tirto.id - Pepatah lama "Tidak semua niat baik berakhir baik" rupanya cocok untuk Google Plus. Akibat skandal kebocoran data, panggung media sosial yang digadang-gadang menyaingi Facebook itu diumumkan akan segera tutup usia.
Eksistensi Google Plus selama ini memang seperti hidup segan namun mati tak mau. Ia ada, tapi isinya bagai kota hantu. Hampir tak ada orang yang menggunakannya lagi.
Pada Senin (8/10/2018), laman blog resmi Google menyatakan mengumumkan akan menutup layanan ini dalam 10 bulan ke depan. Sayangnya, penutupan Google Plus diiringi skandal kebocoran data pengguna.
Google membuka pengumuman tersebut dengan statistik yang menyedihkan.
Mereka mengatakan, versi konsumen Google Plus memiliki tingkat penggunaan dan keterlibatan pengguna yang rendah; 90 persen sesi penggunaan Google Plus hanya berlangsung kurang dari lima detik. Durasi yang bahkan jauh lebih cepat daripada proses memasak mi instan atau membuat secangkir kopi.
Pengumuman tersebut juga menyebutkan bahwa sebuah bug telah ditemukan pada People API (Application Programing Interface) yang melekat pada aplikasi Google Plus. Bug ini membuat pihak ketiga dapat mengakses data pengguna meski lingkupnya masih terbatas nama, alamat email, pekerjaan, jenis kelamin, dan usia.
Setelah analisis yang cukup menyeluruh, Google mengonfirmasi bahwa sekitar 500.000 akun Google Plus berpotensi terdampak bug. Diperkirakan juga bahwa API tersebut telah digunakan oleh lebih dari 438 aplikasi. Namun, Google berusaha meyakinkan pengguna bahwa data pribadi mereka tak jatuh ke tangan yang salah.
“Kami tidak menemukan bukti bahwa ada pengembang yang mengetahui bug ini atau menyalahgunakan API, dan kami tidak menemukan bukti bahwa ada data dari laman Profile yang disalahgunakan,” tulis Vice President of Engineering Google Ben Smith dalam keterangan resmi itu.
Pengguna masih bisa mengakses Google Plus hingga Agustus 2019. Google sengaja memberi tenggat 10 bulan agar pengguna bisa mengunduh dan memindahkan data pribadi mereka.
Meski demikian, versi enterprise Google Plus masih dapat digunakan. Google sendiri menyatakan akan fokus pada versi enterprise Google Plus untuk tahun-tahun mendatang.
Google: Sang Pelanggar Privasi?
Raksasa internet ini menemukan bug tersebut dan memperbaikinya pada Maret 2018. Artinya, sudah cukup lama potensi kebocoran data Google Plus dirahasiakan oleh Google dari amatan publik.
Menurut laporan Wall Street Journal, langkah itu diam-diam diambil karena Google takut potensi kebocoran data tersebut diendus oleh pengawas regulasi. Jika ketahuan, reputasi Google dipertaruhkan. Alasan itu dituangkan dalam sebuah memo yang beredar di lingkaran eksekutif senior Google.
Orang dalam perusahaan juga menyebutkan bahwa sebelumnya CEO Google Sundar Pichai telah mendapat pengarahan untuk tidak mengumumkan masalah ini kepada pengguna Google Plus.
Pada Maret lalu, tepat ketika Google menemukan bug tersebut, skandal privasi Facebook yang melibatkan Cambridge Analytica tengah ramai dibicarakan orang.
Dalam keterangan resminya, Google mengatakan bahwa mereka punya beberapa pertimbangan sebelum memutuskan untuk memberitahu pengguna akan insiden terkait data pribadi.
“Jawatan Privasi & Perlindungan Data kami meninjau masalah ini, melihat jenis data yang terdampak, mempelajari apakah kami dapat mengidentifikasi pengguna secara akurat untuk memberitahukan masalah ini, adakah bukti penyalahgunaan data, dan mempertimbangkan tindakan yang dapat diambil oleh pengembang atau pengguna sebagai tanggapan,” jelas Ben Smith.
Alasan-alasan itulah yang kemudian dijadikan dasar oleh Google untuk tidak segera memberitahu pengguna tentang risiko kebocoran data.
Bukan sekali ini saja Google bermasalah dengan privasi. Pada April 2018, sebuah koalisi yang terdiri dari gabungan 23 kelompok perlindungan privasi dan hak konsumen serta advokasi anak mengajukan komplain ke Komisi Perdagangan Federal AS. Dilaporkan oleh Guardian, mereka menduga YouTube, anak perusahaan Google, telah mengumpulkan data dari pengguna anak-anak usia di bawah 13 tahun.
Pada Juli lalu, Wall Street Journal menemukan fakta bahwa karyawan sejumlah perusahaan pengembang pihak ketiga bahkan dapat mengakses Gmail, layanan surat elektronik Google.
Agustus tahun ini, Associated Press melaporkan bahwa Google mengumpulkan data lokasi dari pengguna Android meskipun mereka telah mematikan fitur location history pada gawai digital mereka.
Model bisnis Google yang berpusat pada data untuk meraup pendapatan dari iklan telah banyak dikritik.
“Mereka membangun informasi iklan dari data,” kata Peter Lenz, analis geospasial senior di Dstillery, perusahaan teknologi iklan dan salah satu kompetitor Google, sebagaimana dilansir Associated Press. “Makan banyak data, makin banyak keuntungan buat mereka.”
Ditakdirkan untuk Mati
Terlepas dari kontroversi seputar privasi dan kebocoran data, Google Plus memang sudah lama diramalkan mati.
Awalnya kelahiran Google Plus pada 2011 disambut meriah. Banyak orang terkesima akan fitur Google Plus yang tampak inovatif dan berbeda dari wahana media sosial lain seperti Facebook. Pengguna dapat mengelompokkan lingkaran pertemanannya sendiri. Lewat fitur bernama Circle ini pula pengguna dapat memilah konten apa yang mau mereka bagikan berikut penerimanya.
Selain itu, terdapat pula Hangout, fasilitas video dan chat yang terintegrasi pada Google Plus dan dapat digunakan oleh 10 orang dalam satu grup. Ada pula Google Photos yang memungkinkan pengguna langsung mengunggah foto dari kamera gawai sekaligus mengeditnya.
Kedua fitur ini dikembangkan terpisah dari Google Plus dan menjadi produk sendiri.
Bagi Google, dua pekan pertama setelah peluncuran Google Plus adalah masa yang menggembirakan. Dikutip dari Lifewire, Larry Page, CEO Google saat itu, mengumumkan bahwa Google Plus berhasil menggaet 10 juta pengguna hanya dalam waktu dua pekan.
Pertumbuhan Google Plus terus berlanjut hingga akhir 2011 dengan jumlah pengguna 90 juta pengguna.
Meski demikian, isu spam terus menghantui perjalanan Google Plus dan membuat penggunanya kian tidak betah. Sayangnya, seperti yang dilaporkan Tech Crunch, solusi yang diambil Google malah tak masuk akal: memaksa orang untuk punya akun Google Plus jika mereka ingin membuat email. Pada 2013, mereka memaksa pengguna YouTube memakai Google Plus untuk memberikan komentar pada video-video di kanal video tersebut.
Perlahan namun pasti, Google Plus akhirnya ditinggalkan para penggunanya. Masih menurut Lifewire, Google disebut-sebut gagal membaca arah pasar dan kehilangan tokoh-tokoh yang mampu memberikan inspirasi bagi perusahaan tersebut. Pada 2014, sang pendiri Google Plus, Vic Gundotra mengundurkan diri.
Dari sana sebetulnya Google Plus telah mati pelan-pelan. Vonis mati bagi panggung media sosial itu hanya mengingatkan orang banyak bahwa ia pernah ada.
Editor: Windu Jusuf