tirto.id - Pemerintah Indonesia terus menerus membatasi kedatangan warga negara asing (WNA) ke tanah Papua. Pembatasan ini bukan kali pertama lantaran sudah sejak lama akses warga asing datang ke Papua selalu dihalangi.
Pembatasan terbaru dikatakan Menko Polhukam Wiranto. Dalih yang ia pakai adalah karena tidak mau "menimbulkan permasalahan baru" dan karena pemerintah tak bisa membedakan antara wisatawan asing dan provokator asing.
"Sebentar saja kami akan membatasi. Membatasi itu bukan berarti tidak (boleh berkunjung) sama sekali, tentu ada filter tertentu yang berhubungan dengan masalah keamanan, keselamatan dan sebagainya," kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (3/9/2019).
Bekas Panglima TNI itu tak menjelaskan lebih detail soal mekanisme pembatasan ini. Ia hanya berkata para pendatang asing bisa jadi "menimbulkan persoalan baru" semisal jadi korban jika berkunjung dalam keadaan rusuh di Papua dan Papua Barat.
"Kami melarang bukan semata-mata membatasi ruang gerak orang asing, tapi melindungi orang asing supaya tidak menjadi korban," sambung Wiranto.
Ia mengklaim aparat nantinya tak mau kesulitan membedakan mana WNA perusuh atau wisatawan. "Tidak bisa dibedakan, mukanya sama saja," ucap Wiranto.
Sudah Sejak Lama
Apa yang dilakukan Wiranto sebenarnya bukan barang baru. Pembatasan yang dikenal sebagai istilah clearing house terjadi sejak 1967. Presiden Joko Widodo sebenarnya pernah berkata prosedur itu dihapus saat ia menghadiri panen raya di Merauke pada 10 Mei 2015.
Namun, pernyataan Jokowi itu tanpa komitmen tertulis dalam bentuk instruksi presiden, misalnya.
Contoh pernyataan Jokowi sebatas ucapan manis adaah kasus yang menimpa Rebecca Alice Henschke, saat itu Kepala Biro BBC Indonesia, pada Februari 2018.
Kala itu Rebecca berangkat ke Papua dengan mengantongi izin, tapi dipaksa pulang ke Jakarta saat meliput Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat. Sebelum pulang, ia bahkan sempat diperiksa intelijen TNI dan polisi selama lima jam tanpa henti.
Kasus serupa dialami mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik. Ia menerima protes dari sejumlah orang lantaran mencuit kondisi Papua.
Kala itu Moazzam melawat ke Papua pada November 2017 dan berkata: "Selama perjalanan ke Papua, kami menyewa 12 mobil. Tidak ada satu pun sopirnya yang asli Papua. Apakah mereka berhak mendapatkan pekerjaan?"
Kasus lain: Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, koresponden untuk televisi dwibahasa Perancis-Jerman Arte TV, yang ditahan polisi di Wamena padaAgustus 2014 dengan tuduhan "subversif" saat menggarap film dokumenter. Dua bulan berselang, keduanya baru dibebaskan. Sementara narasumber mereka, Areki Wanimbo, dipenjara 8 bulan dan keluarganya diintimidasi.
Untuk Menutupi Pelanggaran Selanjutnya?
Andreas Harsono, pemerhati masalah Papua sekaligus peneliti dari Human Rights Watch, mempersoalkan pernyataan Wiranto. Menurut dia, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia melanggar prinsip Johannesburg.
"Satu daerah boleh ditutup tapi dengan waktu terbatas dan tujuan yang jelas. Papua ditutup lebih dari 50 tahun," ucap Andreas kepada reporter Tirto, Rabu (4/9/2019).
Andreas berkata Papua semestinya diperlakukan seperti provinsi lain.
Pendapat serupa diucapkan Feri Kusuma, Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Menurut Feri, pemerintah seharusnya tak perlu membatasi akses ke Papua jika penanganan konflik di Papua dilakukan sesuai prinsip hukum dan HAM.
"Pembatasan akses bisa dilihat sebagai salah satu cara untuk menutupi fakta apa yang terjadi di Papua," ujar Feri.
Cara-cara pembatasan WNA atau jurnalis asing ke Papua adalah cara manipulatif, menurut Feri. Pemerintah seolah ingin membuat citra positif di mata internasional tapi menutupi fakta atas banyak kasus kekerasan di Papua dan Papua Barat, tambahnya.
Feri menyebut pernyataan Wiranto tak beralasan. Ia khawatir pembatasan akses dan penutupan informasi tentang Papua malah tidak menyelesaikan masalah kemanusiaan di Papua.
Penanganan masalah pemerintah Indonesia terhadap Papua, ujar Feri, adalah versi lama: Melakukan operasi, main tangkap sembarangan, membatasi akses internet.
"Itu seperti zaman Orde Baru. Mereka mereproduksi cara itu lagi."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Mufti Sholih