tirto.id - Institute Torlak di Beograd (kini ibu kota Serbia), Paul Ehrlich Institute di Frankfurt, dan Behringwerke di Marburg, Jerman, adalah tiga lembaga penelitian di Eropa yang rutin mengimpor monyet hijau (Cercopithecus aethiops) dari Uganda untuk pengembangan vaksin dan serum. Biasanya monyet-monyet hijau tersebut didatangkan langsung dari Uganda ke Frankfurt untuk didistribusikan ke lembaga-lembaga penelitian di Eropa yang memesannya.
Namun, Perang Enam Hari antara Mesir, Suriah, dan Yordania melawan Israel pada Juni 1967 mengubah rute pengiriman monyet hijau. Karena Mesir sibuk menghadapi serangan Israel, rute penerbangan ke Eropa pun terganggu. Pengiriman monyet dari Uganda harus melalui London sebelum menuju Jerman. Di London, ratusan monyet Uganda dikarantina bersama hewan-hewan lain, termasuk bersama burung finch dari Amerika Selatan dan langur dari Sri Lanka. Secara teori, ketika sedang dikarantina bersama, monyet hijau tertular agen infeksi dari burung finch atau langur, atau sebaliknya.
Setelah dua hari tertahan, monyet-monyet ini kemudian diterbangkan ke Frankfurt. Mereka tiba di Jerman dalam dua kedatangan, yakni 21 dan 28 Juli 1967. Institut Torlak di Beograd melaporkan bahwa terjadi kematian berlebih hingga 33 persen pada monyet-monyet yang mereka terima. Penyebab kematian berlebih tersebut tidak diketahui. (Slenczka, Werner dan Hans Dieter Klenk, Forty Years of Marburg Virus, The Journal of Infectious Diseases, Volume 196, Issue Supplement 2, November 2007, hlm. 131-135).
Sekitar dua pekan setelah kedatangan monyet-monyet Uganda, seorang pekerja di Behringwerke, Marburg, diidentifikasi sebagai “Klaus F”, terkena infeksi virus tak dikenal yang kemudian disebut sebagai virus Marburg. “Klaus F” bertugas memberi makan dan membersihkan kandang monyet. Ia dilaporkan terkena virus pada 8 Agustus 1967 dan meninggal dua pekan kemudian.
Tiga tahun sesudahnya, tak banyak kemajuan diketahui tentang virus ini. Satu-satunya sumber tersedia hanyalah kumpulan makalah presentasi dari Universitas Marburg pada 1970, yang dikutip oleh Richard Preston dalam The Hot Zone: the Terrifying true Story of The Origins of the Ebola Virus (1995):
Pertama, “Penjaga monyet Heinrich P. kembali dari liburan pada 13 Agustus 1967 dan bertugas membunuh monyet-monyet pada tanggal 14-23. Gejala pertama muncul pada 21 Agustus."
Kedua, "Asisten laboratorium Renate L. memecahkan tabung kaca yang sudah disterilisasi dan mengandung materi infeksi pada 28 Agustus lalu jatuh sakit pada 4 September 1967.”
Hanya itulah keterangan tentang virus Marburg yang diperoleh oleh David Silverstein, dokter yang menangani Dr. Shem Musoke sepetrti diceritakan dalam The Hot Zone. Musoke adalah dokter di Rumah Sakit Nairobi, Kenya, yang pada Januari 1980 merawat seorang pasien yang disebut sebagai Charles Monet. Pasien ini adalah naturalis Prancis yang terinfeksi virus tak dikenal dengan gejala-gejala mengerikan setelah menyusuri Gua Kitum di hutan Gunung Elgon--berdiri tegak mengangkangi Uganda dan Kenya, serta tak jauh dari Sudan.
Gua Kitum adalah sebuah gua tropis dengan stalaktit dan stalagmit mencuat di sana-sini pada dinding dan langit-langit gua, bersama jutaan kelelawar yang juga berumah di langit-langit yang sama. Setelah susur gua menyambut tahun baru 1980 yang sangat mengesankan itu, Monet kembali bekerja seperti biasa sebagai seorang insinyur di sebuah pabrik gula di bagian barat Kenya. Tetapi ada sesuatu dari gua yang mengikuti Monet dalam perjalanan pulang. Suatu makhluk tak kasatmata masuk ke dalam tubuhnya dan dalam waktu singkat berlipat ganda menguasai tubuh inang barunya.
Gejala infeksi muncul persis di hari ketujuh setelah Monet kembali dari gua, yaitu tanggal 8 Januari 1980. Sakit kepala, nyeri di balik bola mata, pelipis, lalu beberapa hari selanjutnya Monet mulai demam, mual, dan muntah. Tubuhnya lemas dan sulit bergerak, tetapi ia muntah tak berkesudahan hingga tak ada lagi yang bisa dikeluarkan. Tatap matanya kosong, tanpa ekspresi, dan kelopak matanya turun, dengan bola mata mulai memerah. Kulit tubuhnya berubah menguning tetapi juga penuh bercak merah. Dokter di rumah sakit Kisumu yang didatangi Monet tidak berhasil mengidentifikasi penyakitnya. Mereka merujuknya ke Rumah Sakit Nairobi, rumah sakit terbaik di Afrika Timur.
Monet yang tubuhnya penuh virus sangat berbahaya, terbang seorang diri ke Nairobi. Ia menumpang pesawat Fokker yang sarat penumpang dengan tempat duduk berimpitan. Sepanjang penerbangan ia muntah. Bercak merah yang muncul beberapa hari sebelumnya berubah keunguan, dan warna kepalanya pun ikut menjadi gelap. Demikian juga muntahannya yang seolah tak ada penghabisan, warnanya hitam, vomito negro. Aroma muntahan seperti bau rumah jagal itu pun terperangkap dalam udara kabin Fokker yang sempit.
Charles Monet berhasil tiba di rumah sakit dengan taksi, namun nyawanya tak tertolong. Ia mati bersimbah darah. Muntahannya sebagian muncrat ke wajah dan tubuh Dokter Shem Musoke yang menanganinya pada 15 Januari 1980. Sembilan hari setelah kematian Monet, Musoke mulai merasakan gejala awal serupa. Gagal mengidentifikasi agen penyebab penyakit Musoke, Dokter Silverstone mengirim sampel darahnya ke Centers for Disease Control (CDC), Atlanta, Amerika Serikat.
Beberapa hari kemudian, telepon rumahnya di Nairobi berdering dini hari, menyampaikan hasil laboratorium dari Atlanta. Shem Musoke terkonfirmasi positif terinfeksi virus Marburg, virus yang masih sedikit informasinya di CDC, membunyikan alarm panik baik bagi CDC maupun Silverstone di Nairobi. Dini hari itu, Silverstone bergegas ke rumah sakit dan menekuri kumpulan makalah dari Universitas Marburg, satu-satunya sumber yang ia temukan tentang virus Marburg.
Jauh sebelumnya yakni pada 1968, Frederick A. Murphy, pelopor penggunaan teknologi transmissionelectron microscopic dalam virologi, berhasil memotret virion virus Marburg. Tetapi masih banyak yang belum diketahui mengenai virus ini.
Sejak penemuan virus Marburg, Viral Pathology Branch (Cabang Patologi Virus) yang baru dibentuk CDC dan dipimpin Frederick Murphy tekun berburu virus. Di bawah kredo “kenali musuhmu”, Murphy dan tim sungguh-sungguh menjalankan penelitian dasar mencari sebab dan muasal penyakit infeksi dan zoonosis—penyakit yang ditularkan melalui hewan—tanpa harus menunggu terjadi wabah. (Glaser, Vicki. Interview with Federick A. Murphy, PhD. Vector-Borne and Zoonotic Diseases, Volume 8, Number 1, 2008).
Ketika pada Juli dan September 1976 muncul wabah di Sudan dan Zaire (kini Republik Demokratik Kongo) dengan gejala mirip penyakit Marburg namun tingkat kematiannya jauh lebih tinggi, sampelnya pun mendarat di laboratorium CDC di Atlanta. Sampel yang diterima Murphy itu berasal dari Bumba Zone, tempat rumah sakit Yambuku berdiri, yang segera ditutup di akhir September karena hampir semua stafnya meninggal terkena virus mematikan.
Murphy pun membiakkan virus dari sampel Yambuku pada kultur sel monyet. Pada 13 Oktober 1976, tepat hari ini 45 tahun lalu, Murphy berhasil melihat makhluk hidup seperti cacing bergerak dan berkembang biak di balik lensa mikroskopnya. Itulah virus yang membuat Bumba Zone seperti kota mati.
Karena sama-sama mirip cacing, mulanya virus itu dikira Marburg. Tetapi virus tersebut tidak bereaksi terhadap antibodi Marburg, sehingga dicurigai sebagai virus baru. Setelah berhasil mengisolasi dan membiakkannya, maka terkonfirmasilah bahwa virus dari Bumba Zone itu merupakan virus baru. Murphy dan tim menamainya Ebola, diambil dari nama sungai yang mengalir sepanjang 250 km di Zaire.
Virus Marburg dan Ebola, baik galur Sudan maupun Zaire yang lebih mematikan, sama-sama berasal dari keluarga Filoviridae. Hingga kini, di tengah pandemi COVID-19, Kongo masih terus berjuang melawan wabah Ebola. CDC melaporkan bahwa pada Mei 2021 lalu, Kongo menghadapi wabah Ebola untuk ke-12 kalinya. Sementara pada Agustus 2021, kasus virus Marburg ditemukan untuk pertama kalinya di wilayah Afrika Barat.
Editor: Irfan Teguh Pribadi