tirto.id - Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan berpendapat, jika Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) perlu direvisi karena harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
"Hemat saya sudah waktunya untuk menyelaraskan prinsip Konstitusi dalam rumusan norma dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," ujar Maruarar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta pada Kamis (9/6/2016).
Penyelarasan kembali tersebut, menurut Manuarar menjadi hal yang penting karena berkaitan langsung dengan kepastian hukum.
"Perlu ada revisi UU Tipikor, perlu ada penegasan kembali akan kepastian hukum dari rumusan ketentuan tersebut," ujar Manuarar ketika memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon dalam perkara uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Lebih lanjut Maruarar menjelaskan bahwa meskipun perkembangan yang terjadi dalam dunia tindak pidana korupsi tidak terlalu mendasar, tetapi secara kumulatif terdapat perubahan besar.
"Sehingga sebagai negara hukum, Indonesia perlu mengedepankan perlindungan hak asasi," pungkas Maruarar.
Enam orang PNS mengajukan permohonan uji materi yang berkaitan dengan hal ini. Mereka merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Menurut Pemohon, frasa atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah.
Selain itu, Pemohon menyebutkan kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan.
Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat.
Penulis: Rima Suliastini
Editor: Abdul Aziz