Menuju konten utama
K O N F R O N T A S I

Salah Jerinx Bukan Mencemarkan Nama Baik, tapi Membahayakan Nyawa

Jerinx mengatai IDI memang kesalahan, tapi fanatikus konspirasi macam dia sebenarnya bisa dijerat dengan pasal membahayakan nyawa orang lain.

Salah Jerinx Bukan Mencemarkan Nama Baik, tapi Membahayakan Nyawa
I Gede Ari Astina alias Jerinx (tengah) di Polda Bali, Denpasar, Bali, Selasa (18/8/2020). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/pras.

tirto.id - I Gede Ari Astina alias Jerinx ditahan Polda Bali selama 20 hari sejak 12 Agustus 2020. Penggawa band Superman is Dead jadi tersangka ujaran kebencian dan pencemaran nama baik terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Penahanan ini, jika diteruskan menjadi pemenjaraan, akan semakin memperkokoh penggunaan pasal karet UU ITE untuk mempidanakan seseorang.

Sejak 2008 hingga 2018, seturut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), ada 508 kasus terkait Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di antara ratusan kasus tersebut, laporan SafeNet menunjukkan UU ITE sarat bias kelas dan perlindungan kepada pejabat.

Kasus paling populer soal UU ITE adalah penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi yang menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan atau juncto Pasal 45 ayat 3 UU No.19/2016. Di posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian dengan menggunakan Pasal 28 ayat 2 UU ITE dan atau juncto Pasal 45A ayat 2.

Setidaknya, selama satu dekade, ada 245 aduan yang menggunakan dasar Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Di antaranya, sebanyak 35,92 persen orang yang melaporkan kasus UU ITE adalah pejabat negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan. Pelapor awam tercatat mencapai 32,24 persen.

Pada 2019 angka ini melonjak sangat jauh. Ada sekitar 3.100 laporan polisi yang berhubungan dengan UU ITE. SafeNet mengaku angka itu baru hitungan kasar dari laporan kepolisian sampai Oktober 2019. Jika diteliti lebih lanjut, bukan tidak mungkin angkanya akan lebih banyak lagi.

Dalam catatan SafeNet, UU ITE membutuhkan revisi secepatnya. Setidaknya ada 9 pasal yang bermasalah, tentu saja termasuk Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2). Ada tiga indikator yang dipakai SafeNet menentukan apakah pasal itu bermasalah atau tidak.

Pertama, masalah tafsir hukum yang karet; kedua, praktik aparat penegak hukum yang kacau; dan yang ketiga adalah adanya dampak sosial terhadap penggunaan pasal tersebut. Alih-alih membikin masyarakat jera akibat kesalahannya, kedua pasal itu justru merepresi agama minoritas, warga yang mengkritik polisi atau pemerintah, termasuk juga perusahaan. Pasal tersebut juga digunakan untuk memidanakan warga, aktivis, atau jurnalis yang berusaha mengkritik presiden dan pemerintah.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengakui ada perluasan korban UU ITE. Bukan hanya oposisi politik, tapi sekarang UU ITE juga menyasar aktivis dan pegiat lingkungan. Asfin mendesak DPR untuk segera merevisi UU ITE terutama menghapus pasal-pasal bermasalah dan tidak jelas.

"DPR harus mulai membahas revisi kedua UU ITE. Saat ini DPR sudah tidak menjalankan fungsi kontrol yang menjadi tugas fungsinya. Pasal-pasal karet kriminalisasi harus segera dihapus," kata Asfin kepada Tirto akhir 2019 lalu.

Kritik itu tidak sampai, atau mungkin saja sampai, tapi tetap saja tak didengarkan. Pasal bermasalah terus bertahan dan siap memangsa korban lainnya.

Sanksi PSBB untuk JRX

Selain Jerinx, musisi lain yang juga terancam pemidanaan UU ITE adalah Erdian Anji Prihartanto atau kerap disapa Anji. Dalam salah satu unggahan videonya di akun YouTube Dunia Manji, vokalis band Drive berbincang bersama Hadi Pranoto, orang yang mendaku diri sebagai penemu antibodi COVID-19.

