi Hartanto kala itu sudah mempertimbangkan upaya-upaya hukum lain setelah keputusan KPPU. “Ini kan bukan hasil final. Ini hanya pendapat mereka (KPPU), diselidiki oleh mereka, lantas diputuskan sendiri (oleh mereka). Meskipun denda yang kami terima lebih ringan 10%, tapi kami belum puas,” kata Andi.
Setali tiga uang dengan Honda dan Yamaha, Ahli Hukum Bisnis, Hukum Persaingan Usaha, Merger dan akuisisi, Dr. Jur. Udin Silalahi mengatakan bukti-bukti yang dihadirkan KPPU tidak kuat. KPPU memang menjerat Honda dan Yamaha mengacu pada pasal 5 ayat 1 UU No 5 tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama."
“Pasal 5 itu memerlukan bukti langsung. Untuk itu bukti ketemuan di lapangan dan email, tidak cukup. Di pengadilan kita, atau di Undang-Undang tidak cukup itu sebagai alat bukti,” ujar salah satu dosen hukum UPH ini.
Salinan email yang dijadikan bukti, menurutnya tidak valid. Alasannya, di email yang jadi bukti KPPU tersebut tidak ada perjanjian antara kedua belah pihak yakni antara Honda dan Yamaha, sehingga tidak cocok untuk dijadikan bukti.
Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Gunadi Sindhuwinata juga sempat mempertanyakan tiga barang bukti yang dijadikan dasar putusan oleh KPPU. Gunadi menegaskan bukti KPPU tak otomatis membuktikan adanya persekongkolan harga.
"Memang betul ada tiga bukti itu, memang ada pertemuan di lapangan golf, juga ada email, tetapi apakah bukti itu memenuhi unsur persekongkolan pengaturan yang melawan UU Persaingan Usaha, saya pikir tidak. Tidak bisa dengan demikian saja dikatakan pelanggaran," kata Gunadi dikutip dari Antara.
Selama ini alat bukti langsung yang berisi perjanjian antara pelaku usaha memang sulit dibuktikan KPPU. Ini karena para pelaku usaha tidak selalu menuangkan mentah-mentah perjanjian di atas kertas bertandatangan dan berstempel.
Dalam upaya menjerat kartel di tengah-tengah ketidakmungkinan menemukan hard evidence itulah, muncul sebuah evolusi pembuktian bernama indirect evidence. Syarkawi mengakui bahwa bukti tidak langsung ini kerap dilemahkan pengadilan. Bentuk indirect evidence, terdiri atas bukti komunikasi dan bukti analisa ekonomi. Bukti tak langsung tak sedikit dimentahkan oleh pengadilan.
Catatan KPPU, selama 2002-2015, ada129 perkara KPPU yang disidangkan di Pengadilan Negeri, hasilnya ada 74 perkara atau 57% dimenangkan KPPU, sisanya 55 perkara atau 43% dimenangkan oleh pihak terlapor yang keberatan dengan putusan KPPU. Untuk perkara yang sampai di MA, dari 110 perkara sebanyak 80 perkara atau 73% dimenangkan oleh KPPU, sisanya 30 perkara atau 27% dimenenagkan pihak yang keberatan.
Apapun perdebatan ini, Yamaha dan Honda punya hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap keputusan KPPU atau bahkan kasasi hingga ke MA. Kita tunggu saja, apakah kasus kartel ini akan berpihak kepada dua raksasa Honda dan Yamaha, atau KPPU selaku wasit persaingan usaha.