tirto.id - Sabtu, 6 April 2019, seorang pria berusia 54 tahun yang berasal dari Tangerang Selatan ditemukan tewas di Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Pria tersebut diduga tewas akibat bunuh diri. Berdasarkan keterangan sejumlah saksi dari perusahaan tempat korban bekerja dan keluarganya, polisi menduga korban depresi karena belum siap untuk pensiun pada bulan April 2019.
Kasus tersebut mengingatkan bahwa orang berusia senior tak bebas dari ancaman depresi. Dalam situs resmi National Institute of Mental Health, Amerika Serikat, depresi adalah gangguan mood yang umum tetapi tidak bisa disepelekan. Gangguan ini bisa berpengaruh terhadap perasaan, pikiran, dan mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti tidur, makan, atau bekerja.
Psikolog klinis Nirmala Ika mengatakan bahwa penyebab depresi sebelum pensiun tergantung dari karakteristik individu, lingkungan sosial, dan penghayatan masing-masing orang terhadap masa pensiun.
Nirmala mengatakan tak ada faktor tunggal yang menyebabkan seseorang depresi. Menurutnya, depresi adalah hal yang kompleks. Namun, ketika jelang pensiun, hal mungkin menyerupai depresi adalah post power syndrome.
“Biasanya muncul pada orang yang sudah biasa bekerja, dan apalagi dia bekerja dan punya posisi, di mana dia punya rutinitas, dia punya tim kerja, itu tiba-tiba jadi hilang karena pensiun,” ujar Nirmala.
Ketika memasuki masa pensiun, kita tidak bisa memungkiri terjadinya perubahan rutinitas harian, seperti aktivitas ke kantor setiap hari, maka periode awal pensiun adalah waktu untuk menata kembali pola kehidupan.
Nirmala menjelaskan bahwa perubahan mood yang muncul ketika pensiun tersebut rentan terjadi pada orang yang “gila kerja” di usia produktifnya. Apalagi jika ia tak memiliki lingkaran sosial di luar pekerjaannya, termasuk misalnya orang yang lebih sering hangout bersama teman-teman sekantor.
“Kan ada orang yang hidupnya buat pekerjaan. Memang mungkin dedikasinya baik, prestasinya baik, tapi hidup dia hanya untuk pekerjaan, dia tidak menyempatkan diri ketika masih produktif, tidak punya waktu untuk mengembangkan hobi dan mengembangkan support sosial di luar tempat kerja,” kata Nirmala.
Hilangnya rutinitas dan lingkaran sosial itu akhirnya memunculkan fase emptiness pada para pensiunan. Terlebih jika pasangan dan anak dari pensiunan memiliki kesibukan masing-masing.
“Kemudian fase itu kita kan biasanya temenan dengan orang yang usianya sama. Mungkin sudah mulai sakit, atau meninggal, sehingga makin sedikit orang-orang yang kita merasa dekat, kemudian makin memperburuk situasinya,” ungkap Nirmala.
Situasi tersebut bisa semakin buruk jika dialami oleh pensiunan yang suka meratapi dirinya sendiri, sehingga ia sulit memotivasi dirinya sendiri, dan menggerogoti kesehatan fisiknya.
Pernyataan Nirmala tersebut senada dengan artikel yang dipublikasikan oleh situs Very Well Mind bahwa banyak orang yang berpikir masa pensiun akan membuat kita rileks dan menikmati hasil kerja sebelumnya. Namun, tak sedikit orang khawatir dan merasa dirinya sudah tak lagi berguna ketika pensiun, terlebih tak jarang orang merasakan penurunan pemasukan keuangan.
Tak hanya itu, mereka pun takut menghadapi perubahan dinamika di rumah, dan perubahan peran yang mungkin terjadi, dan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumah tangga, termasuk dalam penyelesaian konflik.
Atur Pola Kerja di Usia Produktif
Untuk menghindari rasa khawatir itu, Nirmala menyarankan kepada kita agar merencanakan kegiatan pensiun sejak usia muda, sebab di usia produktif, orang seringkali lupa dengan hari tua mereka karena terlalu asyik mengejar karier.
“Padahal kalau ngomong produktivitas lebih lanjut, sebenarnya sudah banyak ditemukan bahwa cara kerja yang ngoyo [gila kerja] itu tidak produktif. Cuma, kita [kadang berpikir] kerja ngoyo itu sama dengan produktif. Nah makin tua jadi depresi,” ujar Nirmala.
Selain itu, Nirmala berpendapat pengaturan pola kerja di usia muda bisa mengurangi tingkat stres saat pensiun, misalnya dengan membagi waktu antara lingkungan kerja dan komunitas di luar pekerjaan.
Nirmala juga menyarankan kepada orang yang hendak memasuki masa pensiun agar tak menutup diri mereka dari dunia luar. Dengan sikap terbuka, ketika memasuki masa pensiun, mereka akan bisa berkenalan dengan orang baru dan komunitas baru.
Saran tersebut juga diungkapkan Randall Paulsen, seorang psikiater di Brigham and Women’s Hospital. Kita bisa merencanakan untuk melakukan aktivitas yang sesuai minat di masa pensiun.
Menurut Paulsen, memang tak mudah bagi seseorang untuk mengubah rutinitas hariannya. Apalagi peralihan dari masa bekerja ke masa pensiun berarti mengganti pola aktivitas terstruktur menjadi tak terstruktur.
Di masa perubahan ini, keluarga dan orang terdekat pensiunan memang harus memberikan dukungan lebih untuk membantu mereka menyesuaikan keadaan. Selain itu, untuk menciptakan nilai tambah diri, Paulsen menyarankan agar Anda sesekali terlibat dalam kegiatan sosial. Menjadi relawan akan membantu Anda bisa memperoleh keseimbangan hidupnya.
-------------------------
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Editor: Maulida Sri Handayani