Akibatnya, Anji dilaporkan oleh Muannas Alaidid ke Polda Metro Jaya dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE tentang menyiarkan kabar bohong dan menyesatkan sehingga menyebabkan kerugian kepada konsumen.

Hadi yang memaparkan efek obat tersebut lebih nahas lagi. Dia dijerat dengan aturan hukum yang telah lapuk dimakan usia, yakni Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Meski sudah digugat uji materiil beberapa kali, permohonan itu selalu ditolak Mahkamah Konstitusi. Dampaknya, UU ini masih digunakan kepolisian kendati sudah lewat 74 tahun.

Menurut Aliansi Masyarakat Sipil, apa yang disampaikan Jerinx sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.

Sebelum mengategorikan sebuah ekspresi sebagai ujaran kebencian, pertama-tama harus dilihat dulu konteksnya; posisi dan status individu yang menyampaikan; niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut; kekuatan muatan dari ekspresi; jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikannya ekspresi tersebut.

"Ekspresi Jerinx soal 'IDI kacung WHO' itu sangat jauh untuk dikatakan memenuhi unsur ini," kata perwakilan aliansi, Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dalam keterangan tertulis. "Dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya belum terpenuhi. Wong dia tidak menghasut sama sekali."

Bila memang mau menjerat Jerinx atau Anji dengan alasan hukum, satu yang bisa digunakan adalah masalah pelanggaran protokol kesehatan. Sejauh ini penertiban masyarakat untuk menggunakan protokol kesehatan kebanyakan teguran dan bukan pidana.

Penertiban protokol kesehatan lebih banyak menggunakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kendati melibatkan kepolisian. Apalagi pemerintah belum punya aturan tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. Otomatis, polisi tidak bisa menindak masyarakat ataupun pelaku usaha yang membandel selama pandemi.

Belum lagi fakta tentang lembaga pemasyarakatan yang tidak punya kapastitas untuk menampung banyaknya narapidana. Kala pandemi, pemerintah setidaknya sudah melepaskan 37 ribu narapidana untuk mengantisipasi penyebaran virus, dampak ekonomi, dan yang paling utama adalah masalah kelebihan kapasitas lapas.

Bali memang memutuskan tak menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kendati seluruh daerah di Bali masuk dalam kategori oranye per data dari Covid19.go.id. Hanya tinggal satu langkah lagi sebelum akhirnya masuk ke zona merah atau zona kuning. Menghadapi fakta ini, sebagian masyarakat justru tak mematuhi protokol kesehatan, tentu saja termasuk Jerinx dan kawan-kawannya.

Dalam beberapa unggahan di akun Instagram @jrxsid, Jerinx menunjukkan aktivitasnya selama pandemi di Twice Bar yang tidak menerapkan protokol kesehatan: jaga jarak, pakai masker, tidak berkerumun, menyemprot disinfektan, cuci tangan. Dia juga membagikan nasi bungkus kepada penduduk sekitar, lagi-lagi tanpa menerapkan protokol kesehatan.

Di akun Instagram-nya, Jerinx juga mempromosikan tolak rapid test dan swab test atau usapan sembari menuding pandemi ini adalah ulah elite global yang sudah direncanakan termasuk protokol kesehatannya. Puncak dari narasi Jerinx adalah demonstrasi tolak rapid test dan swab test pada Minggu (26/7/2020).

Ratusan orang turun ke jalan tanpa menerapkan protokol kesehatan, menentang penggunaan rapid test dan swab test sebagai alasan sertifikasi normal baru di Bali. Alasannya, kedua tes itu tidak dapat memastikan orang teridentifikasi positif atau negatif COVID-19 dengan akurat. Rapid test boleh saja, tapi sejauh ini metode paling efektif untuk menentukan seseorang terjangkit COVID-19 atau tidak adalah swab test. Jerinx adalah salah satu orang yang ikut dalam aksi tersebut.

Seluruh peserta aksi itu telah melanggar Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 32 tahun 2020. Kepala Satpol PP Dewa Nyoman Rai Dharmadi geram dengan aksi tersebut. Dia tidak menolak adanya demonstrasi, tapi menghasut orang lain menolak protokol kesehatan sama sekali tak bisa dibenarkan karena bisa saja ada orang tanpa gejala (OTG) yang berada di sekitar mereka.

"Kita melakukan pembinaan pengawasan mendorong mereka untuk patuh terhadap protokol kesehatan. Upaya kemarin itu memang tidak dipenuhi oleh mereka. Kalau seandainya terjadi (klaster baru) biar JRX yang bertanggung jawab. Kenapa dia mengajak orang tidak mematuhi itu. Ya sebenarnya tidak boleh begitu tetap kedepankan protokol kesehatan," ucap Nyoman sebagaimana dilansir Liputan6.

Nyoman mengaku telah menyerahkan penanganan ini kepada pihak kepolisian. Sayangnya, polisi juga tidak mampu berbuat banyak. Mereka hanya menganggap demonstrasi ini sebagai pelanggaran aturan wali kota, tapi tidak ada unsur pidana. Akibatnya, demonstrasi berakhir begitu saja dan orang sadar penerapan protokol kesehatan di Bali sangat longgar.

Infografik Laporan UU ITE

Infografik Laporan UU ITE

Padahal sebelumnya kepolisian mengklaim bisa saja menangkap seseorang yang melanggar protokol kesehatan. Ketika Jokowi menetapkan PP No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP. Sebanyak 18 orang di DKI Jakarta sempat ditangkap pihak kepolisian dan terancam pidana paling lama 1 tahun penjara.

Polri juga siap memakai Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP serta UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular Pasal 14 ayat (1) dan (2) untuk memidana orang-orang yang terus berkumpul tanpa menggubris protokol kesehatan. Menko Polhukam Mahfud M.D. juga mengingatkan bahwa siapapun yang tak mematuhi imbauan dari kepolisian dapat ditindak hukum.

Solusi lain mengacu aturan baru yang dikeluarkan pemerintah. Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 pada Agustus 2020. Dengan aturan ini, maka siapapun yang melanggar protokol kesehatan bisa dikenakan sanksi administratif ataupun penutupan tempat usaha untuk sementara.

Saringan Hoax dari Pemerintah Lemah

Pendiri WatchDoc, Dandhy Dwi Laksono di akun Twitter-nya mencuit pemidanaan Jerinx maupun Anji sebenarnya tidak diperlukan. Bila memang pandangan kedua orang tersebut bisa membahayakan keselamatan publik, menurut Dandhy, “yang bermasalah” adalah Indonesia.

Kedua orang tersebut memang kerap mengunggah hal kontroversi soal COVID-19. Namun di sisi lain, pemerintah Indonesia tidak cepat tanggap menanggapi atau meluruskan informasi yang disebarkan dua figur itu sebagai disinformasi atau informasi keliru. Pemerintah punya kanal klarifikasi hoaks seperti Hoax Buster, tetapi justru publik yang kerap lebih aktif mengklarifikasi disinformasi seperti KawalCovid19 yang aktif di media sosial.

Pemerintah sendiri malah menjadi sumber penyebaran info sumir soal COVID-19. Misalnya saja promosi kalung eucalyptus sebagai kalung antivirus COVID-19 dari Kementerian Pertanian. Kemudian arak bali yang diklaim Gubernur Bali I Wayan Koster efektif sembuhkan COVID-19.

Di media sosial, Twitter sudah mencoba meminimalisasi informasi hoaks dengan menghapus ribuan akun yang terlibat penyebaran teori konspirasi. Facebook dan YouTube juga demikian. Masalahnya tidak semua bisa tersaring dengan cepat.

Video Anji, misalnya, bisa lolos begitu saja. Pemerintah sudah pernah didesak untuk bekerja sama dengan pihak Facebook dan YouTube untuk mengatasi hoaks. Sayangnya hingga sekarang kerja sama itu belum terealisasi dengan sempurna.

==========

KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.

Baca juga artikel terkait COVID19 GO ID atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan