tirto.id - Masyarakat dunia saat ini menyoroti perkembangan uji klinik vaksin, termasuk Indonesia. Bagi sebagian orang, vaksin dianggap sebagai secercah harapan yang diharapkan dapat memperlambat laju penyebaran vaksin COVID-19 dan akhirnya mengakhiri pandemi ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun membawa angin segar dengan digratiskannya vaksin COVID-19 untuk seluruh masyarakat Indonesia dalam keterangan persnya pada 16 Desember 2020.
"Setelah menerima banyak masukan dari masyarakat dan setelah melakukan kalkulasi ulang, melakukan perhitungan ulang mengenai keuangan negara, dapat saya sampaikan bahwa vaksin COVID-19 untuk masyarakat adalah gratis," ujar Jokowi.
Namun, menurut pakar-pakar kesehatan, jalan menuju program vaksinasi COVID-19 yang menyeluruh di Indonesia masih panjang. Hal-hal apa saja yang masih perlu dipersiapkan untuk memastikan bahwa pemberian vaksin COVID-19 di Indonesia sudah lancar?
Izin BPOM
Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Profesor Zubairi Djoerban dalam webinar, 19 Desember 2020, mengatakan uji klinik fase 3 vaksin Sinovac diperkirakan akan selesai pada bulan Maret 2021. Namun, negara-negara dapat mengedarkan Emergency Use Authorization (EUA) atau izin penggunaan daruratdengan interim report, yaitu berupa data pengamatan setelah penyuntikan, sebagai dasar dari izin penggunaan darurat.
Dikutip dari New York Times, telah ada 19 jenis vaksin di dunia per 18 Desember 2020 yang sedang dalam uji klinis Fase 3. Lima negara sudah mendapatkan izin penggunaan darurat untuk vaksin-vaksin tersebut, yaitu Rusia, Cina, Argentina, Kanada dan Amerika.
Khusus untuk vaksin Sinovac, berbagai interim report masih menunjukan efikasi vaksin yang beragam. Dikutip dari Reuters, Turki mengumumkan hasil interim efikasi vaksin Sinovac sebesar 91,25 persen.
Sementara itu, Brasil mengklaim Sinovac memiliki tingkat efikasi di atas 50 persen tapi tanpa data yang lengkap. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan hasil efikasi di atas 50 persen untuk penggunaan vaksin. Reuters melaporkan bahwa Sinovac telah meminta pemerintah Brasil untuk mengundurkan rilis data yang lengkap selama maksimal 15 hari sejak 23 Desember 2020.
Terakhir, hasil interim efikasi Sinovac dari uji klinis di Bandung, Indonesia, menunjukkan efikasi sebesar 65,3 persen. Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito dalam siaran pers daring, Senin (11/1/2020), perbedaan tingkat efikasi di Indonesia dengan Turki dan Brazil ini dipengaruhi beberapa faktor di antaranya mengenai jumlah subjek yang diteliti dan profil subjek.
Catatan singkat, uji klinis fase tiga di Bandung oleh peneliti di Universitas Padjadjaran (Unpad) dan PT Bio Farma dilakukan terhadap 1.600 subjek dengan profil beragam. Penny mengakui jumlah itu jauh lebih sedikit sebab di Turki dilakukan terhadap 7.000 subjek dan di Brazil 13.000 subjek.
"Kemudian di Brazil dan Turki profil subjek mereka fokus pada tenaga kesehatan. Ditambah di Brazil itu pandeminya sangat intensif sekali. Dan mungkin dikaitkan dengan kedisiplinan mereka pemakain masker berbeda dengan di Indonesia," ujarnya dalam siaran pers, Jumat (8/1/2020).
BPOM sendiri telah memberikan Emergency Use Authorization (EUA) atau izin darurat penggunaan vaksin COVID-19 Sinovac di Indonesia pada Senin, (11/1/2021).
Perlu Edukasi?
Epidemiolog dan kandidat PhD keamanan kesehatan global dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan bahwa Indonesia harus memenuhi beberapa prasyarat sebelum melakukan program vaksinasi. Salah satunya, pemerintah harus bisa menyiapkan strategi komunikasi risiko dengan efektif di tengah beredarnya pemikiran anti-vaksin dan konspirasi lainnya.
Menurut Dicky, teori konspirasi ini harus dilawan karena hal ini dapat membuat sebagian orang di Indonesia untuk tidak mudah percaya dengan keamanan vaksin dan menerima pemberian vaksin. "Teori-teori konspirasi dan pemahaman yang salah yang beredar di masyarakat dan belum di-address dengan tepat ini membuat juga sebagian dari kita cuek-cuek saja [...] karena tidak ada pemahaman, Ini adalah PR besar," ujar Dicky.
