tirto.id - Andrés Guevara, wartawan Venezuela merekam kondisi pusat perbelanjaan di Caracas pada 7 April 2016 silam. Lampu padam. Gerai-gerai tutup, meski masih siang. Mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM) tak berfungsi. Rekaman itu kemudian diunggahnya lewat akun Youtube miliknya.
Dalam videonya yang lain, Andrés merekam antrean warga di dekat rumahnya. Warga yang berbaris dalam antrean dengan panjang lebih dari satu kilometer itu menunggu giliran untuk membeli bahan makanan. Venezuela kian menghawatirkan. Rakyatnya kehilangan rasa nyaman dan aman.
April lalu, dua warga Amerika Serikat, Jeff Berweick dan Luke Rudkwoski datang ke Caracas. Baru saja menginjakkan kaki di bandara, mereka melihat satu aksi perampokan dan pembunuhan. Tiba di hotel, penerangan seadanya, cenderung gelap. Saat keduanya berjalan di koridor, mereka berpapasan dengan tamu hotel lainnya.
“Mereka melihat kami dengan tatapan curiga, semacam memastikan kalau kami bukan penjahat yang mengancam keamanan mereka,” kata Luke.
Luke bilang, kriminalitas di Venezuela kian menjadi-jadi. Perampokan, pembunuhan, penculikan tak lagi menjadi kabar berita yang mengejutkan. Di malam hari, Caracas tampak seperti kota mati. Tak banyak orang berlalu lalang di jalanan yang minim penerangan.
Krisis Ekonomi
Krisis listrik hanyalah satu persoalan dari berbagai masalah yang tengah dihadapi Venezuela. Ekonomi Venezuela jelas sedang tidak baik-baik saja. Nilai mata uangnya jatuh begitu dalam. Sejak 2013 hingga saat ini, nilai bolivar turun 98 persen.
Jadi tak perlu heran jika warga Venezuela tak lagi bisa menyimpan uang mereka di dompet untuk sekadar belanja ke supermarket. Mereka butuh ransel atas tas besar untuk membawa uang. Restoran-restoran pun harus mengganti menu mereka tiap pekan, mengikuti nilai tukar Bolivar yang terus tertekan. Venezuela bukan lagi menghadapi inflasi, tetapi hiperinflasi.
Jhonny Mendez, warga Caracas hanya mengkonsumsi karbohidrat, seperti nasi, tanpa lauk. Bukan karena tak punya uang, tetapi karena kesulitan mencari bahan makanan. Untuk membeli dua atau tiga produk kebutuhan sehari-hari, Jhonny harus keluar rumah jam lima pagi dan mengantre sepanjang hari.
Di kota Maracaibo, seorang ibu rumah tangga bernama Norvelis Contreras harus berdiri dalam antrean selama lima jam hanya untuk membeli beras dan minyak. “Kami hanya berjuang untuk bertahan hidup,” katanya.
Krisis Listrik
Krisis ekonomi diperburuk oleh krisis listrik. Untuk menghemat pasokan listrik yang terus menipis, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengeluarkan berbagai kebijakan. Ia mengurangi hari kerja menjadi hanya dua hari seminggu sepanjang April hingga Mei. Dia juga melarang penggunaan hairdryer demi penghematan listrik. Pemadaman listrik bergilir pun dilakukan.
Gedung-gedung pusat perbelanjaan atau mal diminta untuk menyediakan generator sendiri. Maduro juga memodifikasi zona waktu, sehingga masih ada sinar matahari selama satu jam saat malam hari. Krisis listrik benar-benar menekan Venezuela.
Kondisi ini terasa ironis mengingat Venezuela merupakan salah satu negara penghasil minyak terbanyak di dunia. Krisis tersebut karena mayoritas pasokan listrik Venezuela tidak berasal dari generator diesel yang menggunakan bahan bakar fosil. Lebih dari 60 persen listrik diperoleh dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Negara di Selatan benua Amerika ini mengandalkan pembangkit listrik tenaga air.
Sebuah bendungan bernama Guri Dam telah dibangun sejak tahun 1970-an. Bendungan ini mampu menghasilkan 10.300 megawatt listrik. Namun, pada 2014, PLTA hanya mampu memenuhi 25 persen kebutuhan listrik di Venezuela. Rendahnya curah hujan pada musim dingin tahun ini yang disebabkan El Nino, membuat level air di bendungan makin surut. Bulan lalu, level air di Guri Dam hanya 797 kaki. Jika air surut lebih dalam lagi, turbin tak lagi bisa berputar.
Bukan Krisis Pertama
El Nino memang penyebab krisis listrik di Venezuela, tetapi hal semacam ini harusnya bisa diantisipasi. Pasalnya, ini bukan kali pertama krisis listrik terjadi.
Krisis listrik yang cukup hebat pertama kali menimpa Venezuela pada 2009 hingga 2010, saat Hugo Chavez masih memimpin negeri itu. Kekeringan berkepanjangan membuat tingkat air di Guri Dam menurun. Pemadaman bergilir terjadi. Pemerintah berjuang untuk mengatasi dengan memaksa perusahaan untuk mengambil liburan selama seminggu. Penggunaan listrik untuk konsumsi yang berlebihan juga akan didenda. Pabrik dan pertambangan pun diminta mengurangi pemakaian listrik mereka.
Beberapa bulan kemudian, pemerintah bergegas memperbaiki situasi dan menghabiskan 1,5 miliar dolar untuk membuat generator diesel sebagai cadangan di seluruh negeri. Itu tidak cukup. Setahun kemudian, para ahli memperingatkan bahwa hanya seperempat generator-generator itu yang bisa beroperasi karena kurangnya pemeliharaan.
Jadi, krisis listrik di Venezuela tak pernah benar-benar surut. Krisis terus terjadi tiap tahunnya. Hingga 2016, belum ada tanda-tanda kapan ia akan berakhir.
Pada dasarnya, tak ada yang salah dengan menggunakan PLTA. Pembangkit ini malah jauh lebih “bersih” dibandingkan menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara. Masalah terjadi ketika volume air di Guri Dam surut, sedangkan Venezuela tak punya pembangkit listrik cadangan yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan listrik di negeri itu. Guri Dam tercatat memasok 75 persen kebutuhan listrik di Kota Caracas, ibukota Venezuela.
Tak ada Diversifikasi Energi
Persoalan ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Venezuela. Semua negara atau kota yang mengandalkan pembangkit listrik tenaga air tentu menghadapi ancaman risiko yang sama. California misalnya, negara bagian di Amerika Serikat ini juga mengalami kekeringan beberapa tahun terakhir. Ini membuat PLTA tak bekerja maksimal.
Namun, California tak mengalami krisis yang dirasakan warga Venezuela saat ini. California memiliki pembangkit listrik gas alam yang bisa digunakan untuk menutupi kekurangan listrik dari PLTA.
Ini yang tidak dimiliki Venezuela. Padahal, jika pemerintahannya cukup cerdas, apa yang terjadi tahun ini bisa diantisipasi beberapa tahun sebelumnya.
Pada 2011, Inter-American Dialogue meminta pandangan sejumlah pakar energi terkait bagaimana menyelesaikan krisis listrik di Venezuela. Ini adalah sebuah forum yang menganalisis berbagai persoalan di Benua Amerika. Pada dasarnya, para pakar itu mengatakan hal senada, kuncinya hanya satu, rencana investasi yang dieksekusi dengan baik. Satu hal paling penting yakni soal diversifikasi energi.
Masalah terkait listrik lainnya di Venezuela adalah banyak warga yang “mencuri” listrik. Menurut data dari Administrasi dan Informasi Energi Amerika Serikat, sepanjang 2003 hingga 2012, konsumsi listrik masyarakat meningkat 49 persen. Sementara jaringan listrik yang terpasang hanya bertambah 28 persen.
Akan tetapi, sepanjang krisis listrik yang sedang dialami warga Venezuela saat ini, Presiden Maduro melulu menjadikan El Nino sebagai kambing hitam. Fokus pemerintah hari ini hanya pada solusi jangka pendek. Mereka abai pada rencana dan solusi jangka panjang.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti