tirto.id - Jelang akhir tahun 2020 jalanan ibukota dan berbagai daerah di Indonesia ‘memanas’. Gelombang demonstrasi menolak Omnibus Law atau UU Cipta Kerja muncul dalam skala yang cukup besar serta diikuti oleh berbagai elemen masyarakat sipil.
Opini publik beragam, termasuk komentar bernada sinis terhadap kelompok buruh. Mereka yang kerap turun ke jalan dipandang sebagai golongan yang tak pernah puas.
Uniknya, komentar-komentar ini dilancarkan oleh orang-orang yang juga berstatus sebagai buruh. Penelusuran Tirto turut mengungkap masih banyak pekerja di Indonesia yang tidak mau disebut sebagai buruh. Mereka lebih suka disebut ‘karyawan’ atau istilah lain.
Mengapa istilah ‘buruh’ mengalami penyempitan dan penurunan makna? Jawabannya bisa dilacak hingga masa Orde Baru.
Selama 32 tahun berkuasa, rezim Soeharto berupaya untuk mengikis gerakan buruh. Semuanya diawali dengan memberantas gerakan kiri hingga ke akar-akarnya pada akhir kekuasaan Soekarno.
Rezim Orba kemudian mengganti istilah ‘buruh’ menjadi ‘karyawan’. Istilah ‘buruh’ bukannya hilang sama sekali, namun hanya boleh dipakai untuk menyebut pekerja konstruksi dan manufaktur.
Contoh lain ialah dileburnya serikat buruh menjadi satu. Tujuannya agar pemerintah mudah melakukan pengawasan. Efeknya, pengorganisiran aksi buruh kerap dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar lolos dari represi otoritas setempat.
Usaha-usaha itu dicatat oleh peneliti independen, Made Supriatma. Made menilai sikap anti-buruh pemerintah Orba lah yang membuat istilah buruh mengalami eufimisme atau penghalusan semantik.
Buruh akhirnya hanya diasosiasikan dengan pekerja kerah biru, atau golongan pekerja kasar. Istilah ini tidak lagi dilekatkan kepada karyawan perusahaan dan jenis profesi lain yang digolongkan sebagai pekerja kerah putih.
Peneliti LIPI Fathimah Fildzah Izzati menengarai masyarakat belum banyak yang paham bahwa hak-hak yang didapat buruh tidak turun dari langit. Durasi kerja delapan jam per hari, cuti hamil, tunjangan hari raya, semua didapatkan dari demonstrasi dan gerakan buruh lainnya.
Fildzah menambahkan ada faktor lain yang turut mengawetkan kenyinyiran warganet terhadap demo buruh, yakni liputan media massa. Mengapa demikian? Simak selengkapnya dalam video Newsroom 63B berikut ini:
Editor: Akhmad Muawal Hasan