tirto.id -
Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menegaskan bahwa long COVID-19 merupakan ancaman serius bagi Indonesia. Terutama bagi yang telah terinfeksi penyakit menular tersebut lebih dari dua kali dan memiliki komorbid, long COVID-19 akan berpotensi memperburuk level kesehatannya.
“Ini ancaman sangat serius dan dampak terinfeksi COVID-19 apalagi berulang ini terutama yang lebih dari dua kali, akan berpotensi memperburuk level kesehatan ya,” ujar Dicky ketika dihubungi Tirto pada Senin (26/9/2022).
Lanjut dia, reinfeksi ini juga berpotensi menimbulkan keluhan kronik berulang. Dicky juga menyebut anak dan lanjut usia (lansia) yang mengalami keluhan sakit berulang, batuk berulang, bahkan ada kelemahan motorik dan gangguan saraf, jika tidak segera diatasi dengan menemukan penyebabnya, akan semakin parah kondisi kesehatannya.
“Dan situasi ini sebetulnya sudah banyak dilaporkan di berbagai belahan dunia dan termasuk di Indonesia ya. Kasus-kasus yang diagnosanya tidak jelas atau kasus-kasus anak dengan keluhan atau bahkan kematian pada anak atau pada lansia dengan mendadak, nah ini harus dicurigai, dikaitkan dengan long COVID-19,” terang dia.
Dicky memprediksi Indonesia akan mengalami masalah tersebut, karena adanya keterbatasan seperti deteksi atau tindakan melakukan tes COVID-19 (testing).
Long COVID-19 merupakan kondisi di mana seorang penyintas COVID-19 masih merasakan gejala penyakit tersebut dalam jangka waktu yang lama, bahkan setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19.
Dampak COVID-19, lanjut Dicky, terlihat bukan hanya pada fase akut, tetapi juga di fase jangka panjang atau disebut dengan long COVID-19. Adapun seperlima dari kasus infeksi yang sudah pulih atau penyintas, mereka berpeluang mengalami long COVID-19.
“Dan ini kerusakannya bisa multiorgan, dari mulai otak sampai ke beberapa organ tertentu termasuk organ jantung dan paru-paru. Nah oleh karena itu, prinsip mencegah terinfeksi menjadi sangat penting,” ujar Dicky.
Bahkan bila melihat beragam riset, orang yang terinfeksi COVID-19 sistem daya tahan tubuhnya akan melemah, dalam hal ini respons imun adaptifnya serta fungsi penurunan sel T (limfosit T).
Oleh karena itu, lanjut dia, pencegahan terinfeksi long COVID-19 jauh lebih penting daripada sudah terinfeksi. Di mana ini harus dilakukan dengan tidak hanya vaksinasi, tetapi juga dengan upaya 3T: tindakan melakukan tes COVID-19 (testing), penelusuran kontak erat (tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien COVID-19 (treatment), dan 5M: memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mencatat 33 persen penderita long COVID-19 alami gangguan pernapasan.
"Di Indonesia ada datanya, sekitar 33 persen long COVID-19 [alami] gangguan di saluran pernapasan terutama itu ya. 33 persen ini gangguan pernapasan, artinya begini, ada yang memang pasien ini sebetulnya enggak ada apa-apa, begitu kena COVID-19, dia mungkin merasa sesak, napasnya berat ya," tutur Juru Bicara atau Jubir Kemenkes Mohammad Syahril via Zoom dalam media briefing bertajuk "Meet the Expert: Kapan Pandemi Berakhir?" pada Jumat, (23/9/2022).
Syahril juga menyebut ada pasien long COVID-19 yang memiliki gangguan lain, misalnya di saluran pencernaan.
Syahril pun mengatakan bahwa pasien tersebut biasanya memiliki gangguan dalam waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 3-6 bulan hingga sembuh. Bagi yang pasien-pasien yang memiliki komorbid sebelummya dan terkena COVID-19, maka akan memperberat komorbidnya.
"Dan setelah dia sembuh, walaupun COVID-19 sudah negatif, maka keluhan itu menetap," ujar dia.
tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri