tirto.id - Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan ucapannya di Festival Tajug 2019 di Cirebon, Jawa Barat, Jumat (22/11/2019) lalu, bukan berarti menugaskan polisi untuk berjaga di tiap masjid. "Ndak, bukan begitu," katanya di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (2/12/2019) kemarin.
Dalam acara tahunan yang digelar oleh Keraton Kasepuhan dan Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) itu awalnya Ma'ruf menjelaskan kalau ada masjid yang dipakai untuk "menebar kebencian," juga "sumpah serapah, permusuhan, [dan] caci maki."
Baginya itu adalah "distorsi penggunaan masjid dari fungsinya yang benar."
Oleh karenanya dia meminta "dewan masjid untuk mencari, memetakan mana masjid yang perlu pembinaan" agar narasi kebencian berubah jadi narasi "membangun kerukunan."
Selain dewan masjid, katanya, "harus aktif dari kepolisian maupun pemda untuk melakukan pencegahan."
Saat klarifikasi, Ma'ruf hanya menegaskan kalau pernyataannya bulan lalu bukan berarti agar polisi berjaga--secara fisik--di masjid-masjid. Dia juga membantah memerintahkan polisi membuat tim khusus untuk itu.
Namun pengawasan itu harus tetap ada, katanya. Masjid-masjid itu, Ma'ruf menegaskan, harus "diberikan pengertian."
Berlebihan
Karena gagasan utamanya tetap saja mengawasi masjid oleh aparat, apa pun bentuknya, bagi pengamat politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati pernyataan Ma'ruf ini sama saja mengekang kebebasan berekspresi.
Sebab, katanya kepada reporter Tirto, Senin (2/12/2019), "ranah agama seharusnya bebas dari intervensi negara."
Lagipula itu tak akan efektif, katanya, mengingat jumlah masjid di Indonesia sangat banyak. Saat masih menjabat Wakil Presiden, Jusuf Kalla pernah berkelakar kalau "angka masjid di Indonesia hanya Tuhan yang tahu."
Wasis sepakat perlu ada upaya meminimalisasi ceramah-ceramah berkonten kebencian. Tapi itu tak semestinya dilakukan aparat yang cenderung menggunakan metode non-dialog. Hal ini, terang Wasis, semestinya dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI-lah yang dapat 'memerangi' narasi kebencian dengan cara dialogis.
Jika aparat turun tangan, itu akan memunculkan isu kriminalisasi ulama yang, kata Wasis, "justru bisa jadi bumerang bagi polisi."
"Polisi baru bergerak kalau misalnya langkah persuasif itu tidak diindahkan oleh ulama-ulama tersebut," ia menegaskan.
Empat hari setelah Ma'ruf Amin mengatakan "polri harus aktif" dan enam hari sebelum klarifikasi, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) akan "berkoordinasi" dengan Bintara Pembina Desa (Babinsa).
"Lalu ada pak lurah, pak kades. Di tingkat bawah ini yang kita sentuh jadi deradikalisasi," katanya.
Pernyataan ini tidak tepat, kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto. Menurutnya "hal-hal yang sekiranya sensitif pada masyarakat seharusnya tak perlu disampaikan secara blakblakan."
Toh, kata Bambang kepada reporter Tirto, Senin (2/12/2019), tanpa ada pernyataan Ma'ruf pun Bhabinkamtibmas plus Intelkam Polri semestinya sudah punya data terkait tempat ibadah yang perlu mendapat perhatian khusus.
"Kalau baru akan melakukan setelah mendapat arahan wapres, artinya Bhabinkamtibmas selama ini belum maksimal."
Pada akhirnya, ketimbang memprioritaskan mengawasi masjid, Bambang menganjurkan polisi lebih fokus melindungi hak-hak minoritas dalam menjalankan ibadah. Polisi, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, wajib melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
"Kalau ada anggota polisi tidak melakukannya, seperti kasus beberapa waktu lalu soal seorang polwan yang menghentikan ibadah, jelas itu keluar dari amanat UU," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino