tirto.id - Wacana motor diperbolehkan masuk tol yang diusulkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dikritik Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Sebab, usulkan itu manafikan unsur keselamatan.
“Wajib ditolak [wacana sepeda motor masuk tol], alasannya mengabaikan aspek keselamatan transportasi,” kata Tulus saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/1/2019).
Menurut Tulus, saat ini per tahunnya 31.000 orang Indonesia meninggal di jalan raya, karena kecelakaan lalu lintas. Dari jumlah tersebut, kata dia, sebanyak 71 persennya adalah pengguna sepeda motor.
Artinya, kata Tulus, wacana yang diusulkan Menteri PUPR Basuki Hadimuldjono justru berpotensi membuat angka kecelakaan pengguna motor semakin tinggi.
“Mendorong sepeda motor masuk jalan tol adalah 'karpet merah' untuk melambungnya kecelakaan lalu lintas,” kata Tulus.
Tulus juga mengendus adanya motif terselubung di balik wacana ini. Ia menduga hal ini sebagai hasil lobi dari korporasi yang bergerak di bidang sepeda motor.
Dugaan Tulus itu didasarkan atas kebijakan terbaru yang memberi ruang berkembang ekosistem sepeda motor, yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 35/2018 tentang uang muka nol persen untuk kredit sepeda motor dan Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur tentang ojek online.
“Kami curiga wacana itu hasil lobi industri sepeda motor kepada DPR dan pemerintah,” kata Tulus.
Kemenhub: Perlu Kajian Mendalam
Namun, wacana motor masuk tol yang didukung Ketua DPR RI Bambang Soesatyo ini ditentang Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi. Ia menegaskan pemerintah perlu melakukan pertimbangan dan kajian mendalam.
Berdasarkan PP No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, khususnya Pasal 38 ayat (1), jalan tol hanya diperuntukkan bagi kendaraan roda empat atau lebih. Namun, seiring dengan pembangunan jembatan Suramadu dan tol Bali Mandara yang dapat dilalui kendaraan roda dua, maka peraturan itu diubah menjadi PP No. 44 tahun 2009.
Dalam pasal 38 ayat (1a) berbunyi “Pada jalan tol dapat dilengkapi dengan jalur jalan tol khusus bagi kendaraan bermotor roda dua yang secara fisik terpisah dari jalur jalan tol yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih”.
Budi menilai, dengan mengacu pada aturan itu bisa saja jalan tol dilalui sepeda motor, tapi hanya jalan tol yang spesifikasinya sama dengan jembatan Suramadu dan jalan tol di Bali. Sementara untuk jalan tol di daerah perkotaan harus melalui pertimbangan dan kajian terlebih dahulu.
“Jalan tol dapat dilalui oleh sepeda motor, tetapi bukan berarti harus. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan, salah satunya adalah jalan tol adalah bebas hambatan yang kanan kirinya bebas dari pemukiman, terjangan angin pun pasti besar, bahkan ada rambu peringatan (hati-hati angin besar),” kata Budi dalam siara pers yang diterima reporter Tirto, Rabu (30/1/2019).
Budi menambahkan, jalan tol dibuat untuk jarak jauh dan kendaraan yang melintas pun berkecepatan tinggi, sedangkan sepeda motor dengan kapasitas atau cc kecil tidak dirancang untuk menempuh jarak jauh.
“Setiap lebaran pun kami alihkan penggunaan sepeda motor ke bus gratis karena yang menjadi fokus kami adalah masalah keselamatan,” kata Budi.
Menurut Budi, kalau ada jalan tol yang dilengkapi dengan jalur khusus sepeda motor, maka kemungkinan besar hanya untuk jalan tol perkotaan dan dengan jarak tempuh pendek, bukan tol antar-kota atau provinsi.
Sebab, kata Budi, jarak tempuh lebih 12 km tidak memungkinkan dilalui sepeda motor, karena terlalu riskan.
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan wacana motor masuk tol memang tidak melanggar regulasi. Namun, ia menitikberatkan pada dua faktor, yaitu soal keselamatan dan biaya.
Karena itu, Djoko Setijowarno meragukan wacana ini terealisasi meski secara regulasi memungkinkan.
“Kalau bangun sejak awal dengan jalur motor, ya enggak mahal. Kalau bangun lagi khusus untuk itu pasti mahal [investasinya],” kata Djoko ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/1/2019).
Djoko mengatakan, realisasi kebijakan ini mengharuskan pembangunan jalur baru khusus motor. Sebab, kata dia, jalur sepeda motor harus berbeda dengan roda empat karena faktor keselamatan.
Djoko memperkirakan pembangunan jalur ini setidaknya memerlukan tambahan satu lajur setara ukuran roda empat atau 3,5 meter. Selain itu, fasilitas kelengkapan lain tetap perlu dibuat seperti jembatan penyeberangan hingga terowongan.
Sebagai akibat dari besarnya modal investasi jalan khusus motor tersebut, Djoko ragu bila tarifnya nanti dapat diterima pengguna sepeda motor. Karena itu, Djoko meragukan wacana yang dilontarkan Kementerian PUPR itu sulit terealisasi meski didukung DPR.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz