tirto.id - Setiap pulang dari luar kota, biasanya bapak membawa satu dari dua jenis oleh-oleh: dodol Garut atau wingko babat. Dua kudapan ini sekaligus menjadi tanda untuk menelisik sejauh mana bapak pergi. Jika yang dibawa pulang adalah dodol Garut, artinya perjalanannya sampai luar Jawa Tengah. Namun jika membawa wingko babat, maka radius perginya tak jauh dari wilayah Karisidenan Kedu.
Ini mirip-mirip ketika saya mencoba tahu isi kantong bapak lewat jenis rokok yang ia hisap. Jika Djarum Filter, maka kantongnya lagi tebal. Kalau Cap Djeruk, saya takut mendekat. Bisa kena damprat, karena kantongnya lagi cekak.
Dari dua jenis oleh-oleh bawaan bapak, saya suka sekali dengan wingko babat. Kudapan yang dipercaya berasal dari desa Babat di Lamongan, Jawa Timur, ini memadukan parutan kelapa, tepung beras ketan, dan gula, memberikan sensasi krenyes di mulut, dengan aroma wangi khas yang misterius. Saya lupa merek yang biasa bapak bawa, tapi saya ingat ada gambar lokomotif kereta api di bungkus kertasnya. Wingko babat dengan kemasan seperti itu juga gampang ditemukan di stasiun kereta api Kutoarjo, terminal Magelang, dan Purworejo.
Tidak semua wingko babat yang dibawa pulang bapak dalam kondisi bagus. Beliau pernah sial ketika suatu hari wingko babat bawaannya ternyata sudah berjamur dan beraroma tengik. Alasan bapak: kasihan melihat pedagang yang memelas. Akhirnya bapak membeli wingko babat tanpa melihat tanggal kadaluarsa.
Saya sendiri sudah lama tak mengunyah wingko babat dengan kemasan gambar lokomotif kereta api yang jamak ditemukan di Semarang dan sekitarnya itu. Suatu kali, saya pernah menemukan wingko babat yang mirip, tapi sayang bungkusnya hanya berbalut plastik polos, rasa dan aromanya pun berbeda dengan wingko babat yang sering saya makan dulu.
Perjalanan Sejarah Wingko Babat
Wingko babat punya satu tokoh sentral: Loe Soe Siang.
Pada 1898, Loe Soe Siang yang merantau dari Cina, memutuskan untuk menetap di desa Babat, Lamongan, Jawa Timur. Di sana, dia membuat kudapan yang dikenal dengan nama wingko. Ini adalah kudapan perpaduan dua kultur kuliner. Beras ketan identik dengan kuliner Cina, dan kelapa merupakan bahan khas Nusantara.
Soe Siang punya dua anak: Loe Lan Ing dan Loe Lan Hwa, yang membantu sang ayah dengan menjajakan wingko. Dua anak ini kemudian melanjutkan tradisi wingko dari ayahnya, dari dua kawasan berbeda.
Loe Lan Ing memilih menetap di Babat dan memakai namanya sebagai merek. Slogannya: Lunak, Lezat, Istimewa (LLI). Singkatan yang sama seperti inisial namanya. Belakangan, slogan itu jadi identitas merek. Alasannya, tak lain tak bukan, karena Ketetapan MPR Sementara (MPRS) No. 32 Tahun 1966 melarang penggunaan aksara atau bahasa Cina untuk media massa, baik untuk nama perusahaan maupun nama usaha atau toko. Meskipun peraturan diskriminatif itu sudah tak lagi dipakai, merek LLI masih dipertahankan sampai sekarang, dan masih menjadi merek top of mind jika membicarakan wingko babat.
Berbeda dengan saudaranya, Loe Lan Hwa dan suaminya, The Ek Tjong (D.Mulyono), memutuskan pindah ke Semarang pada 1944 sebagai dampak dari Perang Dunia II.
Di Semarang, sang suami mendapat pekerjaan di kereta api jurusan Stasiun Tawang, Semarang-Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Kemudian, Loe Lan Hwa berusaha mencari tambahan penghasilan dengan menjual wingko babat dari resep turun temurun dari sang ayah.
