tirto.id - Kualitas udara di Jakarta berstatus tidak sehat dengan angka 164 AQI (Air Quality Index) pada Kamis (4/7/2019) pukul 10:00 pagi. Berdasarkan informasi dari AirVisual, aplikasi pengukuran udara real time, Jakarta menempati urutan kedua kota paling polusif di dunia.
Pekan lalu, selama dua pagi berturut-turut Jakarta bahkan menempati peringkat pertama kota dengan udara paling tidak sehat. Hal itu lantas menjadi perbincangan warganet.
Namun Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemprov DKI Jakarta, Andono Warih, tak sepakat jika data dari AirVisual dijadikan patokan untuk mengukur kualitas udara di Jakarta secara menyeluruh. Ia beralasan AirVisual hanya mengambil data dari alat yang dipasang di tujuh titik saja.
"Karena alat ukurnya di situ, di daerah yang macet, jadi seringkali nilai polusinya lebih tinggi. Jadi kalau ada info mengenai itu (kualitas udara yang buruk) enggak salah, karena di situ (pusat polusi) mengukurnya, tapi kalau digeneralisasi ke Jakarta secara keseluruhan mungkin kurang tepat," jelas Andono saat ditemui di Gedung DPRD DKI, Rabu (26/6/2019).
Atas dasar itu Pemprov DKI berencana membuat aplikasi sendiri yang dapat menampilkan informasi kualitas udara secara lebih komprehensif.
"Selama kita tidak memiliki info, maka kita merasakan kualitas udara kita baik-baik saja, padahal pada kenyataannya tidak," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2019).
Anies berharap aplikasi tersebut juga bisa mendorong masyarakat agar tak ikut menyumbang polusi. "Harapannya adalah [masyarakat] terpanggil menggunakan kendaraan umum, tidak ikut menyumbang atas kualitas udara rendah Jakarta."
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Abimanyu, mengapresiasi rencana Pemprov DKI tersebut.
"Pertama, ya kami apresiasi untuk membuka data, kemudian harapannya stasiun-stasiun pantaunya memang dapat mewakili DKI Jakarta," kata Bondan saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (3/7/2019).
Bondan mengatakan alat pemantau udara yang ada saat ini kurang dari 10 titik, sehingga memang belum mewakili Jakarta secara menyeluruh. Alat pemantau kualitas udara di Jakarta paling tidak mesti ada di 26 titik, kata Bondan.
Aplikasi ini juga diharapkan bisa jadi alat untuk melacak sumber polusi. Jadi tak hanya pasif berharap masyarakat terdorong untuk ikut berkontribusi, Pemprov DKI juga bisa aktif meminimalisir pencemaran udara dengan mengatasi langsung dari sumbernya.
"Katakanlah alat ukur sudah tersebar di 26 titik. Kita [akan] tahu berapa angka polusi, lalu kita masukkan arah angin dan kecepatan, nanti kelihatan di suatu titik tinggi," kata dia.
Koordinasi Antar Wilayah
Karena udara selalu bergerak, ada kemungkinan sumber polusi berasal dari wilayah penyangga Jakarta, misalnya Jawa Barat dan Banten. Oleh karena itu yang juga penting dilakukan adalah berkoordinasi dengan pemerintah daerah tetangga.
"Artinya, ini seharusnya jadi kewajiban bersama untuk memasang stasiun pemantau udara oleh [masing-masing] pemerintah daerah," ujar Bondan.
Anggota Komisi D DPRD DKI Bestari Barus sepakat bahwa perlu ada koordinasi antar wilayah untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara.
"Forum Mitra Praja itu adalah salah satu forum komunikasi dengan wilayah penyangga. Itu harus diefektifkan saja, dan isu itu (pencemaran udara) memang juga harus diantisipasi dan disikapi," tegas Bestari saat ditemui di DPRD DKI, pada Rabu (26/6/2019).
Bestari menilai pencemaran udara sebagai masalah yang mesti segera diatasi. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 saja menunjukkan selama 196 hari udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat. Pada tahun yang sama, hanya 122 hari udara di Jakarta masuk kategori sedang dan 34 hari sehat.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan