tirto.id - Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman mengimbau pemerintah Indonesia agar mewaspadai penularan ebola strain Sudan di Uganda. Penyakit tersebut telah diumumkan sebagai kejadian luar biasa (KLB/outbreak) oleh Kantor Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Afrika sejak 20 September 2022.
“Ini merupakan satu strain yang lebih mematikan. Dan selama ini sebetulnya ebola yang ada bukan dari yang saat ini terdeteksi,” kata Dicky saat dihubungi reporter Tirto, Senin (26/9/2022).
Dicky menambahkan hingga kini belum ada obat dan vaksin yang efektif untuk mengatasi ebola strain sudan. “Ini yang tentu harus diwaspadai, walaupun resiko untuk ke Indonesia memang relatif kecil,” ujarnya.
Dia mencatat kasus ebola di Uganda sudah mencapai 34 kasus yang terkonfirmasi dengan kematian mencapai 21 orang. Tingkat fatalitas atau kematian (case falility rate/CFR) akibat ebola strain sudan kurang lebih 62 persen.
“Kenapa ini serius? karena dalam waktu kurang dari dua minggu sudah menyebar di berbagai distrik di Uganda ya saat ini dan WHO sendiri sudah menyatakan satu KLB," kata dia.
Dicky mengatakan ebola strain sudan jauh lebih serius daripada strain kenya yang selama ini menjadi penyebab KLB. Karena strain sudan menyebabkan kematian lebih banyak, lebih cepat, serta belum ada vaksinnya.
“Yang [strain] kenya, sudah ada vaksin, walaupun dengan efikasi yang belum sesuai harapan, setidaknya relatif bisa memperbaiki situasi," ujarnya.
Dicky mengimbau agar pemerintah Indonesia mempersiapkan pencegahan dari kasus ebola strain sudan. Ia menyarankan memperketat pintu masuk negara di bandar udara (bandara) dan pelabuhan terutama bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) dari Afrika atau negara yang memiliki kasus tersebut.
Selain itu, Dicky mengimbau agar pemerintah memperkuat sistem deteksi dini di komunitas melalui penguatan surveilans dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang dinilai masih lemah. Lalu, banyak kasus penyakit tertentu di layanan kesehatan yang tidak terdeteksi, tidak bisa dilihat, tidak ada pemetaan (mapping), bahkan tidak terlaporkan karena lemahnya sistem surveilans.
“Nah oleh karena itu, masa pandemi [COVID-19] ini harusnya menjadi pembelajaran pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk memperkuat surveilans. Dan ini yang kita masih sangat amat lemah dan ini berbahaya ya, berbahaya sekali,” kata dia.
Dicky menambahkan kebiasaan 5M: memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas perlu diterapkan oleh masyarakat untuk menghindari penyakit menular. Selain itu, masyarakat juga perlu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Gilang Ramadhan