tirto.id - Rudy Badil wafat, Kamis (11/7/2019) hari ini, di Jakarta, setelah sempat dirawat usai terjatuh di kamar mandi. Almarhum adalah sosok penting bagi sejarah komedi di tanah air. Ia salah satu pendiri Warkop DKI yang kerap menyelipkan kritik terhadap rezim Orde Baru pimpinan Soeharto dalam materi lawakannya.
Kabar wafatnya Rudy Badil pertama kali disampaikan Indro, satu-satunya anggota Warkop DKI yang tersisa. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un. Selamat beristirahat dengan tenang Mas Rudy Badil. Doa terbaik kami sekeluarga besar Lembaga Warung Kopi Dono Kasino Indro untuk keluarga yang ditinggalkan," tulis Indro di akun Instagram-nya.
Warkop DKI yang nantinya melejitkan trio Wahyu Sardono (Dono), Kasino Hadiwibowo (Kasino), dan Indrojoyo Kusumonegoro (Indro), semula bernama Warkop Prambors. Dibentuk pada awal dekade 1970-an. Rudy Badil termasuk salah satu personel pertama grup ini.
Pada 1973, Temmy Lesanpura dari Radio Prambors mengajak tiga mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), yakni Rudy Badil, Nanu Mulyono, dan Kasino, untuk mengisi program acara hiburan di radio tempatnya bekerja. Ketiga pemuda ini memang terkenal dengan gaya humornya yang terkadang menyerempet politik.
Terbentuklah grup Warkop Prambors meskipun tidak direncanakan sebelumnya. Mereka rutin mengisi program siaran bertajuk “Obrolan Santai di Warung Kopi” setiap Kamis malam di Radio Prambors. Setahun berselang, Dono bergabung, sementara Indro menyusul pada 1976.
Banyolan-banyolan khas Warkop Prambors yang segar dan berisi, ternyata sangat disukai. Selain di radio, grup ini kemudian kerap mendapat tawaran tampil di panggung. Namun, seiring masa gemerlap yang segera datang, Rudy Badil justru mengundurkan diri.
Rudy Badil mengaku demam panggung dan tak terbiasa tampil sebagai penghibur di atas pentas. Ia adalah satu-satunya personel yang tidak pernah terlibat dalam penggarapan film-film Warkop DKI yang kelak melegenda.
Dikutip dari buku Antologi Seni 2003 (2003) yang disusun Agus Dermawan, Rudy Badil fokus menjalani profesi sebagai wartawan setelah mundur dari Warkop Prambors atau Warkop DKI.
Bedil Satire ala Badil
Pemikiran dan aksi Rudy Badil sudah kritis sejak mahasiswa. Ia berteman akrab dengan Soe Hok Gie yang kerap menyentil rezim Orde Baru kala itu. Rudy bahkan turut dalam pendakian bersejarah Gunung Semeru yang berujung kematian Gie pada 16 Desember 1969 di puncak gunung tertinggi di Jawa tersebut.
Melalui buku Warkop: Main-main Jadi Bukan Main (2010) yang digarapnya bersama Indro, Rudy mengakui bahwa sejak awal kuliah, ia mulai akrab dengan aksi-aksi mahasiswa. Dengan nada satire, Rudy menyebut dirinya bagian dari generasi yang masih mendengar gaung dan merasakan getar semangat Angkatan ’66.
Angkatan ’66, tulis Rudy, konon dianggap sebagai barisan pembaharu Indonesia menuju pelataran pembangunan. Ini merujuk pada tumbangnya Orde Lama era Presiden Sukarno pasca Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang lantas digantikan rezim Orde Baru seiring berkuasanya Soeharto.
Awal dekade 1970-an, kalangan mahasiswa di Jakarta seperti Rudy seringkali mengalami kejadian yang amat politis. “Bayangkan saja, kami diajak turun ke jalan dan menyanyikan lagu She was So Good and So Kind to Me dengan lirik: Minyak oh minyak naik/bikin rakyat miskin tercekik/minyak minyak minyaaak...,” kenang Rudy.
“Lalu kami ikutan demo sopan yang tidak bakar ban atau bakar mobil,” lanjutnya, “meski yang kami protes itu soal korupsi, serta demo terhadap proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah [TMII] yang isunya supersensitif.”
Proyek TMII yang merupakan gagasan sekaligus ambisi sang ibu negara, Siti Hartinah alias Tien Soeharto, menjadi gunjingan kala itu. “Sampai-sampai kawan-kawan Warkop Prambors di masa jahilnya emoh membawakan joke yang menyangkut peristiwa TMII dengan isu tien percent –komisi 10 persen dari total biaya sekitar Rp9 miliar pada zaman itu,” seloroh Rudy.
Kendati melewatkan isu TMII, namun Rudy Badil dan kawan-kawan di Warkop Prambors tetap sering menyelipkan sentilan terhadap penguasa, seperti tentang militerisasi kampus, kebijakan pemerintah, berbagai peristiwa penting termasuk Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, juga propaganda yang dipaksakan rezim, semisal Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Rudy ingat bagaimana Dono berkelakar soal ini dalam siaran di Prambors pada 1975. “Jangan sekali-kali berani bilang Pancasila itu ada lima sila. Kemarin kawanku bilang Pancasila itu ada enam silanya, eh digampar Komandan Koramil. Apalagi lo berani bilang lima silanya,” ujar Dono kocak
Para awak Warkop Prambors menyadari celetukan-celetukan satire politik yang mereka bawa dalam lawakan memiliki risiko tinggi. “Untungnya memang kita tidak kenapa-kenapa,” kata Indro, dikutip dari Media Indonesia (13 November 2010).
Selepas dari panggung humor, Rudy Badil melanjutkan kiprahnya di kancah jurnalistiik sebagai wartawan Kompas. Ia turut pula mengelola Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) yang didirikan PK Ojong dan Jakob Oetama pada era 1980-an.
Rudy Badil memang terus mengokang bedilnya meskipun tidak berbalut canda bareng Warkop DKI lagi. Ia konsisten bernalar kritis demi perbaikan dan kemajuan negeri ini. Rudy sanggup bertahan melintasi rezim demi rezim. Hingga akhirnya, stroke menerpa raganya yang memang kian renta.
Pada 11 Juli 2019, Rudy Badil mengembuskan napas terakhir, meninggalkan Indro yang kini benar-benar seorang diri mengusung panji-panji Warkop DKI. Bagi Indro, Rudy bukan sekadar rekan seperjuangan, tetapi juga sudah dianggapnya sebagai mentor sekaligus bapak.
“Beh, selamat jalan. Lo sudah tenang sekarang. Terima kasih untuk persaudaraan dan semua kesempatan yang akhirnya menjadi jalan hidup gue," cuit Indro di Instagram.
"Warkop DKI tidak akan lepas dari sosok Rudy Badil selamanya. Dan gue akan kibarkan bendera Warkop DKI seumur hidup gue, gue janji, Insya Allah," imbuhnya.
Editor: Abdul Aziz