Dalam jurnal “Intangible Conservation: Keberadaan Wingko Babat Kuliner Khas Semarang Tahun 1946-2019”, dijelaskan bahwa Loe Lan Hwa berpikir untuk memberikan cap atau merek untuk wingko babat buatannya. Akhirnya dipilihlah merek “Cap Kereta Api”. Ide dan logonya didapat dari gambar sampul buku menu yang disediakan di kereta makan. Sementara, ilustrasi kereta api yang dibuat dalam kemasan wingkonya merupakan pilihan suaminya.
Wingko babat Cap Kereta Api pun akhirnya terkenal, dan banyak dikenal orang sebagai kudapan khas Semarang.
Wingko dan Lambang Kecepatan
Sejak wingko babat Cap Kereta Api makin terkenal, banyak yang berusaha jadi epigon dengan membuat kemasan semirip mungkin dengan buatan Loe Lan Hwa dan Mulyono. Agar konsumen tak tertipu, wingko babat Cap Kereta api yang asli bertulisan D. Muyono di bagian depan, dan d/h Loe Soe Siang di kemasan belakang.
Soal beberapa merek wingko babat yang identik dengan gambar lokomotif kereta api, saya teringat sastrawan Seno Gumira Ajidarma menyinggung wingko babat dalam pidatonya, “Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi”.
Seno membicarakan wingko babat dalam konteks perubahan zaman yang kian bergegas. Ia, dengan detail, memberikan contoh persaingan beberapa merek wingko babat di Semarang untuk menguatkan argumennya.
Sebagai sang pemula, wingko babat buatan Loe Lan Hwa dan Mulyono memakai lambang kereta api, yang ketika itu menjadi moda transportasi tercepat.
Lantas, atas nama ideologi ‘enak’ yang sama, kompetitor lainnya, wingko babat cap Kereta Api Expres, Ny Lies, Pasar Johar Semarang, menggunakan istilah kereta api ekspres yang lebih cepat dari kereta api biasa. Idenya: yang lebih cepat ini lebih enak.
Tak berhenti sampai di sana, ada cap Kereta Api Senja Utama Ny H Nafiah, Kaligawe Semarang. Lagi-lagi, kereta diesel dan kereta api Senja Utama yang eksklusif itu, dianggap lebih cepat dan bercitarasa lebih enak.
Jadi lebih seru, muncul wingko babat cap Kereta Api Diesel & Jet, Loe Soe Siang, Pengapon Semarang. Ini sudah tak ada tandingan dalam hal kecepatan. Kereta api tak bisa melawat jet. Merek ini memberikan imaji paling cepat, maka paling enak.
Namun, ada tandingan dari perang kecepatan ini, ketika suatu waktu muncullah wingko babat asli cap Setoom Mini, N N Meniko, Tamanharjo Semarang. Ini langkah yang cerdik, menyetir bayangan para konsumen, bahwa yang cepat tak selamanya enak. Namun yang asli, sudah pasti cita rasanya unggul. Plus, setoom, alias setum, kendaraan yang digerakkan dengan tenaga uap, melambangkan sesuatu yang lambat, tapi pasti. Tak mengandalkan kecepatan.
“Para pedagang wingko babat di Stasiun Tawang Semarang pada suatu masa, menyadari sepenuhnya bahwa kecepatan tidak perlu menjadi berhala," ujar Seno.
Ungkapan Seno ini pada akhirnya menjadi representasi cerita dari wingko babat itu sendiri. Perjalannya panjang, lebih dari seratus tahun, dan membutuhkan waktu tak cepat untuk proses regenerasi dan menemukan titik ajegnya sebagai salah satu kudapan khas di Indonesia.
Wingko ini juga, yang saat melahapnya, alih-alih membawa saya melaju ke depan seperti kereta api, malah membawa saya kepada tiga cerita nostalgia dalam kepala: stasiun kereta api, terminal, dan bapak.
Editor: Nuran Wibisono