Dari pantauanTirto, kabar miring terkait microchip yang ditanamkan ke tubuh manusia melalui suntikan vaksin memang pernah beredar beberapa waktu yang lalu. Contoh lainnya, pegiat anti vaksin Carrie Madej dalam sebuah video juga mengklaim bahwa vaksin yang menggunakan RNA atau DNA yang dimodifikasi membahayakan karena berpotensi mengubah genom manusia (yang membedakan manusia dengan hewan atau tumbuhan).
Indikasi penolakan vaksin bisa terlihat di beberapa survei. Survei nasional terbaru dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 16–19 Desember 2020 kepada 1,202 responden menunjukkan hanya sekitar 37 persen warga yang menyatakan secara tegas akan melakukan vaksinasi COVID-19 jika vaksin sudah tersedia, sedangkan 17 persen “tidak akan” melakukan vaksinasi dan 40 persen akan “pikir-pikir dulu”.
Di sisi lain, survei daring Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) yang melibatkan lebih dari 115,000 responden selama periode 19 - 30 September 2020 sebelumnya menyebut sebanyak 7,6 persen menolak menggunakan vaksin COVID-19 karena faktor keamanan, efektivitas dan kehalalan vaksin.
Sementara itu, masih dari survei Kemenkes, 64,8 responden menyatakan bersedia menggunakan vaksin COVID-19 dan 27,8 persen responden masih ragu. Penting dicatat, survei Kemenkes menggunakan sampel survei yang jauh lebih besar dari survei SMRC.
Di tengah beredarnya pemikiran anti-vaksin, Dicky memperkirakan bahwa Indonesia masih memiliki setidaknya 20,000 kasus harian setiap hari berdasarkan estimasi epidemiologi. Angka ini sekitar 3-4 kali lipat angka kisaran 5,000-7,000 yang diumumkan oleh Satuan tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 selama beberapa bulan terakhir akibat kapasitas testing yang masih lemah.
Hal ini juga terlihat dari angka kematian di Indonesia yang masih di atas rata-rata dunia. Angka Satgas COVID-19 menunjukkan persentase kematian akibat COVID-19 dari total kasus di Indonesia sebesar 2,97 persen per 24 Desember 2020, lebih besar jika dibandingkan 2,19 persen rata-rata dunia.
"Sars-COV-2 sebagai penyebab COVID-19 ini sangat semakin jelas penyakit yang tidak bisa kita remehkan. Banyak yang kita belum kita ketahui, dan juga oleh karena itu banyak yang masih belum dipastikan apa yang akan terjadi berikutnya," jelas Dicky.
Kuantitas, Kualitas, & SDM?
Dicky menyebut kuantitas dan kualitas vaksin tidak hanya harus memenuhi standar nasional dan global, tetapi juga disesuaikan dengan konteks di Tanah Air. Misalnya, ia menilai kualitas vaksin Pfizer cukup bagus. Namun, vaksin ini memerlukan prasyarat yang sulit jika dipakai di Indonesia, yakni harus disimpan dalam kondisi minus 70 derajat Celcius.
Pada akhirnya, vaksin harus mencapai target 100 persen kelompok yang berisiko dapat vaksin dan diperkirakan dibutuhkan 70-80 persen penduduk di Indonesia untuk diberikan vaksin COVID-19 agar herd immunity dapat tercapai, menurut Dicky. Dari pengalamannya, ia juga mendorong implementasi program vaksinasi selama maksimal 2 tahun dengan adanya vaksinasi ulang jika diperlukan.
Senada dengan Dicky, dokter spesialis penyakit dalam dan vaksinolog Dirga Sakti Rambe juga mendorong pemerintah untuk mendistribusikan vaksin seaman-amannya dan secepatnya serta dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah, ucap Dirga. Ia menyarankan untuk bekerja sama dan bersinergi dengan swasta untuk mempercepat distribusi vaksin tersebut.
Selain itu, Indonesia sebaiknya tidak mengandalkan satu jenis vaksin saja di tengah keterbatasan kapasitas produksi vaksin COVID-19 saat ini. Hal ini turut didukung dengan teknologi yang diperlukan masing-masing vaksin, tambah Dirga.
Indonesia juga perlu mempersiapkan tenaga kesehatan dan non-kesehatan untuk urusan administrasi guna memperlancar program vaksinasi tersebut. Agar mudah dipantau, proses registrasi sampai dengan penyuntikan pun harus mengikuti prosedur-prosedur atau SOP, antara lain SOP dari World Health Organization (WHO).
"Karena mau vaksin sebagus apa dan seefektif apa, tapi kalau distribusinya atau penyuntikannya tidak berjalan dengan baik, tentu tidak ada gunanya," ujar Dirga.
Dirga juga mengusulkan untuk memberikan penerima vaksin sebuah dokumentasi berupa kartu atau lembaran yang menunjukan bahwa orang tersebut sudah divaksin. Selain bukti fisik, pemerintah juga bisa memberikan bukti digital agar dapat memantau orang-orang yang sudah divaksin di Indonesia.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara