Menuju konten utama

Vichai Tewas Kecelakaan Heli: Tragedi di Leicester City

Vichai Srivaddhanaprabha membeli Leicester City pada tahun 2010 lalu. Sekitar enam tahun setelahnya, ia menciptakan keajaiban.

Vichai Tewas Kecelakaan Heli: Tragedi di Leicester City
Vichai Srivaddhanaprabha dalam sebuah konferensi pers di Bangkok, Thailand (18/5/16). AP Photo/Sakchai Lalit

tirto.id - Vichai Srivaddhanaprabha, pemilik Leicester City, meninggal pada Sabtu (27/8) lalu karena kecelakaan helikopter. Menurut The Guardian, helikopter tersebut jatuh di dekat area parkir Stadion King Power, markas Leicester City, pada pukul 20.20 waktu setempat, sekitar satu jam usai Leicester City bertanding melawan West Ham United.

“Dengan penyesalan yang sangat mendalam bagi semua orang, kami mengonfirmasi bahwa pemilik kami, Vichai Srivaddhanaprabha, ada di antara mereka yang secara tragis kehilangan nyawa pada Sabtu malam ketika sebuah helikopter yang membawanya beserta empat orang lainnya jatuh di dekat Stadion King Power. Tak satu orang pun dari lima orang tersebut selamat," tulis Leicester City di situs resmi mereka.

Segera setelah helikopter itu jatuh, penggemar Leicester berdatangan ke Stadion King Power. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang datang. Meski begitu, suasana di Stadion itu sehening di perpustakaan. Mereka tidak banyak berkata-kata, yang saling bicara hanyalah tatapan-tatapan nanar tak percaya disertai senyuman-senyuman getir untuk saling menguatkan. Pada Minggu pagi, bunga-bunga, sebagai tanda ucapan belasungkawa, bertebaran di halaman luar Stadion King Power.

“Saya tidak bisa tidur pada malam itu,” kata Daniel Connel, penggemar Leicester City dilansir dari Guardian. “Dia berhasil membawa kami dari sebuah tim di divisi kedua (Championship) yang tidak lagi mempunyai harapan, menjadi seperti sekarang ini. Tanpanya, kami tidak akan berada di Premier League. Ia memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan semua orang di sini. Kami mungkin tidak pernah bertemu dengannya secara individual tapi dia mempunyai dampak besar terhadap kehidupan para penggemar Leicester City.”

Pengubah Peruntungan Leicester

“Hari ini adalah hari yang indah untuk Leicester City. Pemilik [baru] kami adalah orang fantastis dengan ambisi luar biasa untuk menantang masa depan. Mereka mempunyai karakter hebat serta integritas dan mereka akan mendorong Leicester City untuk meraih kesuksesan.”

Sekitar sepuluh tahun lalu, Milan Mandaric, mantan pemilik Leicester City, berkata seperti itu. Itu adalah sebuah pernyataan yang biasa diucapkan setiap kali seorang pemilik sebuah klub melepaskan kepemilikannya untuk pemilik baru. Tidak terlihat muluk-muluk, memang. Dan bagi penggemar klub-klub kecil seperti Leicester, ucapan seperti itu juga perlu didengar untuk terus menjaga mimpi di siang bolong.

Penggemar Leicester jelas-jelas menginginkan harapan baru. Saat itu, Leicester dalam keadaan amburadul. Mereka sudah enam musim tidak merambah Premier League. Parahnya, untuk mengarungi kehidupan di Championship, divisi kedua di liga Inggris, langkah mereka pun gontai. Promosi ke Premier League jauh dari angan, malahan jurang degradasi ke divisi yang lebih rendah menganga cukup lebar.

Vichai datang ke Leicester pada saat seperti itu. Uang 39 juta paun yang ia keluarkan untuk mengakuisisi Leicester kemudian dianggap sebagai langkah bisnis yang tidak menguntungkan. Apa yang ia inginkan dari klub semenjana seperti Leicester?

Namun, Vichai tak ambil pusing. Pengusaha asal Thailand tersebut membangun Leicester secara pelan-pelan. Dan saat Leicester akhirnya mampu promosi ke Premier League pada tahun 2014 lalu, ia menetapkan target yang barangkali dianggap sebagai omong kosong belaka oleh publik sepakbola Inggris: ia akan menggelontorkan uang sebesar 180 juta paun dan menginginkan Leicester bersaing di peringkat lima besar Premier League dalam kurun waktu tiga tahun.

Hebatnya: pencapaian Leicester City melebihi target yang dicanangkan Vichai. Setelah memastikan bertahan di Premier League pada akhir musim 2014-2015, Leicester berhasil menggenggam gelar Premier League musim 2015-2016 dengan mengandalkan pemain-pemain dan pelatih buangan. Itu seperti dongeng. Sulit dipercaya tapi benar-benar nyata.

Padahal Leicester City sebelumnya diprediksi menjadi penghuni zona degradasi pada akhir musim tersebut. Publik sepakbola Inggris juga tidak ada yang peduli dengan N’golo Kante, Riyad Mahrez, hingga James Vardy. Bagaimana dengan Caludio Ranieri? Ia hanyalah seorang pemikir yang selalu gagal meraih gelar bersama timnya.

“Apakah itu sebuah keajaiban? Ya. Itu sangat inspirasional dan orang-orang membicarakannya. Kami menaruh standar dalam olahraga dan menginspirasi seluruh dunia,” kata Aiyawatt Srivaddhanaparba, anak Vichai, yang menjabat sebagai wakil pemilik klub, kepada BBC pada tahun 2016 lalu.

Ia lantas menambahkan, “Itu merupakan keajaiban bagi kota Leicester, itu adalah keajaiban bagi para pemain – tapi kami mempunyai pekerjaan untuk mewujudkannya. Mereka bekerja keras untuk menjadi yang pertama. Itu bukan sebuah keberuntungan. ”

Infografik Vichai

Seperti Orang Leicester

Ajay Pancholi, 59 tahun, adalah satu dari sekian banyak penggemar Leicester yang datang ke Stadion King Power untuk memberikan penghormatan kepada Vichai. Meski begitu, ia tak datang dengan pernak-pernik yang mewakili kebesaran klubnya. Ia datang dengan setelan terbaiknya, yang menurutnya pantas untuk menghormati orang yang mengagumkan.

“Aku datang sebagai seorang manusia yang merasa terpukul atas kejadian yang menimpa manusia lainnya. Aku sengaja tidak mengenakan (seragam Leicester) karena itu bukan apa yang aku wakili hari ini. Aku di sini untuk menghormati seorang manusia yang luar biasa,” ujar Ajay.

Vichai adalah seorang pebisnis kaya raya. Dilansir dari Forbes, pada tahun 2018 ini, ia merupakan orang kelima terkaya di Thailand dengan tingkat kekayaan mencapai 5,2 miliar dolar Amerika. Meski begitu, ia tahu betul bagaimana caranya bersikap rendah hati dan memanusiakan manusia. Di Leicester, ia tidak hanya menggelontorkan fulusnya untuk klubnya, tetapi juga untuk para penggemar, juga untuk fasilitas-fasilitas yang mampu menunjang peradaban kota. Tak heran jika orang-orang Leicester begitu menghormatinya.

Vichai pernah menyumbangkan uang sebesar 2,5 juta dolar untuk pembangunan rumah sakit anak di Leicester. Setelah Leicester City juara, selain menghadiahi setiap pemainnya dengan mobil BMW senilai lebih dari 100 ribu paun, ia juga memberikan donasi senilai 1 juta paun untuk sebuah rumah sakit.

Di dalam stadion, Vichai juga tak luput menghadirkan hadiah-hadiah kecil. Saat para penggemar Leicester sedang beruntung, mereka akan dapat bir serta donat gratis yang bisa membuat mereka semakin bergairah di dalam mendukung timnya.

Yang menarik, apa-apa yang dilakukan oleh Vichai tersebut ternyata sangat mirip dengan perilaku orang-orang Leicester. Menurut Yusuf Arifin, dalam tulisan "Romantisme Tanpa Rasa Congkak", Leicester, yang terletak di Midlands (wilayah tengah Inggris), hanyalah bahan olok-olokkan bagi orang-orang Inggris Utara dan Selatan.

Kata orang Inggris Selatan, Leicester seperti orang-orang Utara yang tak berbudaya. Sedangkan kata orang-orang Inggris Utara, Leicester manja seperti orang-orang Selatan. Lantas keduanya bersepakat dalam satu hal: Leicester adalah kota pedalaman – tak penting bagi Inggris.

Apakah orang Leicester sakit hati diperlakukan secara demikian?

Leicesterian, begitu biasa orang-orang Leicester disebut, ternyata tak memikirkan omongan-omongan itu. Mereka tetap memilih menjalani kehidupan dengan caranya. Dengan tangan terbuka, mereka menerima imigran India, Afrika, hingga Karibia yang barangkali tak diterima dengan baik di Inggris bagian Utara dan Selatan.

Pengungsi dari negara lain juga dirawat dengan baik saat mereka memilih tinggal di Leicester. Kultur beragam di Leicester itu kemudian bercampur menjadi harapan. Harapan akan kemanusiaan, harapan akan kehidupan yang lebih baik. Lantas, Vichai datang untuk membantu mewujudkannya.

Barangkali, setelah semua yang diberikan Vichai untuk Leicester, pada Sabtu yang kelam itu, tak sedikit dari penggemar Leicester City mengucapkan kalimat pembuka menggetarkan Albert Camus dalam Orang Asing: “Ayah meninggal hari ini.”

Selamat jalan, Vichai Srivaddhanaprabha!

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono